charles tambu sosok diplomat berdarah asing pahlawan senyap di balik meja perundingan kemerdekaan indonesia - News | Good News From Indonesia 2025

Charles Tambu: Sosok Diplomat Berdarah Asing, Pahlawan Senyap di Balik Meja Perundingan Kemerdekaan Indonesia

Charles Tambu: Sosok Diplomat Berdarah Asing, Pahlawan Senyap di Balik Meja Perundingan Kemerdekaan Indonesia
images info

Charles Tambu: Sosok Diplomat Berdarah Asing, Pahlawan Senyap di Balik Meja Perundingan Kemerdekaan Indonesia


Di tengah narasi perjuangan kemerdekaan Indonesia yang heroik, seringkali kita melupakan peran penting individu-individu yang, meskipun bukan berdarah asli Nusantara, namun menaruh hati dan jiwa mereka untuk cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Salah satu nama yang patut dikenang adalah Charles Tambu.

Seorang pemuda keturunan Tamil India kelahiran Sri Lanka, Tambu tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga aktor kunci dalam kancah diplomasi internasional yang menentukan nasib Republik Indonesia. Kisahnya adalah testimoni nyata bahwa semangat kemerdekaan melampaui batas geografis dan identitas etnis.

Meskipun namanya mungkin belum sepopuler para proklamator atau jenderal, kontribusi Charles Tambu dalam membela kedaulatan Indonesia di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) layak mendapatkan tempat terhormat dalam buku sejarah indonesia. 

Dari Tanah Hindustan ke Hindia Belanda: Masa Muda Charles Tambu

Mengutip dari kanal YouTube Jiswil Tanjung, Charles Tambu lahir di Sri Lanka pada tahun 1907 dari keluarga keturunan Tamil India. Sejak kecil, takdir membawanya melintasi samudra ke Hindia Belanda, tempat ayah dan ibunya mencari penghidupan yang lebih baik. Pengalaman hidup di tanah koloni sejak dini ini memberinya perspektif unik tentang realitas penjajahan dan penindasan.

Pendidikan formalnya kemudian ditempuh di Inggris. Bekal pendidikan Barat ini membuka wawasannya dan mengasah kemampuan berbahasa Inggrisnya, yang kelak akan sangat berperan dalam misi-misi diplomatik krusial. Pada tahun 1930, Tambu memulai kariernya sebagai wartawan di surat kabar Inggris yang berbasis di Singapura.

Sebagai seorang jurnalis, ia memiliki akses terhadap informasi dan pemahaman mendalam tentang dinamika politik regional dan global, sebuah modal berharga yang akan ia manfaatkan untuk kepentingan Indonesia.

Perjalanan Charles Tambu di Masa Perang

Ketika badai Perang Dunia II melanda Asia Tenggara, Singapura jatuh ke tangan Jepang pada 15 Februari 1942. Era baru penjajahan pun dimulai. Charles Tambu, dengan latar belakangnya yang bekerja di media Inggris, tak luput dari penangkapan Kempetai, polisi rahasia Jepang. Namun, nasib membawanya ke Batavia (kini Jakarta) di mana ia dipekerjakan di fasilitas radio Dai Nippon (yang sekarang dikenal sebagai Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat).

Masa-masa di Batavia inilah yang menjadi titik balik dalam hidup Charles Tambu. Berada di jantung Hindia Belanda, ia mulai menjalin persahabatan erat dengan para pemuda pejuang Indonesia, seperti M. Tamzis dan Sutan Sjahrir.

Kedekatan ini, ditambah dengan kenangan masa kecilnya di Hindia Belanda, menumbuhkan kecintaan yang mendalam pada Indonesia. Tambu mulai bersimpati dengan gerakan kemerdekaan dan tak ragu menyebarkan berita dunia yang tanpa sensor kepada generasi muda dan pelajar Nusantara.

Tindakan ini, meskipun sederhana, sangat vital dalam membakar semangat perlawanan dan membuka mata rakyat akan kebenaran di tengah sensor ketat penjajah.

Ketika Agresi Militer Belanda berkecamuk setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kekejaman pasukan kolonial semakin memperkuat tekad Charles Tambu untuk berjuang bagi Indonesia. Hatinya telah tertambat pada Indonesia, dan ia memutuskan untuk sepenuhnya mendedikasikan dirinya pada perjuangan bangsa ini.

