menggagas psikologi kita dekolonisasi ilmu jiwa indonesia - News | Good News From Indonesia 2025

Menggagas “Psikologi-Kita”: Dekolonisasi Ilmu Jiwa Indonesia

Menggagas “Psikologi-Kita”: Dekolonisasi Ilmu Jiwa Indonesia
images info

Menggagas “Psikologi-Kita”: Dekolonisasi Ilmu Jiwa Indonesia


Kolonialisme tidak hanya menaklukkan wilayah dan sumber daya, tetapi juga membentuk kesadaran manusia yang dijajah. Seperti yang dikatakan novelis Karibia, George Lamming, “pengalaman kolonial adalah pengalaman kejiwaan yang berkelanjutan hingga situasi kolonial yang sebenarnya itu resmi berakhir” (Loomba, 2016).

Kolonialisme menciptakan pandangan-pandangan tertentu pada masyarakat terhadap relasi kuasa sebagai suatu kepercayaan yang diyakini sepanjang hidup. Seperti yang dikatakan Mohammad Hatta, suntikan psikologis yang diberikan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda bertujuan untuk menegaskan superioritas ras kulit putih dan menanamkan kepercayaan pada ketidakberdayaan diri dan konsekuensinya dibutuhkan oleh penguasa (Breman, 2024).

Keyakinan terhadap superioritas ras kulit putih dan Barat telah membumi dalam jiwa masyarakat Indonesia, begitu pula pada ilmu pengetahuan yang dikembangkan secara nasional.

Psikologi menjadi salah satu ilmu yang turut melanggengkan kolonialisme itu sendiri sejak diluncurkannya kebijakan politik etis yang bertujuan untuk mengangkat penduduk asli melalui pendidikan, teknologi, reformasi pertanian, dan pembangunan ekonomi (Pols, 2019).

Kehadiran beberapa psikiater kolonial, seperti J. H. F. Kohlbrugge, P. H. M. Travaglino, dan F. H. van Loon menciptakan berbagai pandangan kontroversial yang mengerucut pada “masyarakat pribumi adalah masyarakat primitif” dan menjadikannya suatu ‘mitos’ abadi yang menguatkan superioritas ras kulit putih dan Barat (Alatas, 1988; Pols, 2007, 2019).

Dominansi pandangan Barat dalam pola hidup masyarakat Indonesia membuat kita cenderung tergantung dan menerima dengan ikhlas berbagai pandangan mereka tanpa meragukan, mempertanyakan, atau bahkan mengkritisinya.

Dominansi ini telah membentuk suatu hegemoni yang mengombinasikan paksaan dan kerelaan pada subjek-subjeknya (Loomba, 2016). Lalu, hingga saat ini, dalam bayang-bayang kolonialisme yang masih membekas, sudahkah kita sampai pada ‘Psikologi Kita’?

Ilmu psikologi sebagai pendidikan di Indonesia hadir pertama kali secara formal pada 3 Maret 1953 di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia yang diprakarsai oleh Prof. Dr. Slamet Iman Santoso dengan semangat the right man in the right place (Supratiknya, 2000; Wibowo, 2008). Semangat the right man in the right place didasari pada peran psikolog dalam perusahaan, di mana muncul kekhawatiran terhadap mayoritas alat tes yang berasal dari Amerika dan Eropa (Wibowo, 2008).

Sayangnya, psikologi di Indonesia saat ini hanya memiliki bangunan dan tiruan ilmunya, di mana semuanya meniru dan bukan asli sehingga menjadi suatu tantangan bagi psikologi di Indonesia untuk membuat penelitian yang cocok untuk Indonesia tanpa terpaku oleh konsep-konsep Barat, serta bersifat lintas budaya atau indigenous psychology (Markum, 2008; Martaniah, 2008). Bahkan, kurikulum dalam pendidikan psikologi di Indonesia masih didominasi oleh pengetahuan-pengetahuan dari Barat dan menjadi ‘arus utama’ dalam ilmu psikologi.

