ketika banjir bandang di sumatra menyisakan ketakutan pada anak - News | Good News From Indonesia 2025

Pendekatan Trauma-Informed Care, Perawatan 'Luka' Anak atas Peristiwa Bencana Alam

Pendekatan Trauma-Informed Care, Perawatan 'Luka' Anak atas Peristiwa Bencana Alam
images info

Pendekatan Trauma-Informed Care, Perawatan 'Luka' Anak atas Peristiwa Bencana Alam


Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra sejak akhir November 2025 tidak hanya meninggalkan jejak kerusakan fisik, tetapi juga luka emosional yang tak selalu terlihat. Di balik berita tentang rumah yang hanyut dan akses yang terputus, ada cerita anak-anak yang masih menyimpan ketakutan, terutama terhadap air dan hujan.

Bagi anak-anak, kelompok paling rentan, bencana bukan sekadar peristiwa alam, Kawan GNFI. Ia adalah pengalaman yang sulit dipahami, tapi membekas kuat dalam ingatan.

Ketika Air menjadi Sumber Ketakutan

Saat banjir bandang menerjang, anak-anak menyaksikan kepanikan orang dewasa, teriakan panik, dan derasnya air yang mengamuk tanpa ampun. Semua terekam kuat di ingatan mereka yang polos dan sensitif.

Kapasitas emosional anak usia dini sedang berkembang pesat, sehingga mereka kesulitan memahami kejadian itu secara rasional. Pengalaman ini sering berubah menjadi fobia spesifik, seperti rasa takut berlebihan terhadap air, hujan deras, atau suara gemuruh petir.

Padahal, di usia mereka, air biasanya identik dengan permainan riang seperti berenang atau cipratan air di sawah. Trauma banjir menggeser makna itu secara drastis: air tak lagi menyenangkan, melainkan simbol ancaman yang menakutkan.

Contoh nyata terlihat pada anak-anak di Aceh dan Sumatera Utara pascabencana ini, yang menolak mandi atau bahkan minum air keran karena asosiasi traumatis.

Dampak Psikologis yang Perlu Diwaspadai

Ketakutan pascabencana sering mengganggu rutinitas harian anak secara signifikan. Mereka cenderung lebih mudah gelisah, menolak berpisah dari orang tua, serta selalu dalam keadaan waspada berlebih. Tak sedikit anak yang panik hebat ketika mendengar deru hujan lebat atau sekadar melihat genangan air di pinggir jalan. R

iset psikologi global pascabencana alam mengungkap bahwa sekitar 30-50% anak mengalami gejala trauma ringan, seperti kondisi "mode siaga" di mana pusat ketakutan di otak mereka tetap tegang, seakan ancaman datang sewaktu-waktu.

Di Indonesia, temuan serupa dari studi pasca-banjir Jakarta 2020 menunjukkan regresi perilaku pada anak, seperti enuresis nokturnal atau gangguan tidur berkepanjangan. Tanpa penanganan tepat, hal ini dapat menghambat kemajuan emosional, kepercayaan diri, kemandirian, hingga pencapaian akademik mereka.

Dalam jangka panjang, berpotensi memicu gangguan kesehatan jiwa seperti depresi atau kecemasan berkelanjutan. Namun, dengan pendampingan hangat, anak-anak bisa bangkit lebih tangguh.

Membangun Rasa Aman, Perlahan tapi Konsisten

Langkah paling dasar adalah membangun kembali rasa aman secara bertahap. Mulailah dengan mendengarkan cerita anak tanpa menghakimi, memvalidasi perasaan takut mereka, dan hindari memaksa "segera berani".

Anak perlu merasa ketakutannya dipahami, bukan dianggap berlebihan atau lemah. Aktivitas sederhana seperti bermain air secara terkendali, misalnya mengisi ember kecil di halaman, menggambar pengalaman banjir, atau mendongeng tentang pahlawan yang mengatasi badai bisa menjadi sarana ekspresi emosi alami.

Pendekatan trauma-informed care, seperti yang direkomendasikan WHO, menekankan teknik grounding: ajak anak bernapas dalam, sentuh benda aman, atau hitung benda biru untuk mengalihkan fokus dari memori traumatis.

Guru dan relawan bisa integrasikan permainan kelompok di posko pengungsian, sementara orang tua ciptakan rutinitas harian yang stabil. Dukungan konsisten ini bukan hanya menyembuhkan luka, tapi membangun ketangguhan mental.

Peran orang dewasa, orang tua, keluarga, guru, hingga relawan, sangat menentukan proses pemulihan ini. Dengan pendampingan tepat, luka emosional perlahan pulih. Di sinilah peran kita semua menjadi krusial, Kawan GNFI.

Melalui kehadiran hangat, empati tulus, dan dukungan berkelanjutan, anak-anak dapat kembali belajar merasa aman. Dari sana, mereka tidak hanya pulih dari trauma, tetapi tumbuh menjadi generasi tangguh yang siap menghadapi tantangan masa depan, termasuk perubahan iklim yang semakin ekstrem.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KH
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.