Tuan Rondahaim Saragih Garingging (1828-1891), Raja Raya ke-XIV dari Kerajaan Raya Simalungun dijuluki Napoleon der Bataks. Julukan ini disematkan karena kecakapannya dalam memimpin pasukan melawan Belanda. Selain julukan tersebut, Rondahaim Saragih Garingging juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional 2025.
Siapa Tuan Rondahaim Saragih Garingging dari Tanah Simalungun?
Nama Tuan Rondahaim Saragih Garingging telah menjadi legenda di Simalungun. Pada abad ke-19, aktivitasnya melawan Belanda selalu dikenang.
Dalam sejarah lokal, Rondahaim dikenang sebagai Raja Raya ke-XIV, pemimpin Partuanan Raya, sebuah federasi kecil di wilayah Simalungun, Sumatera Utara. Ia lahir sekitar tahun 1828, di masa ketika pengaruh kolonial Belanda mulai merembes ke pedalaman Sumatera.
Julukan Napoleon der Bataks atau Napoleon-nya orang Batak melekat padanya karena kecerdikannya dalam perang dan diplomasi. Julukan ini pertama kali muncul dalam catatan kolonial Belanda, yang mencatat Rondahaim sebagai pemimpin yang licin, taktis, dan sulit ditundukkan.
Raja Lokal Menjadi Simbol Perlawanan
Pada masa itu, wilayah Simalungun belum terikat kuat di bawah kekuasaan kolonial. Setiap kerajaan kecil atau yang disebut Partuanan berdiri sendiri dengan adat dan pemerintahan masing-masing. Partuanan sendiri bisa diartikan sebagai konfederasi adat atau gabungan kerajaan yang diikat oleh hubungan genealogis dan kekerabatan marga.
Ketika Belanda mulai memperluas kontrolnya melalui traktat dan kerja sama politik, Rondahaim menolak tunduk. Ia melihat kebijakan kolonial sebagai ancaman bagi kedaulatan adat dan martabat bangsanya. Dari sinilah semangat perlawanan muncul.
Masa perjuangan Rondahaim Saragih Garingging mencapai puncaknya antara tahun 1889 hingga 1891. Konflik itu bermula dari kebijakan sepihak pemerintah kolonial Belanda yang membuka lahan di wilayah Simalungun untuk perkebunan tembakau dan kopi tanpa izin kerajaan lokal. Kebijakan tersebut merampas tanah adat milik rakyat sekaligus mengeksploitasi tenaga rakyat.
Kondisi inilah yang membakar semangat Rondahaim. Sebagai Raja Raya ke-XIV, ia merasa bertanggung jawab melindungi martabat rakyat dan tanah pusaka leluhur.
Rondahaim tidak hanya seorang pemimpin politik, melainkan juga seorang pemikir taktis. Ia memahami bahwa kekuatan Simalungun tidak terletak pada jumlah pasukan, melainkan pada medan yang ia kuasai dan persatuan antarkerajaan adat. Oleh karena itu, strateginya adalah menjalin aliansi melalui perkawinan politik dan hubungan adat dengan kerajaan-kerajaan di sekitar Simalungun.
Melihat kekuatan militer Belanda, Rondahaim menggembleng pasukan adatnya melalui pelatihan militer intensif. Rondahaim mendatangkan para pejuang dari Tanah Gayo, Alasa, dan Aceh. Daerah tersebut kala itu dikenal memiliki tradisi militer tangguh.
Tak berhenti di situ, Rondahaim juga berupaya membangun jaringan solidaritas antargerakan perlawanan. Ia mengundang tokoh-tokoh penting seperti Teuku Muhammad dari Aceh dan Sisingamangaraja XII untuk berdiskusi soal strategi perang.
Perang, Gerilya, dan Taktik Alam
Sumber sejarah mencatat bahwa Rondahaim menggunakan strategi gerilya, sebuah perang yang memanfaatkan kondisi alam. Dataran tinggi dan hutan-hutan lebat di Simalungun dimanfaatkan sebagai benteng alami. Ia mengerahkan pasukannya dari balik hutan, menyerang konvoi Belanda, lalu menghilang.
Dalam salah satu catatan lokal disebutkan, Rondahaim memerintahkan pembakaran ladang dan penebangan pohon besar untuk menghalangi laju pasukan Belanda di wilayah Gunung Simarsopah. Daerah itu kini dikenal sebagai Pangolatan, dari kata golat yang berarti menghadang.
Yang menarik, Rondahaim juga dikenal lihai dalam perdagangan senjata. Ia dikisahkan menukar hasil bumi dan rempah-rempah dengan senjata yang diperoleh dari jalur perdagangan Malaka. Saat itu, wilayah Malaka dikuasai Portugis.
"Kalau dibilang tanpa senjata, itu ada buktinya meriam. Masih ada peninggalannya di Kodim Simalungun dan ada di Kabupaten Batubara,” jelas kata Sarmedi Purba, dikutip dari Detik.com.
Keteguhan hingga Akhir Hayat
Rondahaim wafat pada tahun 1891. Sepuluh tahun setelah ia meninggal, tepatnya tahun 1901 di bawah pimpinan putranya, Partuanan Raya akhirnya ditundukkan oleh Belanda, Artinya, selama hidupnya, wilayah kekuasaan Rondahaim tidak pernah berhasil ditaklukkan secara resmi oleh kolonial.
"Barulah pada 1901 atau sepuluh tahun setelah wafatnya Tuan Rondahaim, Partuanan Raya yang dipimpin Sumayan Tuan Kapoltakan Saragih Garingging (putra Tuan Rondahaim) takluk kepada pemerintah kolonial Belanda," kata Sarmedi Purba, sebagaimana dikutip dari Media Indonesia.
Lebih dari seabad setelah wafatnya, nama Tuan Rondahaim kembali dibicarakan. Pada 13 Agustus 1999, pemerintah Indonesia menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama atas jasanya.
Tahun ini, Tuan Rondahaim Saragih Garingging juga dianugerahi gelar pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025. Rondahaim menjadi salah satu dari 10 nama yang memperoleh gelar tersebut.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


