Di panggung sejarah pergerakan nasional Indonesia, nama Haji Mohammad Misbach berkumandang sebagai sosok yang unik dan kontroversial. Ia adalah seorang ulama dari Kauman, Solo, yang tidak hanya berdakwah di mimbar, tetapi juga lantang menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda melalui tulisan-tulisannya yang tajam.
Dikenal dengan julukan "Haji Merah", Misbach adalah anomali pada masanya, di mana seorang pemuka agama yang merangkul gagasan kiri untuk melawan penindasan, memadukan teologi Islam dengan kritik tajam terhadap kapitalisme dan imperialisme.
Biografi Haji Misbach
Mengutip dari jurnal berjudul "PERANAN HAJI MISBACH DALAM PERGERAKAN ISLAM KOMUNISME DI SURAKARTA PADA TAHUN 1914-1926" yang ditulis oleh Beky Frisca Andriani di Universitas PGRI Yogyakarta, menjelaskan Haji Misbach lahir sekitar tahun 1876 di Kauman, sebuah kampung santri dan pusat perdagangan batik di jantung kota Solo.
Nama kecilnya adalah Achmad Darmodiprono, kemudian setelah menikah bergnti nama menjadi Dharmoatmodjo.
Tumbuh di lingkungan agamis dan pedagang, ia mendapatkan pendidikan agama yang kuat sekaligus mewarisi jiwa mandiri kaum saudagar.
Seperti tradisi pemuda Kauman pada umumnya, ia menunaikan ibadah haji ke Mekkah, sebuah perjalanan spiritual yang tidak hanya memberinya gelar "Haji" tetapi juga memperluas cakrawala intelektualnya.
Sekembalinya dari Tanah Suci, ia mengubah namanya menjadi Mohammad Misbach dan mulai aktif dalam kegiatan sosial-keagamaan. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran Islam, sekaligus seorang jurnalis dan pengusaha batik yang sukses.
Namun, kegelisahannya terhadap kondisi sosial politik di Hindia Belanda, terutama penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan para elite pribumi (priyayi), mendorongnya untuk terjun ke dunia pergerakan.
Misbach tidak membatasi dirinya pada forum-forum keagamaan. Ia mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (Serikat Jurnalis Pribumi) bersama tokoh pergerakan lainnya. Melalui media massa yang ia kelola, seperti surat kabar"Medan Moeslimin" dan kemudian "Islam Bergerak", ia menyebarkan gagasan-gagasannya.
Tulisan-tulisannya dikenal sangat lugas, berani, dan tanpa kompromi, mengkritik ketidakadilan dengan menggunakan dalil-dalil agama sebagai landasan argumentasinya.
Perjuangan Haji Misbach
Perjuangan Haji Misbach dapat dilihat dari dua pilar utama: pemikiran dan aksi. Secara pemikiran, ia adalah seorang modernis Islam yang progresif. Baginya, Islam bukan sekadar ritual ibadah, melainkan sebuah ajaran pembebasan.
Menurut Misbach, seorang muslim sejati tidak mungkin tunduk pada penjajah atau sistem ekonomi yang eksploitatif. Ia berpendapat bahwa kapitalisme adalah biang keladi kemiskinan dan penderitaan rakyat. Gagasan inilah yang membuatnya bersimpati dan kemudian bekerja sama dengan kelompok komunis.
Bagi Misbach, tidak ada pertentangan antara Islam dan komunisme dalam konteks perjuangan melawan imperialisme. Keduanya, menurutnya, memiliki tujuan yang sama: menciptakan masyarakat yang adil dan setara tanpa penindasan. Pemikirannya untuk menyandingkan Ajaran Islam dan Komunisme membuat ia dijuluki "Sang Haji Merah".
Pemikiran Haji Misbach mengenai konsep Komunisme Islam memberikan pengaruh besar terhadap upaya penghapusan kapitalisme yang identik dengan penindasan serta penderitaan rakyat.
Misbach berusaha menyandingkan ajaran komunisme dengan ajaran Islam. Pemikirannya dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan agama yang dimilikinya, sekaligus bacaan mengenai teori komunisme dari Karl Marx.
Menurut Marx, sistem komunisme lahir sebagai bentuk perlawanan kaum buruh terhadap kapitalisme yang sering kali menimbulkan praktik penindasan, pemerasan, dan ketidakadilan sosial.
Dalam pandangan Marx, komunisme merupakan gerakan buruh untuk memperjuangkan kedudukan sosialnya dengan cara menghapuskan hak milik perorangan atas alat produksi dan menggantinya menjadi milik bersama.
Konsep ini, bagi Haji Misbach, sejalan dengan nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan dan kesejahteraan umat. Islam, menurutnya, adalah agama keselamatan yang terbuka, tidak memaksa, serta tidak membeda-bedakan.
Oleh karena itu, ia memandang bahwa penyandingan ajaran Islam dengan komunisme dapat menjadi sarana perlawanan terhadap kapitalisme demi menegakkan hak-hak rakyat.
Dalam aksinya, Misbach menggunakan jurnalistik sebagai senjata utama. Melalui "Islam Bergerak", ia tanpa henti bergerak menggugat kebijakan pemerintah kolonial, mengkritik para pejabat yang korup, dan membela kaum tani serta buruh.
Ia juga membentuk kelompok diskusi bernama Sidik, Amanah, Tabligh, Vathonah (SATV) pada 1918. Kegiatannya yang radikal ini tentu saja membuat pemerintah kolonial Belanda gerah.
Akibat tulisan-tulisannya yang dianggap menghasut dan membahayakan ketertiban umum, Haji Misbach berulang kali ditangkap dan dipenjara. Namun, penjara tidak membuatnya jera. Semangat perlawanannya justru semakin membara. Puncak dari perlawanan ini adalah ketika pemerintah kolonial memutuskan untuk mengasingkannya.
Pada tahun 1924, ia dibuang ke Manokwari, Papua, sebuah tempat yang sangat terpencil dan keras. Di tanah pengasingan inilah, sang ulama pejuang mengembuskan napas terakhirnya pada tahun 1926 karena penyakit TBC.
Haji Misbach mewariskan sebuah pemikiran bahwa spiritualitas agama dapat menjadi energi revolusioner untuk perubahan sosial. Ia membuktikan bahwa menjadi seorang muslim yang taat tidak berarti harus apatis terhadap politik, melainkan justru harus berada di garda terdepan dalam membela kaum tertindas dan melawan segala bentuk kezaliman.
Meskipun sosoknya sempat dilupakan dalam narasi besar sejarah Indonesia, pemikiran dan perjuangannya tetap relevan sebagai cermin perlawanan dari seorang ulama yang berani mendobrak batas-batas pada zamannya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News