Pagi di Jorong Tabek Desa Wisata Talang Babungo dimulai dengan suara musik khas minang dari bambu yang menembus dingin kabut pegunungan. Suaranya lembut, berpadu dengan kokok ayam dan desir angin yang menuruni lereng Bukit Barisan. Dari kejauhan, tampak sekelompok anak muda sedang berlatih tari piring di halaman surau kecil. Di antara mereka, seorang pemuda berkaus abu-abu berdiri mengawasi gerakan para penari. Ia adalah Kasri, sosok yang menjadi motor penggerak semangat budaya di kampung yang mulai tersentuh arus modernisasi.
“Dulu, anak-anak di sini lebih suka main ponsel daripada menari,” ujarnya sambil tersenyum. “Sekarang, mereka justru berebut ikut latihan.”
Kampung yang Tak Mau Hilang dari Peta Budaya
Jorong Tabek adalah sebuah perkampungan kecil di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Wilayah ini dikelilingi hamparan sawah, diapit perbukitan hijau yang tenang. Namun, di balik keindahan alamnya, ada kegelisahan yang sempat tumbuh: budaya Minangkabau perlahan kehilangan tempat di hati generasi muda.
Bagi Kasri, hal itu seperti kehilangan arah. Ia lahir dan besar di Jorong Tabek, menyaksikan bagaimana pesta adat, silat, dan randai makin jarang digelar. Banyak pemuda pergi ke kota mencari kerja, meninggalkan kampung dan cerita-cerita lama.
“Kalau kita tidak mulai dari sekarang, siapa lagi yang mau meneruskan?” katanya lirih.
Dari kegelisahan itulah, pada 2017 Kasri mulai merintis berbagai kegiatan untuk menghidupkan kembali budaya Minang di desanya. Ia mengumpulkan remaja, membentuk sanggar seni, dan mengajak para tetua kampung untuk mengajar randai dan silek (silat tradisional).

Generasi Muda Jorong Tabek berlatih Silek Kurambik (dok. Pemkab Solok)
Awalnya, hanya beberapa anak yang datang. Namun setiap minggu jumlahnya bertambah. Dari latihan sederhana di halaman rumah, sanggar itu tumbuh menjadi tempat belajar bersama, tempat di mana anak-anak Jorong Tabek menemukan identitasnya sendiri.
Kearifan Lokal di Tengah Arus Modernisasi
Perubahan zaman membuat tantangan budaya semakin kompleks. Gawai, media sosial, dan gaya hidup instan membuat kesenian tradisional sering dianggap kuno. Kasri tak menolak teknologi, tapi ia berusaha mencari cara agar budaya lokal justru bisa hidup di tengah kemajuan.
Ia mengajarkan anak-anak menggunakan media sosial untuk menampilkan hasil karya mereka. Video tari piring, randai, dan silat diposting ke internet. Tak disangka, perhatian pun berdatangan. Banyak pihak mulai melirik Jorong Tabek sebagai desa yang berhasil memadukan kearifan lokal dengan semangat muda.

