iPhone 17 Pro sedang dicari banyak orang. Terutama ya oleh para penggemar iPhone. Di Indonesia juga begitu. Kalau saya, lihat harganya saja sudah ngeri. Rp 23.749.000. Itu harga resmi. Belum termasuk casing dan adaptor yang kini dijual terpisah. Bisa demam panas saya untuk sekedar mikir saja.
Yang membuat menarik, itu bukan barang dalam negeri. iPhone datang dari luar. Dari pabrik Apple di China, India, atau Vietnam. Semua dibayar dengan dolar. Dolar yang kita kumpulkan dari ekspor batu bara, CPO, nikel, pariwisata, dan keringat pekerja migran.
Sekarang kurs dolar sekitar Rp 16.500. Artinya, kalau mau beli iPhone senilai 1.500 dolar, kita harus menyiapkan uang sekitar Rp 24.750.000. Tapi coba bayangkan kalau kurs dolar hanya Rp 5.000. Harga iPhone itu langsung turun ke Rp 7.500.000. Murah. Dan bisa dijangkau jauh lebih banyak orang.
Bayangan seperti itu tentu menggelitik pikiran saya. Membuat saya berpikir, apa jadinya kalau rupiah sekuat itu. Dan lebih penting, bagaimana cara mencapainya, dan kemudian membuatnya stabil di posisi itu.
Saya langsung teringat tahun 1998. Waktu itu rupiah sempat jatuh ke titik terendah dalam sejarah, sekitar Rp 17.000 per dolar. Negara porak-poranda. Bank tutup, pabrik berhenti, pengangguran di mana-mana. Tapi hanya beberapa bulan setelah B. J. Habibie menjabat, rupiah kembali ke angka Rp 6.500. Dari Rp 17.000 ke Rp 6.500. Ajaib!
Presiden Habibie melakukan langkah cepat dan berani. Ia bukan ekonom, tapi insinyur penerbangan. Ia mengibaratkan rupiah seperti pesawat yang kehilangan daya angkat. Kalau tidak dikendalikan, bisa jatuh. Maka yang pertama ia lakukan adalah menstabilkan. Menjaga keseimbangan agar pesawat tidak makin menukik.
Habibie mengambil langkah besar pada 21 Agustus 1998: restrukturisasi perbankan. Bank-bank lemah digabung menjadi entitas baru yang sehat. Dari sanalah lahir Bank Mandiri. Ia juga memutuskan memisahkan Bank Indonesia dari pemerintah. Menjadikannya lembaga independen agar tak bisa ditekan kekuasaan politik.
Langkah itu menenangkan pasar. Investor mulai percaya lagi. Modal asing kembali masuk. Nilai tukar menguat. Inflasi yang semula mendekati 78 persen berhasil ditekan menjadi sekitar 2 persen. Habibie tidak mencetak uang. Ia mencetak kepercayaan. Ketika beliau tak lagi menjabat, karena tidak dipilih DPR/MPR, Rupiah amblas lagi.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, rupiah cukup stabil di kisaran Rp 9.000 per dolar. Lama sekali kita menikmati masa itu. Stabilitas ekonomi membuat masyarakat tenang. Kini, dua puluh lima tahun kemudian, rupiah kembali di kisaran Rp 16.500. Menyentuh angka masa krisis, sedikit lagi.
Tapi situasinya tidak sama. Dolar sedang kuat di seluruh dunia. Yen Jepang melemah, won Korea turun, bahkan euro ikut tertekan. Indeks dolar (ukuran kekuatan dolar terhadap enam mata uang besar dunia) kini di posisi tertinggi dalam dua dekade. Artinya, bukan hanya rupiah yang melemah, tapi hampir semua mata uang dunia.
Cadangan devisa Indonesia sebenarnya cukup besar, sekitar 145 miliar dolar. Cukup untuk membiayai impor lebih dari enam bulan. Tapi kuatnya cadangan devisa tidak otomatis membuat rupiah perkasa kalau neraca transaksi berjalan masih defisit. Karena setiap kali impor lebih besar dari ekspor, dolar yang keluar lebih banyak dari yang masuk.
Rupiah yang kuat tak bisa bertahan di atas konsumsi. Ia hanya kokoh kalau ditopang produktivitas. Setiap kali Indonesia berhasil menjual barang bernilai tambah (bukan sekadar bahan mentah) rupiah mendapat tenaga.
Bank Indonesia juga punya dilema. Kalau suku bunga dinaikkan, rupiah lebih stabil karena dana asing masuk mencari imbal hasil. Tapi ekonomi bisa melambat karena kredit mahal. Sebaliknya, kalau bunga diturunkan, ekonomi bisa tumbuh tapi rupiah rentan lari. Menjaga keseimbangan itu seperti mengemudikan kapal di tengah ombak besar.
