Kawan GNFI, sebuah penanda baru sedang menjulang di cakrawala Ponorogo. Sebuah bangunan monumental yang tidak hanya mencakar langit, tetapi juga mengakar kuat pada tradisi. Pembangunan Monumen Reog dan Museum Peradaban (MRMP) di kawasan Sampung menjadi sebuah pernyataan tegas.
Banyak yang melihatnya sebatas proyek fisik ambisius, sebuah patung raksasa yang melampaui ketinggian Garuda Wisnu Kencana di Bali. Namun, memandangnya sebatas itu merupakan sebuah kesederhanaan.
Proyek tersebut sejatinya merupakan sebuah langkah strategis yang dibingkai sebagai investasi paling murni, yaitu investasi pada identitas. Sebuah upaya menanam modal pada harga diri, sejarah, dan masa depan sebuah warisan adiluhung yang baru saja mendapat pengakuan panggung dunia.
Melampaui Fisik, Merawat Memori
Sebuah monumen menjadi artefak masa depan. Saat Reog Ponorogo secara resmi diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) pada Desember 2024, pengakuan tersebut bersifat abstrak. Pengakuan itu ada di atas kertas, yaitu dalam sebuah seremoni dan dalam hati para seniman.
Lalu, bagaimana cara menerjemahkan pengakuan abstrak tersebut menjadi sesuatu yang abadi dan kasat mata bagi generasi mendatang? Jawabannya ada pada MRMP. Pembangunan struktur setinggi 126 meter itu berfungsi sebagai pasak. Sebuah penanda fisik yang mengunci memori kolektif.
Kesenian Reog selama berabad-abad hidup di panggung, di alun-alun, dan dalam denyut nadi masyarakat. Sifatnya cair, dinamis, dan terkadang rentan terhadap klaim dari pihak luar. Dengan adanya monumen megah, Ponorogo seakan memberikan "rumah" permanen bagi sang warisan. Monumen tersebut menjadi penegasan visual yang kuat di mata dunia, sebuah deklarasi kedaulatan budaya.
Bangunan tersebut bukan menggantikan kesenian Reog yang hidup, sehingga terus berdenyut dalam Festival Nasional Reog Ponorogo yang selalu dinanti setiap tahunnya. Sebaliknya, bangunan itu menjadi pelindung abadinya. Sebuah tugu yang mengingatkan setiap orang yang memandangnya sebagaimana dari sinilah Reog berasal sehingga di sinilah keagungannya dirayakan secara permanen.
Episentrum Baru Peradaban dan Edukasi

Ilustrasi suasana di dalam Monumen Reog Ponorogo
Gagasan besar di balik MRMP tidak berhenti pada patung Reog di puncaknya. Jauh lebih dalam dari itu, kawasan tersebut dirancang sebagai sebuah kompleks bernama Museum Peradaban. Pemilihan lokasinya di Sampung bukanlah tanpa alasan. Kawasan tersebut merupakan simpul sejarah yang kaya dikelilingi oleh situs-situs penting.
Sebut saja Gua Lawa yang menjadi tempat bukti kehidupan prasejarah ditemukan. Ada pula jejak-jejak peradaban Kerajaan Medang Kamulan, era Mpu Sindok. Bahkan, narasi sejarah menghubungkan area Sampung dengan tempat Airlangga dan Mpu Barada.
Monumen Reog menjadi gerbang utama. Pengunjung yang datang karena terpesona oleh kemegahan patung, secara otomatis akan ditarik masuk ke dalam narasi yang lebih utuh. Narasi tentang perjalanan panjang Ponorogo.
Museum Peradaban yang akan diisi dengan berbagai artefak mulai dari era prasejarah, era Hindu-Buddha, era Islam, kolonialisme, sampai koleksi karya sastra layaknya peninggalan Ronggowarsito, berfungsi sebagai ruang kelas raksasa yang hidup dan interaktif. Pengunjung tidak hanya disuguhi tontonan, tetapi juga tuntunan.
Pengunjung diajak menyelami bahwa Reog yang megah hari itu merupakan puncak dari gunung es peradaban yang akarnya menghunjam ribuan tahun ke belakang. Dengan demikian, monumen tersebut berfungsi sebagai jembatan edukasi antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Sebuah destinasi yang melengkapi ziarah budaya ke Makam Batoro Katong atau Kiai Ageng Mohammad Besari.
Menanam Modal, Menuai Kesejahteraan
Sekarang, mari bicara soal "investasi". Setiap proyek monumental pasti membutuhkan biaya besar. Puluhan, bahkan ratusan miliar rupiah digelontorkan. Seringkali, perdebatan publik berhenti pada angka-angka tersebut, mempertanyakan urgensi pembangunan di antara kebutuhan dasar lainnya.
Namun, kerangka berpikir "investasi identitas" mengajak melihat melampaui kolom biaya. Skema pembiayaan yang digunakan, seperti Kerja Sama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha (KPDBU), menunjukkan adanya kolaborasi antara sektor publik dan swasta. Sebuah sinergi yang melihat proyek tersebut sebagai kelayakan jangka panjang, bukan sekadar pengeluaran anggaran. Dana yang dikeluarkan bukanlah ongkos, melainkan modal.
Modal tersebut ditanam di atas lahan tandus bekas galian kapur. Sebuah transformasi luar biasa dari area yang terdegradasi menjadi pusat kebanggaan. Pengembalian investasi (return on investment) dari proyek semacam MRMP tidak hanya dihitung dari tiket masuk. Pengembaliannya bersifat ganda. Secara budaya, kebanggaan dan pelestarian identitas menjadi sebuah aset tidak ternilai. Secara ekonomi, MRMP dirancang menjadi magnet pariwisata baru di lingkar Mataraman.
Kehadirannya akan memicu efek domino ekonomi yang positif. Wisatawan yang datang membutuhkan akomodasi, transportasi, dan kuliner. Warung-warung lokal di sepanjang jalan menuju Sampung akan ikut merasakan geliatnya. Industri kreatif, sanggar seni, dan produsen cenderamata akan tumbuh.
Lapangan kerja baru di sektor pariwisata dan jasa akan terbuka. Monumen tersebut akan menjadi lokomotif ekonomi baru yang bahan bakarnya yaitu kebudayaan. Sebuah strategi cerdas yang mengawinkan pelestarian budaya dengan pembangunan ekonomi regional, mengintegrasikannya dengan destinasi lain seperti Telaga Ngebel atau bahkan Sarangan di kabupaten tetangga.
Warisan yang Disiapkan
Pada akhirnya, Monumen Reog Ponorogo merupakan sebuah warisan yang sedang disiapkan. Bukan warisan dalam arti peninggalan pasif, melainkan sebuah aset aktif. Kawan GNFI, saat memandang monumen tersebut menjulang dengan latar Gunung Wilis, orang tidak hanya akan melihat kemegahan baja dan beton. Orang akan melihat cerminan semangat, kerja keras, dan visi.
Monumen tersebut menjadi bukti bahwa Ponorogo tidak hanya mampu melahirkan kesenian agung, tetapi juga mampu merawat dan membesarkannya dalam skala global. Dalam bingkai investasi identitas, MRMP merupakan polis asuransi terbaik.
Polis yang menjamin bahwa api Reog akan terus menyala, tidak hanya di panggung Grebeg Suro, tetapi juga dalam bentuk mercusuar peradaban yang akan memandu generasi-generasi baru menemukan akar kebanggaan. Sesuai perkataan Umar Kayam, kebudayaan nasional menjadi puncak kebudayaan lokal sehingga Ponorogo sedang membangun puncak barunya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


