Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki mandat untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Namun, dalam praktiknya, efektivitas organisasi ini justru dipertanyakan.
Akhir-akhir ini, PBB kerap dianggap tak mampu untuk membantu memutus konflik internasional. Alih-alih menyelesaikan, tak ada keputusan adil yang diperoleh oleh negara korban konflik. Hal ini membuat semakin banyak pihak menyerukan perlunya reformasi menyeluruh di PBB.
Urgensi Reformasi PBB
Dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” (UPNV) Jakarta, Sarah Novianti, M.A., menjelaskan bahwa reformasi PBB sangat penting karena ada beberapa hal yang dianggap sudah tidak relevan dengan realitas geopolitik saat ini.
Dalam penjelasannya pada GNFI, Sarah menyebut struktur PBB adalah warisan Perang Dunia II yang sudah tidak merepresentasikan realitas geopolitik saat ini, di mana banyak negara berkembang merasa terpinggirkan. Tanpa reformasi, legitimasi PBB akan terus terkikis.
“Terlebih lagi masyarakat internasional melihat perlindungan hak asasi manusia dan tindakan pencegahan berbagai kejahatan HAM berat, seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan agresi (menjadi) terhambat karena kepentingan geopolitik sempit,” kata Sarah, Jumat (24/10/2025).
Lebih lanjut, ia juga menyoroti hak veto yang dimiliki oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB yang acap kali menghentikan dan memblokir resolusi substansial. Dalam praktiknya, hak veto sering dijadikan ‘tameng’ untuk melindungi kepentingan nasional lima negara tersebut. Hal ini membuat Dewan mengalami deadlock (kebuntuan politik) yang membuatnya tidak mampu mengambil tindakan atau mengesahkan resolusi penting untuk krisis besar, contohnya dalam krisis Gaza.
Oleh karena itu, untuk menjamin relevansi dan efektivitas PBB di tengah tatanan global modern, Sarah mengatakan perlu ada perbaikan dalam beberapa hal, yakni hak veto, reformasi komposisi DK PBB, transparansi DK PBB, dan meningkatkan peran Majelis Umum PBB.
Reformasi pada hak veto dapat dilakukan dengan pembatasan dan modifikasi. Bahkan, Sarah menilai, dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tingkat berat, penghapusan hak veto bisa menjadi opsi.
“Tentu ini bertujuan untuk mencegah negara adidaya memblokir tindakan sekutu mereka,” paparnya.
Lebih lanjut, perlu ada reformasi dalam komposisi DK PBB dengan menambah anggota tetap baru dari negara-negara Afrika, Amerika Latin, maupun Asia. Tak ketinggalan, transparansi juga dinilai penting agar akuntabilitasnya meningkat.
“Majelis Umum PBB perlu meningkatkan peran dan otoritasnya dalam isu perdamaian dan keamanan, Majelis Umum PBB harus memberi suara lebih kuat bagi negara-negara kecil agar dapat menyeimbangi kekuatan DK PBB,” imbuh dosen yang juga fokus dengan isu Global South itu.
Di sisi lain, Sarah menjelaskan bahwa sebenarnya upaya reformasi PBB pernah dilakukan di tahun 1990-an. Saat itu, Brasil, Jerman, India, dan Jepang menginginkan kursi permanen di DK PBB. Namun, upaya mereka lewat pengajuan berbagai proposal nihil.
Tak berhenti di sana, tahun pada 2013-2015, Prancis dan Meksiko pernah menginisiasi Political Declaration yang bertujuan untuk membatasi veto dalam kasus atrositi—kejahatan kejam. Sayangnya, upaya itu juga tidak berhasil karena anggota tetap, selain Inggris dan Prancis, enggan menandatangani code of conduct dari ACT.
Upaya normatif juga pernah dilakukan dengan pengesahan dokumen yang mendorong transparansi veto serta mengaktifkan mekanisme Uniting for Peace saat DK PBB mengalami deadlock. Namun, upaya reformasi besar memang belum berhasil.
“Upaya non-amandemen seperti tekanan politik, pemanfaatan Majelis Umum, dan lainnya setidaknya memberikan tekanan politik,” ungkap Sarah.
