Di kehidupan modern saat ini, hampir semua yang kita makan hadir dalam bentuk instan. Sarapan? Cukup dengan sereal siap saji. Makan siang? Tinggal seduh mi instan. Makan malam? Diakhiri dengan produk siap saji lainnya. Bahkan, kini nasi punya versi instannya. Praktis, cepat, dan tentu saja, mengenyangkan. Namun, Kawan GNFI, di balik kepraktisan itu muncul pertanyaan besar:
Apakah tubuh kita benar-benar mendapatkan gizi yang dibutuhkan?
Label “gizi seimbang” atau “mengandung vitamin” sering kali membuat kita lengah. Kita jadi merasa aman dan menganggap semua kebutuhan tubuh telah tercukupi.
Padahal, kenyataannya banyak dari produk produk tersebut adalah makanan ultra proses, yang memiliki potensi kehilangan sebagian besar nilai gizinya akibat proses industri yang panjang.
Ironisnya, makanan-makanan ini kini begitu mudah ditemui dan bahkan sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Salah satu contohnya adalah saat beberapa produk ultra proses mulai diikutsertakan dalam program pemenuhan gizi untuk anak-anak dan ibu hamil.
Apa itu Makanan Ultra-Proses?

Beragam Jenis Makanan Ultra-Proses | Foto: Freepik
Berdasarkan sistem klasifikasi NOVA yang dikembangkan oleh peneliti di Universitas São Paulo, makanan dikelompokkan ke dalam empat kategori utama berdasarkan tingkat pengolahannya. Salah satu kelompok tersebut adalah makanan ultra-proses (UPF).
Makanan ultra-proses adalah produk pangan yang dihasilkan melalui serangkaian proses industri kompleks dan mengandung bahan yang jarang kita temui di dapur rumah, seperti protein terhidrolisis, sirup jagung tinggi fruktosa, pemanis buatan, pewarna, serta pengemulsi.
Kombinasi bahan dan teknologi panjang tersebut menjadikan UPF bukan sekedar makanan olahan, melainkan hasil rekayasa formulasi yang dirancang demi menghasilkan pangan yang tahan lama dan menggugah selera.
Namun, di balik kepraktisannya, proses panjang seperti pemanasan berulang, pengeringan, ekstraksi, hingga penambahan bahan tambahan pangan, nyatanya dapat menyebabkan hilangnya sebagian zat gizi alami dari bahan pangan. Contohnya, vitamin dan antioksidan sangat sensitif terhadap suhu tinggi. Selain itu, serat dan protein mudah terurai atau terdegradasi selama proses pemurnian.
Akibatnya, makanan yang telah melalui ultra-proses cenderung padat energi, tinggi gula tambahan, lemak jenuh, dan natrium. Namun, rendah serat, vitamin, dan mineral penting yang dibutuhkan oleh tubuh.
Tren Konsumsi Makanan Ultra Proses
Tidak bisa dipungkiri, makanan ultra-proses masih menjadi favorit di tengah kehidupan modern yang serba cepat. Masyarakat dengan jadwal kerja padat, aktivitas menumpuk, dan gaya hidup praktis cenderung mencari makanan yang cepat disajikan dan mengenyangkan.
Selain itu, harga yang terjangkau serta kemudahan akses di toko, minimarket, hingga aplikasi pesan antar membuat makanan jenis ini semakin digemari.
Namun, banyak yang belum menyadari bahwa di balik kemasan menarik, cita rasa lezat, dan klaim “bergizi” yang ditawarkan, makanan ultra-proses sering kali dijadikan sebagai makanan utama. Padahal, di balik kepraktisan dan kelezatannya, makanan ini tetap minim nilai gizi alami dan dapat berisiko bagi kesehatan jika dikonsumsi secara berlebihan.
Beberapa contoh makanan ultra-proses yang sering dikonsumsi antara lain mi instan, nugget, sosis kemasan, biskuit, minuman manis dalam kemasan, serta makanan cepat saji seperti burger, dan kentang goreng.
Dampaknya untuk Tubuh Kita

Ilustrasi Dampak Makanan Ultra-Proses | Foto: Wayhomestudio via Freepik
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsumsi makanan ultra proses (UPF) berdampak buruk bagi kesehatan. Kandungan gula, garam, dan lemak jenuh yang tinggi, serta rendahnya serat dan vitamin, membuat makanan ini berisiko meningkatkan kejadian obesitas, diabetes tipe 2, hipertensi, dan penyakit jantung.
Di Indonesia, sekitar 16% kalori harian masyarakat berasal dari UPF, seperti mie instan, makanan cepat saji, dan minuman manis. Selain karena rasanya yang gurih dan praktis, harga yang terjangkau membuat UPF lebih sering dikonsumsi oleh kelompok dengan daya beli rendah.
Jika dikonsumsi berlebihan, UPF dapat memicu ketidakseimbangan energi tubuh dan gangguan metabolik yang berujung pada masalah kesehatan jangka panjang.
Langkah Bijak Mengonsumsi Makanan Ultra-Proses

Buah Segar vs Makanan Manis Olahan | Foto: Freepik
Lalu bagaimana kita menyikapinya?
Menghindari makanan ultra-proses sepenuhnya memang sulit, terutama bagi masyarakat yang dituntut serba cepat. Namun, Kawan GNFI tetap bisa mengontrolnya agar tidak menjadi ancaman bagi tubuh.
Beberapa langkah bijak yang dapat dilakukan, antara lain:
Cermat terhadap Apa yang Dikonsumsi
Mulailah menjadi konsumen yang cermat. Pahami label kemasan dan perhatikan daftar bahan yang digunakan dalam produk, terutama kandungan gula, garam, dan lemaknya. Semakin panjang daftar bahan, serta semakin banyak istilah kimia yang tidak familiar, biasanya produk tersebut tergolong makanan ultra-proses.
Seimbangkan dengan Makanan Untuh dan Alami
Bangun kebiasaan mengonsumsi sayur, buah, biji-bijian, serta sumber protein alami seperti telur, ikan, dan tempe. Makanan sederhana yang diolah sendiri di rumah justru memberikan asupan gizi yang lebih utuh dan seimbang.
Jadilah Konsumen Bijak
Jangan mudah tergoda dengan klaim “sehat”, “rendah lemak”, atau “mengandung vitamin” yang sering terpampang di kemasan. Nilai gizi tidak hanya ditentukan oleh satu zat, tetapi dari keseluruhan pola makan dan proses pengolahannya.
Dengan kesadaran dan langkah kecil seperti ini, Kawan GNFI tetap bisa menikmati makanan ultra proses tanpa harus mengorbankan kesehatan. Karena, makanan yang baik untuk tubuh sejatinya bukan soal kepraktisan, tetapi yang benar benar bermanfaat untuk tubuh.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News