Food waste masih menjadi sebuah persoalan besar di Indonesia. Ketika sebagian masyarakat kesulitan mencari makan untuk hidup, banyak orang yang justru malah membuang-buang makanan.
Ratusan triliun sampah makanan terbuang begitu saja, padahal jumlah tersebut mampu memberi makan 30% persen dari populasi masyarakat di Indonesia demi menyambung hidup.
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sampah sisa makanan tersebut di Indonesia berhasil menyumbang kontribusi terbesar pada 2023, yakni sekitar 41,4% jauh lebih tinggi daripada sumbangan sampah plastik yang sebesar 18,6%.
Keresahan ini memang telah menjadi salah satu isu lingkungan yang disuarakan di Indonesia, namun rakyat seolah tutup mata terhadap apa yang terjadi.
Permasalahan sampah memang akan terus bergema, namun ada satu hal yang dilupakan. Permasalahan sampah tersebut juga termasuk perihal sampah makanan, yang jarang sekali mendapat perhatian.
Masyarakat cenderung meyakini bahwa sampah makanan dapat terurai dengan baik, bahkan lebih cepat daripada sampah plastik. Padahal, sampah makanan juga memiliki dampak negatif.
Dampak negatif tersebut salah satunya adalah kandungan gas emisi yang terdapat pada sampah makanan. Sebuah kasus ledakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah di Cimahi pada 2005 yang disebabkan oleh longsor dan sampah akibat curah hujan yang tinggi, juga adanya ledakan gas metana.
Dampak tersebut berhasil dibaca dan dipahami dengan baik oleh Garda Pangan Surabaya, sebuah gerakan food bank (bank makanan) yang mengumpulkan dan menyalurkan makanan berlebih dari berbagai sumber untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat yang lebih membutuhkan, seperti kaum pra-sejahtera, yatim piatu dan lansia. Gerakan ini bertujuan mengurangi sampah makanan, dan mengatasi masalah kelaparan dan kemiskinan di Surabaya.
Mengubah Keresahan Menjadi Gerakan Penuh Harapan
Garda Pangan diprakarsai oleh Dedhy Trunoyudho, seorang dengan latar belakang pengusaha catering pernikahan. Sebagaimana umumnya catering pernikahan, masalah pembuangan makanan adalah sebuah masalah yang harus dihadapi tiap akhir pekan.
Membuang makanan dari sudut pandang bisnis, merupakan sebuah pilihan ideal karena cepat, murah dan praktis untuk dilakukan. Namun, Indah Audivtia istri Dedhy melihat kebiasaan tersebut sebagai sebuah keresahan.
Ia menganggap tindakan pembuangan makanan sebagai sebuah hal yang menyesakkan dan mengganggu. Berangkat dari kegelisahan itu, akhirnya membuat pasangan tersebut untuk melakukan sebuah gerakan yang berdampak, yakni mendonasikan makanan berlebih.
Menggandeng Eva Bachtiar, seseorang yang juga bergerak dalam bidang yang sama, mereka bertiga akhirnya membentuk sebuah gerakan food bank di Surabaya yang diberi nama Garda Pangan.
Aksi Menyelamatkan Pangan, Aksi Menyelamatkan Kehidupan
Garda Pangan dengan visi misinya dalam mengurangi sampah makanan, memiliki beberapa program yang sangat hebat. Tidak hanya berpusat pada program food rescue mereka juga menyelenggarakan program seperti Gleaning, Food Drive, Wedding and Event, Campaign juga Kids Education.
Sampah makanan sering dipandang sebagai necessary evil terutama di industry hospitality. Food rescue adalah upaya penyelamatan surplus makanan yang dihasilkan oleh industri ini dari potensi terbuang.
Makanan berlebih tersebut akan diperiksa kembali kualitasnya, dikemas ulang, lalu dibagikan kepada masyarakat pra-sejahtera di Surabaya. Untuk menjamin keamanan dari makanan tersebut, Garda Pangan menerapkan Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat untuk memastikan makanan ditangani secara higienis dan disampaikan secara bermartabat.
Masalah bahan pokok makanan yang terbuang pun diselesaikan dengan gleaning oleh Garda Pangan. Hasil panenan para petani yang termasuk ugly produce yang masih layak konsumsi tersebut,dikumpulkan.
Mereka juga mengadakan food drive sebagai upaya untuk mengumpulkan donasi surplus makanan pada momen tertentu, misal hari raya, nikahan atau acara besar lain yang melibatkan makanan dalam jumlah besar.
Selain upaya food rescue, Garda Pangan juga melakukan campaign, untuk menyebarkan kesadaran untuk mengurangi sampah makanan kepada masyarakat melalui media sosial dan Car Free Day (CFD).
Upaya campaign ini juga menyasar anak-anak dengan program khusus yang diberi nama Kids Education. Karena kesadaran akan menghargai makanan dan mengurangi sampah makanan sebaiknya dipupuk sejak dini untuk menciptakan generasi yang sadar dan peduli terhadap permasalahan ini.
Mengubah Piring Sisa Menjadi Harapan baru dan Misi Kemanusiaan
Garda Pangan yang berdiri sejak 2017 tersebut hingga pada Juni 2024 berhasil menyelamatkan 580,755 porsi makanan dari 137 ton makanan yang berpotensi hilang menjadi sampah, untuk disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Gerakan ini turut mendukung tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) atau sustainable development goals (SDGs) ke-1 (tanpa kemiskinan), ke-2 (tanpa kelaparan), dan ke-12 (Konsumsi yang bertanggungjawab).
Upaya mereka dalam mengurangi limbah pangan sekaligus mengatasi masalah kelaparan ini menunjukkan dampak yang nyata dalam menjaga ketahanan pangan di masyarakat.
Selain dampak sosial, Garda Pangan juga memberikan dampak positif terhadap lingkungan. Setiap makanan yang terselamatkan mengurangi emisi gas rumah kaca dari sampah makanan yang membusuk. Dengan demikian, Garda Pangan secara tidak langsung turut berkontribusi pada pengurangan emisi dan mendukung upaya pelestarian lingkungan.
Meminjam kutipan Peter Marshall, "Pekerjaan-pekerjaan kecil yang selesai dilakukan lebih baik daripada rencana-rencana besar yang hanya didiskusikan". Maka, Garda Pangan adalah contoh nyata dari upaya kolektif untuk mengatasi masalah yang kompleks seperti kelaparan dan pemborosan makanan.
Dengan pendekatan berbasis redistribusi makanan, edukasi, dan pelibatan masyarakat, Garda Pangan berhasil menunjukkan bahwa makanan berlebih yang sering menjadi limbah, kali ini dapat menjadi sumber daya penting untuk memenuhi kebutuhan pangan kelompok rentan.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News