Singapura memberi contoh bagus. Dolar Singapura kini salah satu mata uang terkuat di dunia. Padahal negara itu kecil dan tanpa sumber daya alam. Tapi mereka mengandalkan disiplin fiskal dan reputasi. Pemerintahnya tidak pernah membiayai belanja dengan utang jangka pendek. Setiap anggaran dijaga agar surplus, bukan defisit. Bank sentralnya, Monetary Authority of Singapore, sangat hati-hati mengendalikan inflasi dan nilai tukar.
Mereka tidak membiarkan uang beredar seenaknya. Dolar Singapura hanya dicetak jika benar-benar ada cadangan devisa yang menutupinya. Artinya, setiap lembar dolar Singapura mewakili aset riil di luar negeri. Itu yang membuat pasar percaya bahwa nilainya tidak akan jatuh. Ditambah lagi, stabilitas politik dan birokrasi yang efisien membuat investor global menaruh uangnya di Singapura. Ketika modal asing masuk, permintaan terhadap dolar Singapura naik. Nilainya pun menguat.
Swiss juga begitu. Negara kecil di tengah Eropa ini menjadikan franc Swiss simbol kestabilan. Pemerintahnya sangat hati-hati mengatur pengeluaran. Mereka menolak inflasi, bahkan lebih takut inflasi daripada resesi. Bank Sentral Swiss tidak menurunkan bunga sembarangan. Mereka juga memegang cadangan emas dan aset luar negeri dalam jumlah besar sebagai penyangga nilai mata uang.
Franc Swiss akhirnya menjadi tempat berlindung. Saat ekonomi dunia goyah, investor memindahkan dananya ke Swiss. Mereka percaya franc tidak akan anjlok. Maka setiap kali ada krisis global, justru franc Swiss yang naik. Stabilitas hukum, korupsi yang hampir nol, dan ketertiban fiskal membuat uang itu dipercaya di seluruh dunia.
Indonesia tentu tidak bisa meniru mentah-mentah. Struktur ekonominya berbeda. Banyak industri kita masih bergantung pada bahan impor. Setiap kali pabrik baru berdiri, impor mesin dan bahan baku ikut naik. Jadi, semakin tinggi produksi, semakin besar permintaan dolar. Ironi ini masih jadi pekerjaan rumah terbesar kita.
Kalau rupiah terlalu lemah, biaya impor naik. Kalau terlalu kuat, ekspor kehilangan daya saing. Maka kurs yang sehat bukan kurs yang murah, tapi kurs yang stabil. Nilai tukar yang mencerminkan kekuatan riil ekonomi, bukan angka yang dipaksakan.
Beberapa negara pernah mencoba jalan cepat lewat denominasi. Turki, misalnya, memotong enam nol dari lira pada 2005. Satu juta lira lama menjadi satu lira baru. Tapi itu hanya kosmetik. Nilainya tetap sama. Yang penting justru kestabilan setelahnya. Indonesia pernah punya wacana serupa, tapi tak pernah dijalankan. Karena kalau ekonomi belum kuat, redenominasi hanya akan membuat kekacauan baru. Menurut saya.
Kita sebetulnya bisa menargetkan kurs yang lebih realistis, misalnya di kisaran Rp 10.000 sampai Rp 12.000 per dolar. Itu bisa dicapai jika ekspor meningkat, impor berkurang, dan inflasi terkendali. Tapi untuk itu, ekspor kita tidak boleh lagi berupa bahan mentah. Nikel harus jadi baterai, CPO jadi biodiesel, batu bara bisa diubah jadi gas sintetis. Dengan begitu, nilai tambah naik, dolar masuk lebih banyak, rupiah menguat secara alami.
Namun masalah paling mendasar kita bukan di kurs, tapi di kebiasaan. Kita terlalu senang barang impor. Dari ponsel sampai sepatu, dari tas sampai perangkat lunak. Padahal setiap dolar yang keluar adalah tenaga kerja yang hilang di dalam negeri.
Kita harus mengubah kebiasaan itu. Tidak dengan menolak barang luar, tapi dengan membanggakan buatan sendiri. Sedikit saja kita menahan impor konsumtif, dampaknya besar. Devisa tidak cepat habis. Rupiah lebih stabil.
Rupiah kuat bukan hanya urusan Bank Indonesia. Tapi cermin dari disiplin fiskal pemerintah, efisiensi industri, dan keyakinan rakyat pada negerinya sendiri.
Rp 5.000 per dolar mungkin terlalu indah untuk jadi kenyataan sekarang. Tapi bukan tidak mungkin. Jepang pernah dari 360 yen per dolar menjadi di bawah 150. Korea Selatan pernah di 1.800 won, kini sekitar 1.300. Mereka bisa karena disiplin, kerja keras, dan percaya pada negerinya sendiri.
Kurs Rp 5.000 per dolar bukan tujuan. Ia cermin. Cermin dari seberapa kuat kita berdiri di atas kaki sendiri.
Namun, berandai-andai pun tak dilarang. Bayangkan pagi ini papan kurs di money changer menulis angka Rp 5.000. Bayangkan Anda masuk toko elektronik dan melihat label harga iPhone 17 Pro: Rp 7.500.000.
Andai saja benar begitu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News