Nama Prof. Dr. Koentjaraningrat selalu identik dengan tokoh di balik lahirnya antropologi. Ia dikenal luas sebagai perintis disiplin ilmu tersebut di Indonesia. Buku Pengantar Antropologi masih dipakai oleh lintas generasi, bahkan hingga saat ini.
Yang menarik, selain akademisi, Koentjaraningrat rupanya juga seorang pelukis ulung. Fakta ini ramai dibicakan pada tahun 2023, ketika keluarga dan sahabatnya menggelar pameran 100 Tahun Koentjaraningrat di Jakarta.
Salah satu karyanya, Pedagang Beras (1990) dipamerkan. Lukisan itu menggambarkan realitas dan situasi sebuah pasar di perkampungan, lengkap dengan aktivitas sosial masyarakatnya.
Lukisan-lukisannya lain yang dipajang pun banyak bercerita tentang relasi manusia dengan lingkungannya. Rumah-rumah kampung, wajah pedagang, sampai potret interaksi keluarga, semuanya seperti catatan etnografi yang diwujudkan lewat sapuan kuas di atas kanvas.
Latar belakangnya sebagai antropolog memberi warna pada lukisannya. Ia terbiasa mengamati dan mendalami detail budaya. Bedanya, ketika menulis, ia menggunakan kata. Ketika melukis, ia memakai warna dan garis. Kedua bidang itu sama-sama lahir dari dorongan yang sama, ketertarikan untuk merekam kehidupan manusia.
Sosok Romo Marto Pangarso yang Jadi Guru Spiritual Soeharto
Kedekatan dengan Seni Sejak Masih Muda
Sejak muda, Koentjaraningrat memang dekat dengan dunia seni. Bukan hanya seni lukis, ia juga dikenal sebagai penari yang lihai. Saat duduk di sekolah Algemene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta—sekolah setingkat SMA— ia menekuni tari klasik gaya Tejakusuman yang lahir dari tradisi keraton.
Di Yogyakarta pula Koentjaraningrat mulai mengenal dunia lukis. Sekitar tahun 1946, ketika situasi pascakemerdekaan belum stabil, ia sempat tidak bisa kembali ke Jakarta setelah menyelamatkan koleksi buku dari tempat kerjanya di Museum Nasional.
Kondisi inilah yang justru membawanya bertemu dengan Huiskens, seorang guru gambar, serta sahabatnya, R.J. Katamsi, yang kemudian menjadi direktur Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI).
Prof. Emil Salim, Sang Pelopor Lingkungan yang Membawa Indonesia ke Panggung Global
Koentjaraningrat tidak berhenti pada belajar melukis. Ia juga ikut bergabung dengan Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI), bersama nama-nama yang kelak dikenal dalam sejarah seni rupa nasional seperti Djajeng Asmoro, Hasan Purbo, Harijadi, dan Trubus.
Aktivitas mereka bukan hanya membuat karya untuk pameran, tetapi juga terlibat langsung dalam perjuangan. Bersama kelompok ini, Koentjaraningrat ikut melukis poster-poster perjuangan kemerdekaan. Seni di tangannya menjadi medium perlawanan.
Dari organisasi itu, jaringan pertemanan Koentjaraningrat meluas. Ia bergaul dekat dengan pelukis besar Sudjojono, yang dikenal sebagai “Bapak Seni Lukis Indonesia Modern” dan juga Rusli, perupa yang produktif di masa revolusi.
"Waktu itu, mereka juga sama-sama membuat poster-poster perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan, Koen juga bergaul dekat dengan pelukis Sudjojono dan Rusli," jelas Ilham Khoiri, General Manager Bentara Budaya.
KH Anwar Musaddad, Pencetus UIN di Indonesia Ternyata Anak Angkat H.O.S Tjokroaminoto
Pernikahannya yang Diwakilkan oleh Keris
Selain melukis, Koentjaraningrat dikenal sebagai kolektor keris. Keris dalam kepercayaan masyarakat Jawa bukan hanya senjata tradisional, melainkan simbol budaya dan spiritual dalam tradisi Jawa.
Ada kisah menarik antara keris dengan Koentjaraningrat.
Pada 13 Agustus 1955, Koentjaraningrat menikah dengan Kustiani Sarwono Prawirohardjo di Jakarta. Pernikahan itu berlangsung dengan cara unik. Saat itu, Koentjaraningrat tengah menempuh perjalanan ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi antropologi di Universitas Yale dengan beasiswa Fulbright.
Kembali Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, KH Anwar Musaddad adalah Pendiri Dua UIN di Pulau Jawa
Dalam situasi demikian, sebilah keris milik Koentjaraningrat menggantikan kehadirannya di depan penghulu. Keris itu dibawa oleh pamannya, orang kepercayaan keluarga. Dengan begitu, pernikahan tetap sah menurut adat dan agama.
Keris yang mewakili Koentjaraningrat dalam upacara perkawinannya bukan keris sembarangan. Itu adalah warisan dari ayahnya, Raden Mas Emawan Brotokusumo, seorang abdi Keraton Paku Alaman, Yogyakarta.
Kehadiran keris dalam pernikahan Koentjaraningrat menunjukkan betapa eratnya ikatan dirinya dengan tradisi Jawa. Dalam pandangan kaum priyayi, keris adalah simbol kehormatan, identitas, dan spiritualitas. Keris dianggap benda pusaka yang harus dimiliki, dirawat, dan diwariskan oleh setiap laki-laki Jawa.
Salim Said, Tokoh Pers yang Geluti Banyak Bidang: dari Sastra hingga Militer
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News