Kawan GNFI, siapa sih yang tidak mengenal pempek? makanan khas Palembang, Sumatra Selatan ini sudah melagenda dan kini bisa dengan mudah kita temukan di berbagai kota di Indonesia.
Identik dengan kuah cuko yang berwarna cokelat kehitaman, rasanya pedas, asam sekaligus manis, membuat pempek punya daya tarik tersendiri dan membuat peminatnya merasaketagihan.
Namun, pernah tidak, Kawan penasaran mengapa pempek bisa mempunyai tekstur yang kenyal, elastis, tapi tetap lembut saat digigit? Jawabannya ternyata ada di dunia sains, tepatnya lewat sebuah proses bernama gelatinisasi pati.
Bahan utama pempek sederhana saja: ikan giling, tepung tapioka atau sagu, air, garam, dan bumbu. Nah, Kawan GNFI, rahasia kekenyalan pempek justru ada pada tepung tapioka yang dipakai.
Menurut penelitian Rahman dan Mardesci (2015), tapioka mengandung sekitar 17% amilosa dan 83% amilopektin. Dua komponen inilah yang menentukan bagaimana adonan bisa berubah saat dimasak.
Ketika pempek direbus, butiran pati dari tapioka menyerap air sedikit demi sedikit. Lama-kelamaan butiran itu mengembang, pecah, lalu mengeluarkan molekul pati. Pada tahap inilah terbentuk gel yang membuat pempek jadi kenyal, elastis, dan tidak mudah hancur. Fenomena inilah yang disebut dengan gelatinisasi (Nadhira & Cahyana, 2023).
Namun, tidak berhenti di situ saja. Komposisi adonan juga sangat menentukan hasil akhirnya. Menurut Ralia et al. (2014), gelatinisasi dalam adonan pempek biasanya mulai terjadi pada suhu 63–70 °C.
Kalau adonannya lebih dominan tepung tapioka, proses gelatinisasi bisa dimulai pada suhu lebih rendah. Hasilnya? Pempek cepat matang, teksturnya kompak, dan kekenyalannya lebih terasa.
Sayangnya, ada efek samping pempek seperti ini mudah mengalami retrogradasi alias mengeras setelah dingin. Sebaliknya, kalau adonan lebih banyak berisi ikan giling, suhu yang dibutuhkan untuk gelatinisasi lebih tinggi dan waktu masaknya lebih lama.
Hasilnya pempek jadi lebih lembut. Namun, memang tidak sekenyal pempek dengan dominasi tepung, dan kualitasnya cepat menurun.
Nah, dari sinilah kita bisa lihat seni membuat pempek, Kawan GNFI. Semua tergantung keseimbangan antara ikan dan tepung. Terlalu banyak ikan? Pempek jadi lembut, tetapi kurang kenyal.
Terlalu banyak tepung? Pempek memang kenyal, tetapi cepat keras saat dingin. Jadi, rahasianya ada pada komposisi yang pas supaya pempek tetap kenyal, lembut, dan tentu saja enak ketika disantap bersama kuah cuko.
Dalam industri pangan, pemahaman soal gelatinisasi ini juga penting. Dengan tahu bagaimana pati bekerja, produsen bisa menentukan komposisi adonan, suhu perebusan, hingga waktu pemasakan yang tepat.
Hasilnya? Pempek bisa diproduksi dalam skala besar dengan kualitas yang konsisten, tidak cepat rusak, dan punya daya simpan lebih lama. Bayangkan kalau pempek bisa masuk pasar internasional dengan kualitas terjaga, ini adalah kabar yang baik bukan?
Selain itu, kita juga bisa melihat bagaimana sains dan tradisi berpadu dalam satu sajian. Dari dapur-dapur rumah di Palembang sampai ke meja makan di berbagai kota besar, pempek bukan hanya sekadar makanan. Namun, juga bukti kreativitas kuliner lokal yang bertahan lintas generasi. Dan menariknya, ilmu pengetahuan modern justru membantu kita lebih memahami keunikan kuliner Nusantara.
Jadi, rahasia kenikmatan pempek bukan cuma soal ikan segar atau cuko yang khas, tapi juga ada ilmu pangan yang bekerja diam-diam di balik panci perebusan. Gelatinisasi pati inilah yang menjadikan pempek punya tekstur unik, menjaga kualitas, bahkan membuka peluang untuk membawa pempek ke skala industri modern.
Lain kali kalau makan pempek, Kawan GNFI bisa bercerita, bahwa ada sains luar biasa yang bikin makanan tradisional ini jadi begitu spesial.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News