Apakah di antara Kawan GNFI ada yang pernah merasa adanya ketimpangan harga jual petani dan tengkulak di komoditas pasar? Ya, ini merupakan apa yang dirasakan oleh Muhammad Aria Yusuf dan juga temannya.
Mereka meresahkan adanya ketimpangan tersebut, harga jual dari petani biasanya cenderung lebih rendah daripada harga jual tengkulak.
Awalnya, Yusuf dan keempat temannya menyadari hal ini karena dari daerahnya sendiri, komoditas kelapa Indragi Hilir memiliki kualitas yang diminati dalam cakupan nasional maupun Internasional.
Namun, dalam kondisi tersebut, acap kali para tengkulak menaikkan harga dari petani secara signifikan. Dengan demikian, ketimpangan harga jual dari petani dan tengkulak tidak dapat terhindarkan.
Setelah Yusuf sadar akan fenomena tersebut, ia membuat sebuah aplikasi pertanian berbasis teknologi. Ia mengembangkan aplikasi tersebut tahun 2017 silam dengan fokus pada komoditas kelapa pada saat itu.
Berawal dari empat sahabat dari berbagai latar belakang keahlian, yaitu ; seorang pengusaha logistik, mantan pegawai bea cukai, penjual hasil tani dan ahli teknologi informatika (IT), mereka akhirnya dapat menyatukan semua keahlian tersebut dalam mengembangkan InacomID.
Ini menjadi model bagi startup agritech lainnya, menunjukkan bahwa inovasi bukan hanya urusan teknologi semata, tetapi juga melibatkan pemahaman mendalam tentang rantai pasok, regulasi, dan tentu saja, kebutuhan petani.
Aplikasi tersebut juga yang membuat ia mendapatkan apresiasi Satu Indonesia Award tahun 2020 dalam kategori kelompok. Saat ini, Inacom.id berfokus pada 9 komoditas pekebunan. Dari 9 komoditas tersebut 90% ke atas dari lahannya dimiliki oleh petani
Keberhasilan InacomID dalam menangani 9 komoditas perkebunan, dengan 90% lebih lahan dimiliki oleh petani, menegaskan bahwa model bisnis ini efektif dan berkelanjutan.
Lebih dari sekadar aplikasi jual-beli, InacomID telah menjadi ekosistem pemberdayaan. InacomID mengedukasi para petani cara terbaik dalam bertani.
Hal itu dikarenakan, banyak dari petani yang mereka edukasi masih menggunakan cara tradisional, sehingga tidak bisa mengatur kualitas produk yang akan dihasilkan.
Selain itu, InacomID juga mengedukasi para petani dinamika lonjakan nilai komoditas tertentu, sehingga seorang petani tidak harus menjual produknya kepada tengkulak dengan nilai jual rendah.
Berkat adanya InacomID, terdapat peningkatan daya tawar para petani. Sebelumnya, para petani di Tembilahan dan Indragiri Hilir hanya memperoleh Rp 400-1.300 per kilogram.
Satelah adanya edukasi dari InacomID, petani dapat menjual produknya dengan memperoleh sampai dengan Rp 750-2.100 per kilogram.
Peningkatan pendapatan ini bukan hanya sekadar angka, melainkan berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga petani, kemampuan mereka untuk membiayai pendidikan, hingga perbaikan kualitas hidup secara keseluruhan.
Saat ini, InacomID sudah beroperasi di sembilan titik lima provinsi, antara lain; Tembilahan dan Indragiri Hilir, Tanjung Jabung Timur, Lampung Selatan, Surabaya, serta Buton Utara dan Donggala.
Di masa depan, InacomID diharapkan dapat terus memperluas jangkauan dan diversifikasi komoditasnya.
Visi untuk menjadikan petani lokal sebagai eksportir secara langsung, seperti yang sempat disinggung dalam pengembangan awal, akan menjadi langkah revolusioner dalam memangkas jalur distribusi yang merugikan dan menghubungkan petani Indonesia langsung ke pasar global.
Dengan dukungan teknologi digital, para petani Indonesia kini memegang kendali yang lebih besar atas hasil jerih payah mereka.
Harapannya, semangat ini terus menular, menginspirasi lebih banyak anak bangsa untuk membangun solusi serupa, mewujudkan cita-cita Petani Hebat, Ekonomi Kuat.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News