Tarif cukai murah masih diberlakukan pada produk sigaret kretek tangan (SKT). Indonesia memiliki kebijakan cukai hasil tembakau pada tiga jenis rokok, yakni sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek mesin (SKM), dan SKT.
Akan tetapi, dari ketiganya, hanya SKT yang diberikan tarif berbeda, di mana kenaikan tarif di jenis rokok ini tidaklah lebih dari lima persen. Melihat fenomena ini, Center for Indonesia’s Strategic Development (CISDI), menerbitkan Lembar Kebijakan Jalan Menuju Reformasi Cukai: Mengakhiri Perlakuan Istimewa untuk Sigaret Kretek Tangan.
Melalui kebijakan tersebut, CISDI mendorong pemerintah untuk mengakhiri tarif cukai yang murah pada produk SKT karena membahayakan kesehatan dan ekonomi negara.
Kenapa Tarif Cukai SKT Lebih Murah?
Alasan pemerintah di balik pemberlakuan cukai SKT yang lebih murah dibanding jenis rokok lainnya adalah demi melindungi lapangan pekerjaan di industri SKT yang dinilai padat karya. Selain itu, industri SKT juga sering kali dioperasikan oleh industri kecil dan menengah.
Namun, hasil riset CISDI menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga pekerja di industri tersebut dan para petani cengkeh justru hidup di bawah garis kemiskinan. Tak hanya itu, ada risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang tinggi pula.
Di sisi lain, konsumsi SKT juga memiliki dampak negatif pada kesehatan dan ekonomi negara. Ditinjau dari dampaknya untuk kesehatan, SKT memiliki kadar nikotin dan tar yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan SPM dan SKM.
Lebih lanjut, jika dibiarkan, risiko terkena kanker paru-paru juga akan semakin besar. Belum lagi masalah kesehatan lain, seperti kanker mulut, kardiovaskular, jantung koroner, penyakit pernapasan, gangguan gigi dan mulut, sampai masalah metabolisme.
Sementara itu, dari segi ekonomi, konsumsi SKT yang terus meningkat akan mengancam pendapatan negara karena tarif cukainya rendah. Jika dibiarkan, hal ini akan mendorong adanya perilaku downtrading—beralih ke rokok yang lebih murah.
Oleh karena itu, reformasi cukai rokok harus segera dimulai untuk menyehatkan bangsa dan memperkuat ekonomi yang berkeadilan.
Solusi atas Reformasi Kebijakan Tarif untuk SKT
CISDI merekomendasikan beberapa solusi terkait reformasi kebijakan CHT kepada pemerintah melalui sejumlah langkah kebijakan, di antaranya:
1. Menyederhanakan struktur tarif CHT secara bertahap. Tarif CHT dapat disederhanakan secara bertahap dengan cara:
- Menyederhanakan SKT menjadi dua golongan tarif di tahun pertama.
- Menggabungkan rokok putih maupun kretek yang dibuat dengan mesin dalam satu golongan di tahun berikutnya.
- Memastikan hanya ada dua golongan tarif, yakni rokok buatan tangan dan rokok buatan mesin.
- Seluruh produk tembakau dikenakan satu tarif tunggal yang sesuai dengan rekomendasi WHO.
2. Menaikkan tarif cukai dan harga jual eceran untuk semua jenis rokok. Hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keterjangkauan dan memberi kenaikan tarif lebih besar pada produk rokok yang saat ini paling terjangkau—seperti SKT.
3. Memastikan jarak harga antarjenis rokok tidak terlalu jauh. Hal ini sangat penting untuk membatasi perokok untuk pindah ke rokok yang murah.
4. Melakukan transisi pada sektor terdampak dengan memperhatikan kondisi sosial-ekonomi, khususnya pada pekerja dan petani dengan cara:
- Untuk industri SKT, pemerintah perlu memetakan lapangan kerja yang menawarkan upah dan kompensasi non-finansial yang setara dengan industri SKT. Kemudian, pemerintah juga harus membekali pekerja dengan pelatihan keterampilan yang seusai dengan kebutuhan industri target, memberikan bantuan tunai bagi rumah tangga rentan yang kehilangan pekerjaan di industri SKT, serta memberi modal usaha bagi mereka yang ingin mencoba berwirausaha.
- Bagi petani, pemerintah harus memberikan bantuan, seperti keterampilan, modal usaha, dan bantuan langsung. Para pemangku kebijakan juga perlu melakukan riset terkait komoditas selain rokok yang bisa menyerap cengkeh, menguntungkan petani, meningkatkan produksi dan rantai nilai komoditas baru, serta menyediakan layanan pertanian yang memadai untuk mendukung pengembangan komoditas tersebut.
5. Berkoordinasi dan membentuk skema kolaborasi lintas sektor untuk memfasilitasi proses transisi di sektor terdampak.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News