Pernahkah Kawan GNFI melihat anak remaja menjadi mudah tersinggung dan marah? Tenang, Kawan! Hal tersebut wajar, kok! Itu tandanya anak sudah memasuki fase pubertas. Pubertas merupakan fase transisi yang biasa dialami setiap anak yang menandai bahwa anak tersebut mulai beranjak dewasa.
Pada fase ini, anak sedang merasakan gejolak emosi akibat hormon yang belum stabil. Sayangnya, banyak remaja yang belum mampu mengelola emosinya dengan baik. Karena itulah, peran orang tua sangat dibutuhkan untuk memahami perasaan mereka.
Pada masa ini, perubahan fisik juga terjadi sangat cepat, sehingga remaja sering merasa canggung dan bingung dengan tubuhnya sendiri. Di sinilah kehadiran orang tua sebagai sosok yang tenang, stabil, dan penuh kasih menjadi sandaran utama bagi mereka agar tidak merasa sendirian menghadapi dunia yang mulai terasa begitu kompleks dan penuh tekanan.
Memahami perasaan remaja itu penting sekali, loh, Kawan! Respons orang tua bisa menentukan seberapa dekat hubungan mereka dengan anak. Jika anak merasa dipahami, ia akan lebih nyaman dan terbuka kepada orang tua.
Namun, jika emosinya tidak diterima dengan baik, mereka bisa mencari orang lain untuk bercerita. Hal inilah yang sering membuat jarak antara orang tua dan anak.
Agar hal tersebut tidak terjadi, yuk pahami cara merespons emosi remaja menurut psikolog Elly Risman dalam siniar Mom’s Corner episode 58 berjudul “Memasuki Pubertas Anak, Ayah yang Harus Lebih Berperan.”
1. Kenali Perasaan Anak
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengenali perasaan anak. Caranya dengan membaca gestur tubuh, menebak perasaannya, lalu menamai emosi tersebut. Misalnya, ketika anak baru pulang sekolah dan langsung melempar tas ke sofa. Coba tebak apa yang ia rasakan. Setelah itu, tanyakan dengan lembut, “Lagi marah, yaa, Kak?”
Pertanyaan seperti ini membantu anak untuk membuka diri dan menceritakan apa yang ia rasakan. Namun, hindari bertanya dengan kata kenapa, seperti, “Kenapa sih, Kak, baru pulang langsung marah-marah?” atau “Kenapa tasnya dilempar?” Saat emosinya sedang memuncak, pertanyaan seperti itu bisa membuat anak merasa disalahkan dan tidak dimengerti.
Lalu, bagaimana jika tebakan orang tua salah? Jangan khawatir, Kawan! Coba terus tebak sampai anak mengungkapkan perasaannya. Misalnya:
- “Lagi marah, yaa, Kak?”
- “Enggak!”
- “Sedih?"
- "Enggaak!”
- "Kecewa?”
- “Bukann, Bundaa! Aku cuma capeek! Tadi disuruh nulis karangan lima halaman. Tanganku pegel, Bunn! Belum lagi tadi aku terlambat ke sekolah, dimarahin bu guru, terus temenku minjem pulpen tapi malah diilangin. Kan jadi betee...”
Dari situ, anak bisa menyalurkan emosinya dan bercerita lebih lanjut.
2. Terima Perasaan Anak
Setelah anak mau bercerita, langkah berikutnya adalah menerima perasaannya. Cobalah memosisikan diri seolah ikut merasakan apa yang ia alami. Misalnya:
- “Lima halaman? Banyak banget, Kak! Pasti pegel, yaa, tangannya? Kalau Bunda yang nulis, tangan Bunda udah kesemutan, tuh, kayaknya.”
- “Iyakan, Bunn… siapa coba yang mau nulis sebanyak itu?”
- “Terus… teruss… pulpennya akhirnya ketemu gak?”
- “Yaa gakk, nyebelin banget, kann! Mana itu pulpen kesayangan aku lagi.”
- “Pasti bete banget sih kalau begitu.”
Respons seperti ini membuat anak merasa dipahami, sehingga ia semakin nyaman untuk membuka diri.
3. Hargai Perasaan Anak
Langkah terakhir adalah menghargai perasaan anak. Kawan bisa menyentuh lembut bagian belakang kepala anak, tepatnya di area pusat kunciran rambut. Belaian lembut orang tua membuat anak merasa aman, diterima, dan dicintai.
Meskipun terlihat sederhana, langkah-langkah ini perlu dibiasakan agar Kawan GNFI lebih mudah mempraktikkannya kepada anak. Dengan memahami cara merespons emosi remaja dengan baik, anak akan merasa nyaman dan terbuka dengan orang tua, serta tidak mencari tempat lain untuk meluapkan keluh kesahnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


