pengedukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi pada anak mariana yunita hendriyani opat raih satu indonesia awards 2020 - News | Good News From Indonesia 2025

Pengedukasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi pada Anak, Mariana Yunita Hendriyani Opat Raih SATU Indonesia Awards 2020

Pengedukasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi pada Anak, Mariana Yunita Hendriyani Opat Raih SATU Indonesia Awards 2020
images info

Pengedukasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi pada Anak, Mariana Yunita Hendriyani Opat Raih SATU Indonesia Awards 2020


Hai, Kawan GNFI! Di Kupang, di tengah hamparan padang rumput yang luas serta hembusan angin laut yang kencang menjadi saksi langkah seorang perempuan yang terus berkarya tanpa letih. Dia adalah Mariana Yunita Hendriyani Opat, akrab disapa Tata. Tata hadir bukan sekedar aktivis, melainkan pejuang yang berada di garda terdepan memperjuangkan hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi anak serta remaja yang kerap terabaikan, terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan, tersisih, dan minim akses informasi yang seharusnya mereka miliki.

Sejak 2016, Tata mendirikan Tenggara Youth Community, sebuah komunitas independen yang lahir dari kegelisahannya melihat anak dan remaja di Kupang terjebak dalam ketidaktahuan menghadapi pubertas, menjadi korban kekerasan seksual, atau mengalami gangguan kesehatan reproduksi tanpa tahu harus meminta bantuan ke mana. Ia menyadari, ruang aman untuk berbicara hampir tidak ada, komunitas yang berani bersuara sangat sedikit, dan tangan yang terulur untuk menolong pun amat terbatas.

Di Indonesia, pendidikan kesehatan seksual masih dianggap tabu. Padahal, selain merupakan hak asasi manusia, kesehatan reproduksi penting dipahami, terutama oleh remaja, guna mencegah perilaku berisiko serta penyakit menular seksual. Stigma dan anggapan tabu membuat banyak korban memilih diam bukan karena tidak ingin berbicara, melainkan karena tidak tahu bahwa mereka memiliki hak untuk melawan. Inilah yang diperjuangkan Tata. Selama delapan tahun terakhir, ia bersama para relawan bergerak dari sekolah ke sekolah, dari pasar ke gereja, hingga ke pedalaman Pulau Timor. Mereka tidak hanya berbagi informasi, tetapi juga membangun sistem perlindungan.

Melalui dialog, mereka mengajarkan anak dan remaja untuk mengenali tubuh, menjaga, sekaligus melindunginya. Bersama masyarakat adat, mereka mendorong lahirnya peraturan desa yang memberi sanksi tegas bagi pelaku kekerasan seksual, menolak penyelesaian yang hanya berakhir dengan “kesepakatan damai” demi nama baik keluarga. Bagi Tata, pendidikan kesehatan seksual adalah pengetahuan sekaligus senjata perlawanan terhadap patriarki, ketidaktahuan, dan sistem yang kerap mengorbankan perempuan.

Di Kampung Neke, Timor Tengah Selatan, Tata bersama komunitasnya menggelar program edukasi berbasis masyarakat. Mereka melibatkan tokoh agama, menyesuaikan pendekatan dengan kearifan lokal, dan merancang metode pembelajaran yang dekat dengan keseharian anak-anak. Kegiatan mereka mencakup penyuluhan di sekolah, layanan konseling, serta edukasi tentang organ reproduksi dan penyakit menular seksual.

Ada pula jelajah alam bertema kesehatan reproduksi, di mana remaja belajar mengenali tubuhnya sambil beraktivitas di alam terbuka. Selain itu, lahir berbagai program inovatif, seperti Bacarita Kespro (ruang diskusi terbuka tentang seksualitas), Teman Bacarita (program edukasi digital bebas stigma), hingga Kespro Camp, perkemahan tiga hari dengan diskusi interaktif. Sasaran kegiatan mencakup anak usia PAUD hingga 24 tahun, dengan pendekatan sesuai tahap perkembangan. Sebelum materi disampaikan, mereka selalu melakukan diskusi awal untuk menggali pemahaman peserta, memastikan edukasi yang diberikan relevan, berbasis ilmiah, dan tidak menggurui.

