Bagi masyarakat Bandung, Patung Pastor Verbraak di Taman Maluku sudah menjadi ikon dari Kota Kembang. Tapi tidak banyak yang mengenal bahwa Pastor Verbraak sebenarnya tidak pernah menginjakkan kaki di Kota Priangan.
Henricus Christiaan Verbraak dilahirkan di Rotterdam pada 24 Maret 1835. Pria yang awalnya ingin menjadi pedagang ini akhirnya memilih belajar teologi pada usia 27 tahun.
Setelah ditahbiskan menjadi pendeta pada 1869, Verbraak menetapkan hati untuk mengabdikan hidupnya dalam pekerjaan misionaris di Hindia Belanda. Tugas pertamanya adalah menjadi misionaris di Padang.
Verbraak tiba di Padang pada tanggal 15 Oktober 1872. Hanya dua tahun, dia ditugaskan untuk menjalankan tugas misionaris ke Aceh pada tanggal 29 Juni 1874.
Tinggal di sebuah gubuk sederhana, Verbraak menjalakan tugas suci di tengah Perang Aceh. Dari gubuk sederhana itu, dirinya melayani 2000 orang, 1500 di antaranya adalah tentara.
“Sampai tahun 1877 Verbraak harus tinggal di sebuah gubuk sederhana yang sekaligus menjadi tempat pelayanannya,” dinukil dari Dunia Aleut.
Penguasa militer saat itu, Van der Heyden, yang mengetahuinya masalah ini memberikan izin untuk mendirikan bangunan yang lebih layak. Setelah itu, di mulailah pembangunan gereja yang mulai dilaksanakan pada 5 Februari 1884.
Gereja dengan menara tersebut dibangun dari kayu yang berkualitas bagus dan lebih kuat dari sebelumnya. Pada Hari Raya Paskah, gereja yang kelak jadi Gereja Katolik pertama di Aceh itu mulai digunakan.
“Gereja ini menjadi Gereja Katolik pertama di Aceh dan setelah mengalami perombakan pada tahun 1924, masih tetap berdiri hingga saat ini,” tuturnya.
Mengabdi di tengah perang
Verbaak menjadi masa-masa sibuk sebagai seorang misionaris sejak tahun 1896-1897. Tiap malam kereta tiba di Kutaraja, mengangkut korban-korban luka dan meninggal.
“Jika satu kereta memasuki Kutaraja, pastor Verbraak menunggu di depan. Setelah semua korban masuk kerumah sakit, Verbraak siap di samping tempat tidur mereka untuk menghibur dan menguatkan mereka,” ungkapnya.
Verbaak bahkan menjenguk pasien kolera walau berisiko tertular. Dia juga berani hadir di tengah hujan peluru untuk menghibur dan menenangkan para tentara di medan perang.
Warga Katolik yang berada di Aceh kala itu menganggap Pastor Verbraak, layaknya seorang bapak yang penuh kasih. Dia bahkan mencari panti asuhan atau orang tua angkat untuk anak-anak yang tertinggal dan tidak terurus.
“Semua instansi di Aceh dihimbau Verbraak untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai umat Tuhan supaya membantu anak-anak yatim piatu ini. Kepedulian pastor Verbraak kepada anak-anak ini membuatnya dicintai semua orang,” jelasnya.
Sosok Verbaak begitu dihormati oleh masyarakat bahkan ketika akan berkunjung ke suatu tempat, satu batalyon dengan 30 bayonet dipimpin oleh seorang sersan keluar dari benteng untuk menjemputnya. Setibanya Verbraak di benteng, ia akan disambut seperti kawan lama.
Dirinya kemudian mendapatkan anugerah gelar Ridder in de Orde van den Nederlandsche Leeuw (Ksatria dalam orde Singa Belanda) dari pemerintah Belanda atas dedikasinya selama 25 tahun bekerja sebagai pendeta. Gelar ini ia terima disamping Medali Aceh dan bintang Ekspedisi yang telah dimilikinya.
“Van Heutsz menjadikan Verbraak, pendeta Jesuit ini, sebagai teladan untuk anak buahnya sebelum berangkat bertugas,” tegasnya.
Memilih untuk berhenti bekerja
Setelah 33 tahun bekerja tanpa henti, Pastor Verbraak memutuskan untuk berhenti bekerja. Usianya saat itu telah 77 tahun dan ia siap menyerahkan pekerjaannya kepada kaum muda.
Walaupun fisiknya masih kuat dan sehat, tetapi penglihatannya saat itu sudah sangat memburuk. Setelah pensiun Verbraak bermukim di Magelang, kota militer di Jawa Tengah.
Di Magelang kesehatan Pater Verbraak terus menurun, banyak orang telah menawarkan pengobatan untuk penyakitnya, namun Verbraak menjawab, “It is old of age. I have lived in good health for 80 years and in the Holy Scripture is written ‘labor et dolor est’ … My old body does not need a nurse; that is too costly”.
Pada tahun itu, 1915, ia merayakan ulang tahunnya ke-80. Perayaan ini mendapat perhatian besar dari penduduk Magelang. Tiga tahun kemudian Verbraak meninggal dunia.
“Jasadnya dikubur dengan upacara kehormatan militer. Musik duka terdengar di hati ribuan masyarakat yang berkabung,” paparnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