Aktor Kunci di Meja Diplomasi PBB: Membela Indonesia di Mata Dunia

Peran paling monumental Charles Tambu terjadi di panggung internasional. Ia bergabung dengan delegasi Indonesia yang terdiri dari tokoh-tokoh besar seperti Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Soejatmoko, dan Soemitro Djojohadikusumo, untuk mencari jalan damai melalui sidang Dewan Keamanan PBB.

Kehadiran seorang pemuda keturunan India di tengah delegasi Indonesia ini segera menjadi sorotan dunia internasional. Banyak yang menduga ia adalah wakil dari Sri Lanka yang mendukung kemerdekaan Indonesia.

Reaksi Belanda sungguh di luar dugaan. Mereka merasa sangat berang dan berusaha menyerang serta mem-bully Tambu melalui majalah-majalah mereka. Charles Tambu dicap sebagai "seorang mata-mata dari Singapura" yang sebelumnya bekerja sama dengan Jepang, dan kini menjadi "kaki tangan Republik di bawah Soekarno dan Hatta". Namun, cemoohan dan serangan verbal itu tak sedikit pun menggoyahkan tekad Tambu.

Dengan kemampuan bahasa Inggrisnya yang mumpuni dan pemahaman mendalam tentang politik global, Charles Tambu menjadi aset tak ternilai bagi delegasi Indonesia. Ia memainkan peran krusial dalam membantu Sutan Sjahrir menyusun pidato berbahasa Inggris di sidang PBB.

Pidato tersebut terbukti sangat efektif, bahkan membuat delegasi Belanda tergagap-gagap dan kesulitan menjawab pertanyaan dari Sutan Sjahrir. Ini adalah momen penting yang menunjukkan bagaimana kekuatan diplomasi, didukung oleh argumen yang solid dan presentasi yang meyakinkan, dapat mengalahkan narasi penjajah.

Tambu juga aktif mendukung gerakan diplomasi Indonesia di luar negeri, berjuang bersama L.N. Palar, Duta Besar Indonesia pertama untuk PBB.

Jejak Charles Tambu di Indonesia Pasca Pengakuan Belanda

Perjuangan gigih di PBB akhirnya membuahkan hasil manis. Belanda terpaksa harus mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Atas jasa dan perjuangannya yang tak terhingga, Presiden Soekarno tidak hanya menganugerahi Charles Tambu dengan paspor Indonesia, tetapi juga mengangkatnya menjadi Konsul Jenderal Republik Indonesia yang berkedudukan di Manila. Sebuah penghargaan tertinggi bagi seorang yang telah mendedikasikan hidupnya untuk negara yang bukan tanah kelahirannya.

Setelah menyelesaikan tugasnya di Manila pada tahun 1953, Tambu kembali ke Indonesia dan mengabdikan dirinya dalam dunia pers. Ia memimpin redaksi surat kabar Time of Indonesia, surat kabar berbahasa Inggris pertama di Republik Indonesia. Melalui media ini, ia terus berjuang untuk menyuarakan kepentingan bangsa dan membangun citra positif Indonesia di mata dunia.

Sayangnya, perjalanan karir politik dan jurnalistik Charles Tambu harus menghadapi tantangan baru. Pergerakan Permesta pada tahun 1958 berdampak buruk pada karirnya. Surat kabar Time of Indonesia yang dipimpinnya ditutup oleh pemerintah.

Sejak saat itu, perjuangan Charles Tambu terhenti dan ia tersingkir dari panggung Revolusi Indonesia. Kecewa dan mungkin merasa tersisih, ia kemudian pindah ke Kuala Lumpur, Malaysia, dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Charles Tambu wafat pada tahun 1965.

Meskipun mengakhiri hidupnya di negeri asing, Charles Tambu tetap dikenang sebagai seorang pahlawan bangsa. Kisahnya adalah pengingat berharga akan kompleksitas dan keberagaman perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia membuktikan bahwa patriotisme tidak hanya milik mereka yang lahir di tanah air, tetapi juga bagi mereka yang mencintai dan bersedia berkorban demi cita-cita mulia suatu bangsa.

Pengorbanan Charles Tambu, pemuda keturunan India yang membela kedaulatan Republik Indonesia di PBB, adalah contoh teladan tentang integritas, keberanian, dan semangat tanpa batas. Semoga kisah ini menginspirasi kita semua untuk terus menghargai dan meneruskan semangat perjuangan, di mana pun kita berada dan apa pun latar belakang kita.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MS
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.