Tata tidak hanya bergerak karena kepedulian. Ia adalah seorang penyintas. Di masa remajanya, ia pernah mengalami kekerasan seksual yang timbul luka yang tidak pernah hilang, tetapi justru menjadi bahan bakar perjuangannya. Ia memilih mengubah trauma menjadi kekuatan, agar tidak ada lagi perempuan yang merasa sendirian menanggung penderitaan serupa.

Meski berlatar pendidikan formal sebagai dokter hewan dari Universitas Nusa Cendana, Tata mendalami dunia edukasi, advokasi, dan konseling melalui pengalaman sebagai relawan di berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dari situ, lahirlah komunitas yang kini menjadi wadah bagi anak muda di Kupang untuk berani memperjuangkan hak atas kesehatan reproduksi.

Dengan 27 relawan dari beragam profesi dokter, pengacara, hingga psikolog Tenggara Youth Community bukan hanya mengedukasi, tetapi juga menciptakan gelombang perubahan, meruntuhkan tembok besar yang selama ini mengurung isu kesehatan seksual dalam ruang tabu.

Tata menutup dengan sebuah harapan:
"Suatu hari nanti, tidak ada lagi anak yang tumbuh dalam ketidaktahuan, tidak ada lagi remaja yang merasa sendirian, dan tidak ada lagi perempuan yang dipaksa bungkam demi menjaga kehormatan yang seharusnya tidak pernah dipertaruhkan."

Sebagai penyintas kekerasan seksual, bagaimana pengalaman Anda membentuk pendekatan dalam mengedukasi anak-anak dan remaja?

“Setiap kali orang bertanya mengapa komunitas ini hadir, saya selalu menjawab bahwa kami lahir dari keresahan atas pengalaman yang kami alami, tetapi terlambat diketahui serta tidak mendapat dukungan dari lingkungan sekitar. Persoalan kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual merupakan isu yang sangat sensitif dan masih dianggap aib bagi banyak orang.

Peristiwa yang saya alami membuat saya bertanya pada diri sendiri, bagaimana nasib perempuan lain yang mengalami hal serupa tetapi tidak memiliki akses pada advokasi maupun konseling? Bagaimana korban dapat bertahan hidup jika informasi yang komprehensif justru ditutupi? Secara pribadi, saya ingin berkontribusi agar tidak ada lagi anak-anak dan perempuan yang merasa sendirian dalam penderitaannya.”

Bagaimana Anda menjelaskan konsep kesehatan reproduksi kepada remaja di komunitas dengan nilai budaya dan agama yang kuat tanpa menimbulkan resistensi?

“Di Tenggara Youth Community, kami selalu berdiskusi sebelum menyampaikan materi. Kami menggali terlebih dahulu pemahaman anak-anak dan remaja agar edukasi yang diberikan tepat sasaran. Kami menggunakan konteks lokal, tetapi tetap mengacu pada pedoman World Health Organization (WHO) untuk memastikan setiap informasi memiliki dasar ilmiah yang kuat. Kami juga bekerja sama dengan tokoh agama serta menerima evaluasi dari pihak gereja atau sekolah agar metode interaksi kami dengan remaja semakin baik. Selain itu, kami melibatkan orang tua maupun guru pendamping dalam setiap kegiatan edukasi untuk menyamakan perspektif, karena mustahil mengubah cara pandang anak-anak tanpa dukungan orang tua.”

Apa tantangan awal yang Anda hadapi ketika memulai inisiatif ini?

“Tantangan terbesar adalah menyadarkan masyarakat akan pentingnya isu kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan seksual. Bahwa kita perlu membicarakan pubertas, tubuh, hingga menstruasi. Tantangan lainnya ialah meluruskan anggapan bahwa mengedukasi anak-anak tentang kesehatan reproduksi sama dengan mengajarkan mereka untuk berhubungan seksual. Padahal, yang kami lakukan adalah membekali mereka dengan informasi yang benar agar dapat melindungi diri dan membuat keputusan yang tepat.

Menutupi informasi justru berisiko karena anak-anak akan mencari tahu sendiri dari sumber yang belum tentu aman. Jika kita ingin melindungi anak-anak dari kekerasan seksual, kehamilan remaja, dan hubungan yang tidak sehat, maka pendidikan kesehatan seksual yang komprehensif bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan.”

