arus hallyu dan adaptasi film indonesia yang berkiblat ke korea selatan - News | Good News From Indonesia 2025

Arus Hallyu dan Adaptasi Film Indonesia yang Berkiblat ke Korea Selatan

Arus Hallyu dan Adaptasi Film Indonesia yang Berkiblat ke Korea Selatan
images info

Arus Hallyu dan Adaptasi Film Indonesia yang Berkiblat ke Korea Selatan


Gelombang budaya populer Korea Selatan atau yang lebih dikenal dengan Korean Wave semakin hari semakin deras menyapu industri hiburan global. Indonesia pun tak luput dari arus tersebut.

Di 2—3 tahun terakhir, penonton layar lebar dikejutkan dengan hadirnya adaptasi film Korsel seperti A Miracle in Cell No.7 (2013) ke dalam versi Indonesia pada 2022. Kemudian ada juga film Pawn (2020) yang di-remake ke dalam film Indonesia dengan judul Panggil Aku Ayah (2025).

Lantas drama populer Business Proposal (2022) juga resmi diadaptasi menjadi film Indonesia dengan judul yang sama di 2025. 

Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan penanda bergesernya arah kiblat perfilman dunia. Kisah yang populer di Hollywood bukan lagi sebagai satu-satunya yang bisa menarik publik Indonesia. Film-film Korsel pun nyatanya bisa diterima publik Indonesia.

baca juga

Apa parameternya? Salah satunya lihat saja angka penonton film hasil adaptasi itu di bioskop. 

A Miracle in Cell No.7 jadi film adaptasi yang dapat respon terbaik. Film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu menjadi contoh paling nyata bagaimana adaptasi lintas negara bukan hanya memindahkan cerita, tetapi juga menegosiasikan nilai budaya.

Fitriana dkk. (2024) menjelaskan bahwa jika versi Korea menonjolkan solidaritas di penjara dan kritik atas hukum yang kaku, versi Indonesia justru lebih menekankan kedekatan emosional ayah-anak serta ketidakadilan hukum dalam konteks lokal.

Adaptasi ini bahkan mengubah unsur-unsur budaya seperti bahasa, agama, hingga mata pencaharian, sehingga cerita terasa dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia.

Kemudian Panggil Aku Ayah yang walau tak tembus satu juta penonton, namun film ini bertahan di layar perak bioskop-bioskop Indonesia selama 26 hari. Media sosial resmi film yang dibintangi Ringgo Agus Rahman itu menyebut kalau Panggil Aku Ayah ditonton 863.064 orang.

Capaian ini menunjukkan bahwa meskipun tidak termasuk dalam jajaran film box office, film dengan tema keluarga dan relasi emosional masih memiliki tempat yang kuat di hati penonton Indonesia.

Hal ini sejalan dengan temuan Syamsul Bahri et al. (2025) dalam, yang menjelaskan bahwa film-film Indonesia kerap menonjolkan bentuk komunikasi yang lebih verbal, ekspresif, dan religius dibandingkan versi asingnya.

Fenomena adaptasi film atau drama Korsel ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara seperti India, Filipina, Turki, dan negara-negara lain juga berlomba-lomba menghadirkan versi lokal dari drama dan film Korea.

My Love From The Star, salah satu drama Korea terlaris, sudah diadaptasi di beberapa negara dengan sambutan hangat. Dengan kata lain, apa yang selama ini menjadi “produk ekspor budaya” Korea, kini justru menjadi rujukan global.

baca juga

Padahal jika kita melihat kebelakang, situasi ini seakan berbalik. Pada dekade 2000-an, dunia film serta drama Korea lebih sering dikenal sebagai pengadaptasi. Drama Boys Over Flowers dan Naughty Kiss misalnya. Keduanya merupakan adaptasi dari cerita populer Jepang.

Bahkan, selama bertahun-tahun, dominasi hiburan masih dipegang oleh Hollywood yang seolah menjadi standar internasional. Menyaksikan kebangkitan industri hiburan Korea saat ini berarti melihat sejarah yang berputar: dari konsumen adaptasi, Korea kini menjelma menjadi produsen ide yang dikonsumsi dunia.

Lalu, apa yang membuat Korean Wave bisa sedemikian kuat? Jawabannya tidak sesederhana kualitas cerita semata.

Korsel menjalankan strategi kebudayaan yang terintegrasi dengan baik antara pemerintah, agensi hiburan, dan industri kreatif. Dukungan investasi, distribusi global melalui platform digital, serta promosi budaya pop yang terencana membuat konten Korsel memiliki daya saing di pasar internasional.

Bahkan, agensi besar seperti CJ Entertainment kini kerap bekerja sama dengan rumah produksi Indonesia dalam proyek film, memperkuat arus pengaruh Korsel di dalam negeri.

Fenomena adaptasi ini memang memperlihatkan kemauan industri film Indonesia untuk terlibat dalam arus global, tetapi pada saat yang sama, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang posisi kreatif sineas lokal.

etika terlalu banyak sumber cerita diambil dari luar, ruang bagi narasi yang lahir dari realitas sosial dan budaya Indonesia bisa semakin menyempit. Padahal, negeri ini memiliki begitu banyak kisah dengan potensi sinematik tinggi yang belum tergarap secara maksimal.

Kekhawatiran yang muncul adalah apabila keberhasilan diukur hanya dari seberapa besar nama besar yang diadaptasi, bukan dari kekuatan orisinalitas karya itu sendiri.

Jika hal ini terus berlangsung, perfilman nasional berisiko kehilangan ciri khasnya dan hanya menjadi cerminan dari tren budaya luar. Adaptasi seharusnya menjadi sarana belajar dan bereksperimen, bukan justru mengaburkan identitas dan imajinasi kreatif lokal.

baca juga

Lebih jauh, maraknya adaptasi juga menunjukkan bagaimana industri kreatif Indonesia masih cenderung mengikuti pola konsumsi global daripada menciptakan tren baru. Pola ini berisiko menempatkan pekerja film lokal dalam posisi pasif: menyesuaikan diri pada selera pasar yang sudah dibentuk oleh budaya populer Korea.

Padahal, tantangan terbesar perfilman nasional bukanlah bagaimana meniru kesuksesan negara lain, melainkan bagaimana membangun ekosistem yang menumbuhkan ide, memperkuat identitas budaya, dan menghadirkan karya yang berbicara atas nama pengalaman Indonesia sendiri di tengah arus globalisasi budaya.

 

 

 

Penulis: Annisa Maulidina Haqi, Anggie Ayu Isra Tristanty, Diar Candra Tristiawan (mahasiswa Magister Kajian Sastra Budaya, Universitas Airlangga)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.