Demonstrasi yang berlangsung pada 28–30 Agustus 2025 menjadi salah satu peristiwa penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Ribuan buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mengenai isu-isu krusial: mulai dari permasalahan upah, praktik outsourcing yang merugikan pekerja, hingga kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Peristiwa ini menegaskan bahwa demokrasi bukan hanya urusan prosedural seperti pemilu atau mekanisme legislasi semata, melainkan juga tentang ruang keterlibatan rakyat dalam mengawal arah kebijakan negara.
Demokrasi yang sehat tidak berhenti pada legitimasi formal, tetapi berlanjut pada bagaimana aspirasi masyarakat benar-benar didengar dan ditindaklanjuti secara konstruktif oleh pemerintah.
Namun, di balik semangat perjuangan itu, muncul tragedi yang mengguncang nurani publik: meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring, dalam kericuhan demonstrasi.
Peristiwa tragis ini mengingatkan kita akan pentingnya menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan keselamatan publik. Kebebasan untuk menyuarakan pendapat adalah hak konstitusional, tetapi ketika keselamatan jiwa terancam, maka demokrasi kehilangan makna kemanusiaannya.
Tragedi Affan membuka kesadaran bahwa krisis kepercayaan antara rakyat dan aparat bisa semakin dalam jika komunikasi, perlindungan, dan pendekatan humanis tidak dijaga dengan baik.
Dari sinilah kita belajar bahwa demokrasi yang kokoh memerlukan fondasi kepercayaan, dialog terbuka, dan kerja sama yang berkesinambungan.
Dulu, Air pun Harus Beli, Kini Bangsa ini Penuh Percaya Diri
Dalam perspektif Islam, kebebasan bukanlah kebebasan tanpa batas. Kebebasan selalu terikat pada tujuan ilahiah: menjaga diri, menjaga sesama, serta menjaga kesetiaan kepada Allah. Al-Qur’an menegaskan pedoman yang relevan dengan situasi ini.
Pertama, Q.S. al-Ḥujurāt (49):6 menekankan kehati-hatian dalam menerima informasi: “Jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya.”
Ayat ini mengajarkan pentingnya verifikasi informasi sebelum bertindak, agar aspirasi dan protes tidak salah arah dan menimbulkan kerugian.
Kedua, Q.S. Āli ‘Imrān (3):135 mengingatkan pentingnya introspeksi: “Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka.”
Ayat ini menegaskan bahwa kebebasan harus berjalan beriringan dengan kesadaran moral dan kemampuan memperbaiki diri.
Dengan kesadaran ini, kebebasan berekspresi bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab moral dan spiritual. Kebebasan sejati berarti memperhatikan keselamatan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.
Tanpa kesadaran itu, kebebasan bisa berubah menjadi anarki, sementara dengan kesadaran, kebebasan menjadi ruang untuk membangun solidaritas dan menegakkan keadilan.
Dalam konteks ini, setiap pihak memiliki peran yang tidak bisa diabaikan. Bagi rakyat, demonstrasi seharusnya menjadi sarana dialog yang damai, terorganisir, dan berorientasi pada solusi. Aspirasi yang disampaikan dengan jelas, terstruktur, dan disertai usulan konkret akan lebih mudah ditanggapi secara konstruktif oleh pemerintah.
Bagi aparat, perlindungan terhadap masyarakat harus dijalankan dengan pendekatan humanis. Keamanan publik memang prioritas, tetapi tindakan represif yang berlebihan hanya akan menambah luka dan memperdalam ketidakpercayaan.
Bagi pemerintah, mendengarkan aspirasi rakyat secara aktif dan merespons dengan kebijakan yang adil akan memperkuat legitimasi serta membangun rasa memiliki di tengah masyarakat. Transparansi dan komunikasi terbuka adalah kunci agar rakyat merasa dihargai, bukan diabaikan.
Apa itu Framing? Begini Cara Kerjanya untuk Membentuk Persepsi Publik
Dengan strategi semacam ini, demokrasi Indonesia tidak hanya menjadi mekanisme formal, melainkan rumah bersama yang aman, inklusif, dan produktif. Setiap demonstrasi dapat berubah menjadi jembatan solusi, bukan sekadar panggung konflik.
Tragedi Affan harus kita maknai sebagai panggilan untuk menjaga demokrasi melalui dialog, empati, dan kolaborasi. Menyulam kembali cermin kepercayaan yang retak bukanlah tugas satu pihak, melainkan tanggung jawab bersama.
Jika kepercayaan antara rakyat, aparat, dan pemerintah diperkuat, demokrasi akan berdiri lebih kokoh, memungkinkan semua pihak bekerja sama membangun masa depan yang lebih baik.
Sebagai langkah praktis, masyarakat bisa menginisiasi forum diskusi publik secara rutin, baik secara langsung maupun melalui platform digital, untuk menyalurkan aspirasi. Komunitas-komunitas lokal dapat digerakkan untuk merumuskan solusi konkret yang berangkat dari kebutuhan masyarakat.
Aparat bisa meningkatkan program pelatihan yang menekankan pendekatan humanis dan manajemen konflik damai. Pemerintah, di sisi lain, perlu memperkuat mekanisme transparansi, membuka ruang partisipasi publik, serta responsif terhadap masukan yang datang dari bawah.
Kombinasi inisiatif ini akan membuat demokrasi Indonesia tumbuh sebagai rumah bersama yang tangguh, adil, dan harmonis.
Tragedi Affan sekaligus menjadi pengingat bahwa kebebasan yang dijalankan tanpa tanggung jawab bisa berujung pada risiko besar. Namun, dengan kesadaran moral, spiritual, dan sosial, demokrasi justru bisa menjadi ruang subur untuk memelihara keadilan, solidaritas, dan kemanusiaan.
Karena itu, mari kita jadikan setiap aksi, aspirasi, dan dialog sebagai kesempatan untuk memperkuat demokrasi, bukan sekadar menyalurkan ketidakpuasan.
Akhirnya, membangun demokrasi yang sehat adalah tugas kolektif: rakyat yang berpartisipasi dengan bijak, aparat yang melindungi secara manusiawi, dan pemerintah yang mendengar dengan tulus.
Hanya melalui kerja sama ini, demokrasi bisa tumbuh menjadi ruang yang aman, inklusif, dan produktif bagi semua pihak.
Dengan begitu, Indonesia bukan hanya memiliki demokrasi secara formal, tetapi juga demokrasi yang hidup, berjiwa, dan bermakna bagi seluruh rakyatnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News