Kegiatan Manumbuak Ampiang yang dilakukan secara tradisional menjadi pengalaman tersendiri bagi pengunjung Desa Wisata Talang Babungo. (dok. Pemkab Solok)
Di sisi lain, masyarakat mulai merasakan perubahan nyata. Wisatawan datang, sanggar seni diundang tampil ke berbagai daerah, dan pendapatan warga meningkat. UMKM lokal yang menjual kerajinan dan kuliner khas mulai tumbuh di sekitar lokasi latihan seni.
“Budaya bukan sekadar tari dan musik,” ujar Kasri. “Ia juga bisa menjadi jalan ekonomi kalau dikelola dengan hati.”
Astra Datang Membawa Semangat Baru
Perjalanan Jorong Tabek tidak berjalan mulus. Selama bertahun-tahun, keterbatasan dana dan fasilitas membuat gerakan Kasri nyaris berhenti. Namun, titik terang datang ketika program Kampung Berseri Astra (KBA) hadir di Jorong Tabek.
Melalui program itu, Astra membantu memperkuat empat pilar utama: pendidikan, kewirausahaan, lingkungan, dan kesehatan. Namun bagi Jorong Tabek, bantuan terbesar bukan sekadar materi, melainkan pengakuan.
Bersama tim Astra, masyarakat kampung mulai merancang kegiatan terarah: dari pelatihan ekonomi kreatif hingga pengelolaan sampah terpadu. Sanggar seni yang dulu sederhana kini mendapat peralatan dan ruang latihan yang layak.
Tahun 2023, Jorong Tabek resmi meraih predikat Kampung Berseri Astra, penghargaan bagi desa yang mampu membangun diri dengan semangat gotong royong dan inovasi lokal.
“Waktu itu kami menangis,” kenang Kasri. “Bukan karena kami juara, tapi karena akhirnya kampung kecil kami diperhitungkan.”
Denyut yang Tak Pernah Padam
Kini, setiap sore, halaman sanggar di Jorong Tabek tak pernah sepi. Anak-anak datang dengan baju adat warna-warni, membawa semangat yang menular. Para ibu menyiapkan kuliner khas untuk tamu, sementara para bapak memperbaiki alat musik bambu di sudut surau.
Kampung ini menjadi contoh bagaimana budaya bisa menjadi fondasi pembangunan. Tidak hanya menjaga identitas, tapi juga membuka peluang ekonomi dan pariwisata.
Bagi Astra, inilah makna sejati dari program Kampung Berseri: mendorong masyarakat agar mandiri tanpa kehilangan jati diri. “Kami belajar bahwa pembangunan tak selalu soal beton dan gedung,” ujar salah satu perwakilan Astra dalam acara penghargaan itu. “Kadang, pembangunan sejati justru lahir dari hati masyarakat yang ingin mempertahankan budayanya.”
Dari Surau ke Dunia Digital
Salah satu inovasi yang kini menjadi kebanggaan Jorong Tabek adalah program Sekolah Budaya Digital. Kasri bersama beberapa pemuda mendirikan kanal daring untuk mengarsipkan tradisi Minang dalam bentuk video dan dokumentasi digital.
Di dalamnya, mereka menampilkan tutorial tari piring, kisah legenda lokal, hingga wawancara dengan niniak mamak (tetua adat). Proyek ini bukan hanya melestarikan budaya, tapi juga menghubungkan generasi tua dan muda dalam ruang baru: dunia maya.

Manundo Kilangan, menggiling tebu untuk diproduksi sebagai gula dilakukan secara tradisional. (Dok: Pemkab Solok)
“Kalau dulu anak muda hanya tahu TikTok, sekarang mereka tahu randai juga bisa viral,” ujarnya sambil tertawa.
Langkah itu membuat banyak kampung sekitar terinspirasi. Beberapa desa mulai meniru cara Jorong Tabek menggabungkan kearifan lokal dengan kreativitas digital.
Budaya yang Menumbuhkan Harapan
Perubahan paling terasa justru datang dari cara masyarakat memandang diri mereka sendiri. Dulu, Jorong Tabek dianggap kampung biasa — jauh dari kota, tanpa sorotan media. Kini, nama itu dikenal sebagai simbol semangat masyarakat Minang yang menolak punah.
Kebanggaan baru itu melahirkan optimisme. Pemuda yang dulu ingin merantau kini memilih tinggal untuk membangun kampungnya. Anak-anak kecil mulai bermimpi menjadi pelatih tari atau pegiat budaya. Dan setiap kali ada tamu yang datang, mereka bangga memperkenalkan diri:
“Kami dari Jorong Tabek, kampung budaya.”
Kasri tahu, perjuangan belum selesai. Masih banyak tantangan, dari regenerasi hingga pembiayaan. Tapi ia yakin, selama semangat gotong royong tetap menyala, Jorong Tabek tak akan kehilangan denyutnya.
“Saya tidak ingin anak-anak nanti hanya mengenal budaya lewat buku,” ujarnya pelan. “Saya ingin mereka hidup di dalamnya.”
Penutup — Lentera dari Tanah Minang
Malam turun perlahan di Jorong Tabek. Dari surau kecil, suara salawat terdengar lembut bersahut dengan bunyi gamelan. Di halaman sanggar, lampu-lampu kecil menyala, menerangi wajah anak-anak yang berlatih tari piring. Cahaya itu memantul di mata Kasri, seperti lentera kecil yang menolak padam.
Bagi KBA Jorong Tabek Talang Babungo, budaya bukan nostalgia masa lalu, melainkan napas yang menuntun masa depan. Dari kampung kecil di Sumatera Barat ini, Indonesia belajar bahwa pembangunan sejati bukan hanya tentang infrastruktur, tetapi tentang merawat jiwa bangsa.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News