Bencana besar disusul tsunami menghantam Flores pada 12 Desember 1992. Banyak rumah yang rata dengan tanah akibat bencana itu, termasuk hunian keluarga ini; Mama Nona. Syukurnya, Mama Nona dan keluarga selamat karena mereka berlari ke bukit.
“Kami selamat, karena langsung lari ke bukit. Tapi rumah kami rata tanah tak ada sisa. Yang tersisa hanya baju yang kami pakai,” kata Anselina Mama Nona, dikutip dari Pinisi.
Setelah bencana itu, banyak warga yang memilih pindah dan tak kembali ke rumah asalnya. Akan tetapi, Viktor Emanuel Raiyon atau yang biasa dikenal sebagai Baba Akong, bertahan.
“Ia bilang, rumah kita di sini, dan akan tetap di sini sampai kapan pun,” kata Mama Nona, saat mengenang Baba Akong.
Baba Akong justru merencanakan upaya perbaikan sekaligus pencegahan. Agar apabila ada bencana susulan, dampak yang ditimbulkan tidak separah sebelumnya.
Setelah itu, pada awal 1993, Baba Akong mulai merencanakan penanaman mangrove. Katanya, mangrove-mangrove tersebut kelak akan menjadi pelindung kampung Reroroja. Sebab, mangrove dapat berfungsi sebagai penahan gelombang sehingga masyarakat pesisir dapat selamat jika bencana kembali datang seperti yang pernah mereka alami.
Baba Akong sempat mengajak istrinya mencari anakan bakau. Akan tetapi, Mama Nona saat itu menolak. Pantai, bagi Mama Nona, adalah tempat mencari ikan, bukan tempat menanam pohon.
Tak berhenti di situ, Baba Akong kembali mengajak kedua kalinya. Akan tetapi, ajakan itu ditolak lagi. Hingga pada akhirnya, saat ajakan ketiga masih ditolak, Baba Akong tetap teguh untuk menanam mangrove, sendirian.
“Kalau mama tidak mau, saya akan melakukannya sendiri,” katanya.
Dari Julukan Gila hingga Penghargaan Kalpataru
Hari demi hari, Baba Akong menanam mangrove seorang diri. Tindakan itu mungkin tampak aneh bagi masyarakat sehingga memancing beragam reaksi. Orang-orang di sekitarnya bahkan sampai menjuluki “Baba Gila”.
Baba Akong tak peduli. Ia tetap menanam. Beberapa tahun kemudian, mangrove tumbuh besar, menyebar, dan menguatkan pesisir. Puluhan hektare lahan yang dulu gersang berubah menjadi hutan bakau yang hidup.
Upaya yang semula dianggap kegilaan itu pada akhirnya mendapat pengakuan. Pada 2008, Baba Akong menerima penghargaan Kalpataru kategori Perintis Lingkungan dari Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar. Setahun kemudian, penghargaan serupa kembali ia terima, kali ini diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara.
Baba Akong
Kisah keteguhan itu juga diabadikan dalam film dokumenter Metro TV berjudul Prahara Tsunami Bertabur Bakau. Film tersebut meraih Juara I Film Dokumenter.
Pendirian Mangrove Information Centre
Setelah puluhan tahun menanam, Desa Reroroja tidak hanya memiliki hutan mangrove. Pada 2013, berdiri Mangrove Information Centre (MIC) “Babah Akong”. Pusat informasi ini dibangun di tengah kawasan mangrove. Dibantu Wetlands International Indonesia, MIC menjadi satu-satunya pusat pembelajaran mangrove di NTT.
MIC dilengkapi perpustakaan mini, jalur kayu sepanjang sekitar 300 meter, pondok istirahat, dan menara pengamatan. Jalur kayu ini memfasilitasi pengunjung agar dapat berjalan menyusuri mangrove tanpa menginjak lumpur. Dari menara, Kawan dapat melihat pemandangan hutan yang rimbun. Tempat ini, selain jadi objek wisata, juga jadi ruang belajar untuk membuktikan bahwa mangrove memiliki beragam manfaat.
Perjuangan Dilanjutkan Anak-Anak
Pada 6 Maret 2019, Baba Akong meninggal dunia pada usia 71 tahun. Amanah penjagaan mangrove berpindah ke Mama Nona dan anak-anak mereka.
Putra sulungnya, Antonius Guido Raiyon, menyebut bahwa kawasan mangrove seluas sekitar 60 hektare terus dijaga. Antonius menyadari, hutan tersebut kini menjadi tujuan wisata. Hutan itu bahkan pernah menjadi lokasi Maumere Jazz Fiesta sekitar 2015. Setelah itu, kunjungan wisata pun meningkat pesat dan hari libur selalu ramai.
Mama Nona hanya menarik biaya masuk sekitar Rp5.000 per orang. Pengunjung yang tidak mampu tetap dipersilakan masuk. Sebagian pendapatan itu digunakan untuk mengganti bambu jembatan yang lapuk setiap enam bulan sekali. Prinsipnya tetap sama sebagaimana yang diajarkan Baba Akong, yakni hutan ini harus memberi manfaat, bukan beban.
“Saya dan anak-anak saya tetap semangat melanjutkan karya suami saya. Kami akan terus menanam dan menanam sebab hutan bakau ini menyelamatkan manusia dan alam dari bahaya abrasi,” ujar Mama Nona, sebagaimana dikutip dari laporan Mongabay Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


