Indonesia konsisten mendorong terwujudnya perdamaian dunia, salah satunya pada konflik Israel-Palestina. Di berbagai forum internasional, Indonesia getol menyuarakan penghentian kekerasan oleh Israel, gencatan senjata, dan pengakuan terhadap hak serta kedaulatan Palestina.
Salah satu momen penting yang mempertegas posisi Indonesia dalam membela Palestina adalah di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations General Assembly (UNGA).
Edisi UNGA ke-80 yang digelar di Markas Umum PBB pada 23-29 September 2025 lalu terasa spesial. Saat itu, Presiden Prabowo Subianto menjadi salah satu kepala negara yang berpidato di agenda tahunan tersebut dan mendapatkan giliran ke-3 setelah Presiden Brasil dan Presiden Amerika Serikat untuk menyampaikan orasinya.
Prabowo menjadi Presiden RI pertama setelah 10 tahun yang hadir langsung dalam Sidang Umum PBB. Kehadirannya dianggap membuktikan posisi Indonesia yang makin diperhitungkan di kancah dunia. Menariknya, pidato Prabowo juga mendapatkan pujian dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Salah satu hal yang ia soroti dalam pidatonya adalah konflik Israel-Palestina. Prabowo dengan tegas menyampaikan bahwa Indonesia mendukung penuh implementasi two-state solution sebagai solusi untuk menghentikan konflik berkepanjangan tersebut.
Lalu, bagaimana posisi diplomatik Indonesia jika dilihat dari pidato Prabowo saat Sidang Umum PBB tersebut?
Arah Navigasi Polugri Indonesia dalam Konflik Israel-Palestina
Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), Winda Eka Pahla Ayuningtyas, menerangkan jika kebijakan politik luar negeri (polugri) Indonesia tetap mengacu pada konsep bebas aktif. Dukungan untuk Palestina juga sesuai dengan amanat konstitusi untuk menentang penjajahan.
Pidato Presiden dalam Sidang Umum PBB juga menyinggung secara eskplisit terkait penderitaan rakyat Palestina dengan pengalaman pahit Indonesia saat dijajah dahulu.
“Dengan demikian, pidato tersebut tidak hanya mengulangi posisi kebijakan, tetapi juga membingkainya sebagai bagian dari narasi perjuangan dan identitas nasional Indonesia,” jelas Winda pada GNFI.
Lebih lanjut, pidato Prabowo di Sidang Umum PBB juga merupakan contoh dari diplomasi pragmatis yang canggih. Penekanan pada kemerdekaan Palestina sekaligus mengakui dan menjamin keamanan serta keselamatan Israel, disebut Winda menandai pergeseran jika dibandingkan pemerintahan sebelumnya.
Menurut Winda, langkah ini merupakan upaya strategis untuk meningkatkan kredibilitas Indonesia, di mana Indonesia dapat memposisikan diri sebagai mediator potensial yang dapat diterima oleh semua pihak, termasuk Amerika dan sekutunya.
Selain itu, pernyataan Prabowo juga menjadi upaya Indonesia untuk mengelola risiko dalam politik luar negeri. Indonesia ingin tetap mempertahankan hubungan baik dengan dunia.
“Ini memungkinkan Indonesia mempertahankan hubungan baik dengan kekuatan global sambil tetap memegang prinsip dukungan untuk Palestina, sebuah keseimbangan yang krusial,” jelasnya.
Langkah ini diterima baik oleh Amerika Serikat dan Israel. Namun, tentu saja banyak reaksi keras yang muncul dari sebagian publik Indonesia, karena dianggap tak adil bagi Palestina.
Melihat hal ini, politik domestik jelas terbukti menjadi faktor yang amat dominan. Pernyataan Presiden Prabowo untuk “jaminan keamanan Israel” memicu perdebatan publik.
Belum lagi foto Prabowo yang dicatut di papan reklame Israel. Winda mengatakan, fenomena tersebut menunjukkan ada batasan yang jelas bagi pemerintah dalam menavigasi isu Palestina.
“Setiap pergeseran nada atau kebijakan yang dianggap terlalu akomodatif terhadap Israel akan menghadapi pengawasan dan tekanan publik yang kuat,” paparnya.
Kementerian Luar Negeri juga perlu menegaskan kembali bahwa pengakuan pada Israel hanya mungkin dilakukan setelah Palestina merdeka.
Indonesia sebagai Middle Power
Lebih lanjut, pidato Prabowo secara signifikan memperkuat peran Indonesia sebagai middle power yang lebih proaktif. Tak hanya mengutuk krisis kemanusiaan yang terjadi, Presiden juga menawarkan solusi, seperti kesiapan untuk mengirim 20.000 pasukan penjaga perdamaian.
Two-state solution yang ditekankan oleh Prabowo sebagai satu-satunya jalan keluar, sekaligus pengakuan atas kebutuhan keamanan Israel, memproyeksikan citra Indonesia sebagai aktor global yang rasional dan pragmatis.
“Ini adalah bentuk soft power yang menunjukkan bahwa pengaruh Indonesia datang dari kemampuan menawarkan solusi damai dan menjadi penengah, bukan hanya dari solidaritas retoris,” kata Winda.
Ada beberapa strategi yang ditawarkan Indonesia pada forum PBB untuk mendukung kemerdekaan Palestina, yaitu penegasan two-state solution, prinsip keadilan simultan, intervensi kemanusiaan mendesak, serta kontribusi konkret dengan mengirimkan pasukan perdamaian.
“Strategi ini menunjukkan upaya Indonesia untuk beralih dari sekadar advokasi menjadi penawar solusi aktif di panggung dunia,” pungkas Winda.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News