Para Petani Mengayuh Sepeda untuk Meninggalkan Sawahnya | Foto: (unsplash.com | Dikaseva)
info gambar

Para Petani Mengayuh Sepeda untuk Meninggalkan Sawahnya | Foto: (unsplash.com | Dikaseva)


Istilah "Psikologi-Kita" dalam tajuk tulisan ini saya ambil dari pemaknaan “kita” dalam modus “Kita dan Kami” yang ditulis oleh Fuad Hassan. “Kita” dimaknai sebagai suatu kebersamaan demi inklusi yang dihayati sebagai kebersamaan subjektif dan dapat berkembang sebagai suatu identitas (Hassan, 1974).

Artinya, "Psikologi Kita" merujuk pada ilmu psikologi yang dikembangkan oleh ‘kita’ selaku subjek-subjek di dalamnya dan mengembangkan ilmu psikologi dengan identitas yang kita konstruksikan. "Psikologi-Kita" merujuk pada indigenous psychology yang perlu dikembangkan dengan melihat konteks sosio-kultural Indonesia saat ini sehingga perlu dilakukan dekolonisasi dalam mengembangkan "Psikologi-Kita".

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Phiri, Sajid, dan Dellanorelle (2023), diperlihatkan bahwa banyak teori, praktik, dan intervensi psikologi dikembangkan dari perspektif “white” atau Barat yang kemudian dijadikan acuan global tanpa cukup mempertimbangkan konteks budaya, sejarah, dan pengalaman berbagai kelompok minoritas atau non-Barat.

Upaya dekolonisasi yang dilakukan seringkali bersifat permukaan (surface changes) seperti menambah bacaan dari penulis minoritas atau mengundang pembicara tamu, tanpa menggali aspek struktural dan epistemologis yang lebih dalam sehingga perlu mengubah dasar epistemologi dan struktur dari kurikulum itu sendiri agar lebih adil, relevan, dan kontekstual.

Kemudian, dengan belajar melalui proyek penelitian kualitatif di Cape Town, Afrika Selatan, Keikelame dan Swartz (2019) menganjurkan suatu pendekatan alternatif yang sesuai secara budaya untuk penelitian kesehatan dan untuk meningkatkan luaran kesehatan bagi kelompok marjinal. Metode penelitian yang partisipatif dan transformatif dengan mengakui aset individu maupun komunitas diperlukan untuk dapat memberikan dampak positif terhadap isu-isu kesehatan masyarakat lokal.

Dalam konteks Indonesia, Saraswati dan Beta (2020) mengusik klaim universalitas dari teori Barat mengenai asumsi kebebasan perempuan muda di Indonesia karena tidak mempertimbangkan pengalaman lokal.

Melalui "knowing responsibly", perlu adanya kesadaran peneliti terkait posisi, relasi-kuasa, dan konsekuensi dari pengetahuan itu sendiri. Peneliti harus mengakui posisinya (privilege, bahasa, akses, kelas, dan lokasi), menunda klaim kebenaran suatu pandangan dengan mendengarkan, dan bertanggung jawab terhadap akibat materi dari suatu publikasi dan wacana. Dekolonisasi bukan sekadar menggantikan teori Barat dengan teori lokal, tetapi juga mengkritisi wacana universalitas dari teori Barat.

Dekolonisasi psikologi di Indonesia tampaknya perlu dilakukan untuk terciptanya "Psikologi-Kita" yang lebih adaptif dan kontekstual. Ilmu psikologi sebagai ilmu humaniora seharusnya mampu meletakkan dirinya pada tatanan masyarakat yang lebih kontekstual dan relevan dibandingkan dengan membawa sesuatu dari ‘luar’ yang belum tentu kontekstual dan relevan di masyarakat.

Perlu adanya kesadaran dari para peneliti ilmu psikologi untuk tidak terpaku pada psikologi yang universal dan beralih pada psikologi yang kontekstual, reflektif, dan peka terhadap keragaman sosio-kultural tempat manusia hidup serta berpikir. Psikologi-Kita tidak memandang teori Barat sebagai suatu kebenaran tunggal, tetapi berupaya mengakar pada pengalaman historis, nilai lokal, dan kondisi sosial masyarakat sendiri.

Kawan, jika psikologi terus berpegang pada teori universal yang lahir dari Barat, sampai kapan kita bisa mengenal manusia Indonesia dari kacamata kita sendiri?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

LK
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.