Ketika pemerintah memperkenalkan program Makan Bergizi Gratis (MBG), banyak pihak menyambutnya dengan penuh optimisme.
Sebuah program yang memungkinkan anak-anak Indonesia menikmati makanan bergizi tanpa biaya terdengar seperti langkah besar dalam pembangunan sumber daya manusia.
Apalagi di tengah tantangan seperti stunting, anemia, dan ketimpangan gizi antarwilayah, MBG diharapkan menjadi solusi yang bukan hanya memberi kenyang, tetapi juga memperkuat kesehatan generasi mendatang.
Namun, di balik semangat mulia tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah makanan yang disajikan benar-benar memenuhi standar gizi seimbang dan keamanan pangan? Di sinilah evaluasi nilai gizi menjadi elemen krusial dalam menjamin keberhasilan program ini.
Memahami Makna Nilai Gizi
Selama ini, banyak orang masih menganggap bahwa makan bergizi cukup berarti makan nasi, lauk, dan sayur. Padahal, dalam ilmu gizi, istilah "bergizi" jauh lebih kompleks dari sekadar isi piring yang terlihat lengkap.
Makanan bergizi memiliki komposisi seimbang antara zat gizi makro dan mikro seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Keseimbangan inilah yang menjadi kunci menjaga daya tahan tubuh, mendukung pertumbuhan, dan mencegah berbagai penyakit akibat kekurangan maupun kelebihan gizi. Selain kandungan zat gizinya, makanan bergizi juga harus memperhatikan kualitas bahan, cara pengolahan, serta keamanan dan kebersihannya.
Dalam konteks MBG, pemahaman tentang “bergizi” menjadi sangat penting. Makanan yang tampak lengkap belum tentu memiliki nilai gizi optimal.
Di sinilah evaluasi nilai gizi dibutuhkan untuk memastikan setiap hidangan yang diberikan benar-benar mendukung kesehatan anak-anak penerima program.

Makan Bergizi Gratis © Dokumentasi Pribadi
Pentingnya Evaluasi Nilai Gizi
Menilai kandungan gizi dalam makanan merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa asupan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Evaluasi nilai gizi adalah proses sistematis untuk menilai kandungan dan kualitas gizi suatu makanan, dengan tujuan memastikan komposisi, keamanan, dan manfaat zat gizinya bagi tubuh.
Dalam program MBG, evaluasi ini seharusnya diterapkan sejak tahap perencanaan menu hingga penyajian di lapangan. Setiap tahap, mulai dari pemilihan bahan baku, cara pengolahan, penyimpanan, hingga kebersihan alat dan tenaga kerja, berpotensi memengaruhi kualitas gizi makanan.
Misalnya, cara memasak yang terlalu lama bisa mengurangi kadar vitamin dan mineral, sementara penyimpanan yang tidak tepat dapat menurunkan kualitas protein atau menyebabkan kontaminasi mikroba.
Evaluasi juga mencakup penilaian keseimbangan dan variasi menu. Menu yang tampak lengkap belum tentu seimbang secara nutrisi bisa jadi berlebih karbohidrat tetapi miskin protein hewani atau zat besi.
Karena itu, keterlibatan ahli gizi, teknologi pangan, dan lembaga pengawasan sangat diperlukan untuk memastikan kualitas pangan tetap terjaga.
Keracunan MBG dan Celah Pengawasan
Harapan besar terhadap MBG seolah diuji ketika sejumlah daerah justru diwarnai oleh kasus keracunan massal. Dalam beberapa bulan terakhir, insiden terjadi di Bandung, Tasikmalaya, PALI, dan Lebong menimpa puluhan hingga ratusan siswa sekolah.
Sebagian besar kasus ini diduga dipicu oleh kelalaian dalam proses pengolahan dan penyimpanan makanan, seperti bahan pangan yang dimasak terlalu awal lalu disimpan terlalu lama sebelum dibagikan ke sekolah atau penggunaan bahan yang tidak lagi segar tanpa uji kualitas terlebih dahulu.
Salah satu contoh yang menyorot lemahnya evaluasi gizi terjadi di Bandung. Berdasarkan keterangan Badan Gizi Nasional (BGN), makanan untuk program MBG dimasak pada dini hari agar cukup untuk ribuan porsi. Namun, baru dikirim ke sekolah beberapa jam kemudian tanpa kontrol suhu yang memadai.
Akibatnya, makanan mengalami penurunan mutu dan potensi pertumbuhan bakteri, seperti Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus yang lazim berkembang pada makanan matang yang dibiarkan terlalu lama.
Jika proses ini dievaluasi secara berkala, misalnya dengan pemeriksaan suhu penyimpanan dan waktu distribusi, kasus semacam ini bisa dicegah sejak awal.
Peristiwa keracunan MBG menunjukkan bahwa persoalannya bukan sekadar kebersihan dapur, melainkan ketiadaan sistem evaluasi gizi dan keamanan pangan yang menyeluruh.
Pengawasan tidak cukup hanya pada jumlah makanan yang dibagikan, tetapi juga harus mencakup seluruh rantai pengolaha mulai dari pemilihan bahan, waktu memasak, penyimpanan, hingga distribusi.
Tanpa evaluasi yang ketat, makanan bergizi justru berisiko menjadi sumber penyakit, bukan sumber kesehatan bagi anak-anak penerima program.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News