Bagaimana Anda melihat peran perempuan dalam memperjuangkan pentingnya pendidikan seksual?

“Saya cukup optimistis melihat semakin banyak perempuan yang mencintai dirinya sendiri, berdaya atas tubuhnya, dan percaya diri menjalani kehidupan. Perempuan kini sangat kuat, mereka dapat menggerakkan perubahan sekaligus saling menguatkan. Apalagi saat ini banyak komunitas dan organisasi sosial yang menjadi ruang bagi kita untuk menyuarakan isu-isu penting.”

Apa visi jangka panjang Anda untuk Tenggara Youth Community?

“Saya dan rekan-rekan di komunitas berharap suatu saat semua sekolah di Indonesia memiliki kurikulum khusus mengenai kesehatan reproduksi yang komprehensif. Bukan hanya disisipkan dalam pelajaran Biologi atau Olahraga. Meskipun Tenggara Youth Community hadir sebagai komunitas, kami percaya komitmen dan konsistensi ini akan jauh lebih lestari apabila diintegrasikan ke dalam institusi pendidikan formal, yaitu sekolah.”

Kerja sosial sering kali menguras energi, apalagi ketika berpihak pada kelompok minoritas dan marginal. Apa yang memotivasi Anda untuk tetap konsisten?

“Sejujurnya, ini pertanyaan yang sulit. Hingga kini saya masih sering bertanya pada diri sendiri, mengapa saya ada di sini? Saat pandemi Covid-19, saya sempat mengalami kelelahan dan berpikir untuk membubarkan Tenggara Youth Community. Saya merasa berjalan sendirian dan kecewa karena kemajuan yang dicapai sangat sedikit. Saya memutuskan berhenti sementara dari kerja-kerja di akar rumput dan hanya bersuara melalui media sosial.

Beberapa waktu saya tidak mengunggah apa pun di Instagram Story. Ketika akhirnya saya mengunggah satu konten, tiba-tiba ada pesan langsung masuk. Pengirimnya menuliskan bahwa ia berniat mengakhiri hidup, tetapi menundanya karena ingin bertemu dan bercerita dengan komunitas kami.

Kini, orang tersebut membuka usaha toko kecil di rumahnya dan hidup bahagia bersama ibunya. Pengalaman itu menjadi jawaban sekaligus penggerak terkuat agar saya tetap teguh berkomitmen dalam edukasi kesehatan reproduksi dan advokasi kekerasan seksual.

Saat itu saya menyadari, boleh lelah tetapi beristirahatlah, jangan berhenti. Prioritas utama bagi siapa pun yang bekerja di isu pembelaan hak asasi manusia adalah merawat diri sendiri agar tidak kehilangan harapan. Sama seperti aturan keselamatan di pesawat: jagalah diri sendiri terlebih dahulu sebelum menolong orang lain.”

Perjalanan Mariana Yunita Hendriyani Opat bersama Tenggara Youth Community menunjukkan bahwa kerja-kerja edukasi kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan seksual bukanlah jalan yang mudah. Dibutuhkan keberanian untuk melawan stigma, kesabaran menghadapi resistensi, serta keteguhan untuk tetap berdiri meskipun lelah.

Namun, dari setiap langkah kecil lahir perubahan besar yang berdampak nyata bagi kehidupan anak-anak dan remaja.Visinya tentang pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif di sekolah-sekolah Indonesia menegaskan pentingnya peran komunitas, orang tua, guru, dan institusi pendidikan untuk saling bersinergi. Lebih dari sekadar gerakan sosial, perjuangan ini adalah wujud nyata keberpihakan pada masa depan generasi muda agar mereka tumbuh dengan pengetahuan, kepercayaan diri, dan kemampuan melindungi diri.

Kawan GNFI, kisah ini mengingatkan kita bahwa perubahan besar sering kali lahir dari keresahan pribadi yang kemudian diwujudkan dalam aksi nyata. Dengan kolaborasi, dukungan orang tua, guru, serta komunitas, harapan agar setiap anak di Indonesia memiliki akses pada informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif bukanlah sesuatu yang mustahil.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MN
FS
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.