Di tengah gempuran rokok pabrikan modern, masyarakat Sumbawa masih menyimpan kebanggaan tersendiri pada sebuah produk lokal yang khas: rokok jontal. Rokok ini bukan hanya sekadar alat pemuas nikotin, tetapi juga cermin dari kearifan lokal dan gaya hidup agraris yang telah bertahan selama ratusan tahun.
Cita Rasa Rokok Jontal yang Khas
Rokok jontal merupakan jenis rokok tradisional khas Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Dibuat dari tembakau lokal dan dibungkus dengan daun lontar (Borassus flabellifer), rokok ini memiliki rasa yang kuat dan aroma yang menyengat. Istilah "jontal" sendiri diambil dari kata lontar, merujuk pada bahan utama yang digunakan sebagai pembungkus alami.
Berbeda dari rokok kretek atau klobot, rokok jontal menghadirkan pengalaman merokok yang lebih “keras”, dalam arti sensasi yang ditimbulkan saat asap masuk ke tenggorokan begitu tajam dan kering. Para orang tua di Sumbawa, atau yang biasa disebut Tau Loka, sangat akrab dengan rokok ini. Tak jarang, mereka menyebutnya sebagai bagian dari identitas hidup di tanah Sumbawa.
Asal Usul dan Nilai Budaya Rokok Jontal
Menurut cerita turun-temurun, pohon lontar pertama kali diperkenalkan ke Sumbawa dari Sulawesi sekitar tahun 1673 Masehi, pada masa pemerintahan Raja Sumbawa dari Dinasti Dewa Awan Kuning. Sejak saat itu, lontar tak hanya digunakan sebagai bahan pangan dan minuman, tetapi juga menjadi bagian penting dalam tradisi masyarakat, termasuk dalam bentuk rokok jontal.
Masyarakat Sumbawa yang mayoritas hidup dari hasil pertanian, peternakan, dan nelayan, memilih rokok jontal karena bahan-bahannya mudah didapat dan harganya sangat terjangkau. Dengan memanfaatkan sumber daya lokal seperti tembakau dan daun lontar, rokok jontal menjadi simbol kemandirian ekonomi dan budaya.
Proses Pembuatan Rokok Jontal
Membuat rokok jontal sebenarnya bukanlah hal yang rumit, namun membutuhkan ketelatenan. Pertama-tama,daun lontar dijemur di bawah sinar matahari selama kurang lebih satu hari agar kering dan lentur. Setelah itu, daun dibersihkan dari bulu-bulu halus menggunakan pisau atau parang kecil, sehingga nyaman saat digunakan.
Daun lontar lalu dipotong dengan panjang sekitar 10–20 sentimeter dan lebar selebar tiga jari orang dewasa. Dua potong daun biasanya cukup untuk menggulung satu batang rokok. Tembakau lokal yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam gulungan daun, lalu diikat dengan tali lontar atau secuil tembakau. Hasil akhirnya adalah rokok yang tampak sederhana, namun menyimpan cita rasa yang kuat dan aroma khas alam Sumbawa.
Rokok Jontal di Era Modern
Di tengah modernisasi dan industrialisasi, rokok jontal memang mulai tersisih oleh kehadiran rokok pabrikan yang lebih praktis. Generasi muda lebih tertarik pada produk-produk bermerek dengan kemasan menarik. Meski demikian, rokok jontal tetap hidup di kalangan masyarakat desa, terutama di wilayah pedalaman yang masih memegang kuat tradisi lokal.
Lebih dari sekadar produk konsumsi, rokok jontal menjadi simbol perlawanan terhadap ketergantungan industri luar. Ia mencerminkan filosofi hidup yang sederhana, mandiri, dan menyatu dengan alam. Dalam konteks ini, rokok jontal tak ubahnya seperti jamu di Jawa atau sirih pinang di Sumatera—warisan budaya yang menyatu dalam keseharian.
Warisan yang Perlu Dihargai
Meskipun tidak sepopuler rokok modern,rokok jontal memiliki nilai budaya yang tinggi. Ia menunjukkan bagaimana masyarakat Sumbawa mampu menciptakan produk khas dari sumber daya yang tersedia, sekaligus menjaga identitas lokal di tengah arus globalisasi.
Keberadaan rokok jontal hari ini adalah pengingat bahwa kemandirian bisa dimulai dari hal-hal kecil, termasuk sebatang rokok yang dibuat dengan tangan sendiri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News