Hak Veto yang “Tidak Adil’
Sistem veto sering dicap tidak adil. Hal ini membuat PBB sulit bertindak saat menghadapi konflik di dunia, salah satunya Palestina. Sistem vote juga membuat negara kecil semakin tak berdaya jika disandingkan dengan negara superpower lainnya.
Menjawab hal ini, Sarah menjelaskan mekanisme alternatif lewat Sidang Khusus Darurat Majelis Umum apabila DK PBB gagal bertindak akibat kurangnya kesepakatan. Majelis Umum dapat mengeluarkan rekomendasi dan menginisiasi operasi khusus. Akan tetapi, rekomendasi ini tidak mengikat.
Kemudian, PBB dapat menggunakan badan yudisial internasional, seperti International Criminal Court (ICC) dan International Court of Justice (ICJ) sebagai alternatif untuk menetapkan kewajiban negara dan tanggung jawab individu.
Selanjutnya adalah koalisi negara. Maksudnya, jika negara-negara berkoalisi, mereka dapat memberlakukan sanksi, embargo, sampai tekanan diplomatik dan ekonomi. Selain itu, negara lain juga dapat melakukan inisiatif non-amandemen, seperti deklarasi politik atau kode etik agar anggota tetap DK PBB dapat menahan diri dalam menggunakan hak veto pada kasus berat.
“Terakhir, bisa dilakukan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dengan cara meminta anggota tetap DK PBB menjelaskan penggunan veto untuk menambah tekanan politik dan reputasi,” tegas Sarah.
Indonesia Harus Apa?
Meskipun nampak sulit, kabar baiknya Indonesia disebut Sarah memiliki peluang untuk ikut berkontribusi dalam upaya reformasi PBB. Secara historis, Indonesia pernah beberapa kali terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB.
Belum lagi posisi strategis Indonesia di ASEAN dan Global South yang dianggap sebagai nilai plus. Di sisi lain, prinsip politik luar negeri bebas aktif juga memungkinkan Indonesia untuk berkontribusi lebih besar pada misi perdamaian.
“Indonesia bisa mendorong agar sidang darurat Majelis Umum PBB menghasilkan rekomendasi konkret, seperti embargo senjata, mandat misi perlindungan, dan lainnya. Karena upaya ini adalah tindakan legal-politik yang sah,” tukas Sarah.
Di sisi lain, Indonesia juga bisa memimpin koalisi negara untuk mempromosikan transparansi veto, code of conduct, dan peningkatan peran DK PBB. Indonesia dapat mendukung rujukan kasus ke ICC dan ICJ terkait konsekuensi hukum dari sebuah kasus.
Indonesia disebut Sarah juga bisa menggalang konsesus regional, seperti ASEAN, BRICS, hingga G20 untuk reformasi DK PBB, di mana forum-forum ini dapat dipakai untuk mengonsolidasikan suara yang lebih besar di Majelis Umum PBB.
“Yang paling utama tentunya Indonesia harus meningkatakan kapabilitas diplomasi hukum dan diplomasi publik dengan cara menginvestasikan staf hukum internasional terbaik untuk ICJ atau ICC. Tentunya Indonesia harus memiliki tim negosiasi PBB yang hebat yang memiliki kemampuan kampanye moral dan advokasi global yang mumpuni,” jelasnya lebih lanjut.
Dampak Reformasi PBB
Jika reformasi benar terwujud, suara negara berkembang akan lebih didengar. Artinya, keputusan DK PBB dapat lebih mengakomodasi kepentingan Global South. Lalu, jika ada pembatasan penggunaan hak veto, kasus pelanggaran HAM berat dapat segera diselesaikan.
Negara-negara berkembang akan mendapatkan akses yang lebih besar ke agenda global. Hal ini dikarenakan reformasi dapat membuka lebih banyak kursi komite pada negara berkembang.
“Akan tetapi perlu diingat bahwa perubahan struktural membutuhkan waktu panjang dan kompromi besar, dampak baik dari reformasi tersebut bersifat jangka menengah dan panjang yang tentunya bergantung pada politik global,” pungkas Sarah.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


