Indonesia dikenal sebagai gudangnya keanekaragaman hayati, termasuk tanaman yang memiliki khasiat obat. Salah satu tanaman yang mulai mendapat perhatian serius dari kalangan peneliti adalah daun dewa, atau dalam bahasa ilmiah disebut Gynura divaricata.
Tanaman ini, yang juga dikenal dengan nama Samsit oleh orang Cina, bukan sekadar tanaman hias atau tumbuhan liar biasa, melainkan menyimpan potensi besar sebagai komoditas herbal unggulan masa depan.
Apa Itu Daun Dewa?
Daun dewa adalah tanaman herbal perennial yang termasuk dalam keluarga Asteraceae. Dalam dunia tradisional, ia sering disamakan dengan kerabat dekatnya, Gynura pseudochina, dan keduanya kerap digunakan dengan cara yang mirip dalam pengobatan rakyat.
Tanaman ini telah lama dipakai dalam praktik pengobatan tradisional, terutama di Indonesia dan Tiongkok, untuk mengatasi berbagai keluhan kesehatan. Nama "daun dewa" sendiri mencerminkan keyakinan masyarakat akan khasiatnya yang begitu ampuh, layaknya obat para dewa.
Asal-Usul dan Persebarannya
Sebagai tanaman asli Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, daun dewa telah beradaptasi sempurna dengan kondisi lingkungan tropis. Persebaran alaminya meliputi berbagai wilayah di Indonesia, serta negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
Di Tiongkok Selatan, khususnya, tanaman ini bukanlah hal asing dan dikenal dengan sebutan Samchit atau San Qi. Kemampuannya untuk tumbuh subur di iklim tropis menjadi keunggulan komparatif yang sangat penting, membedakannya dari tanaman herbal introduksi yang memerlukan penyesuaian khusus.
Baca juga Putri Malu, Tanaman Gulma yang Mengatup saat Disentuh
Ciri Khas Fisik Daun Dewa
Secara morfologi, daun dewa memiliki penampilan yang cukup khas sehingga mudah dikenali. Tanaman ini tumbuh tegak dengan tinggi yang dapat mencapai sekitar 30-50 cm. Daunnya berbentuk bulat lonjong (ovoid) dengan bagian ujung yang meruncing.
Permukaan daunnya berwarna hijau keunguan di bagian atas dan ungu tua di bagian bawah, dilapisi oleh bulu-bulu halus yang memberi kesan berbulu. Batangnya berwarna hijau dengan semburat ungu, bersegi, dan berbulu halus. Daun dewa juga menghasilkan umbi yang kecil di akarnya, dan dapat berkembang biak secara vegetatif melalui stek batang maupun umbi ini.
Potensi Herbal Menurut Pakar IPB University
Keyakinan masyarakat terhadap khasiat daun dewa kini mendapatkan dukungan ilmiah dari para peneliti. Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof. Sandra Arifin Aziz, menegaskan bahwa daun dewa (Gynura pseudochina) memiliki potensi sangat besar untuk menjadi komoditas herbal unggulan Indonesia.
Menurutnya, statusnya sebagai tanaman asli merupakan keuntungan strategis. “Kalau tanaman itu berasal dari daerah tersebut, berarti dia sudah cocok untuk tempat itu. Untuk tanaman obat, ini sangat menguntungkan,” ujar Prof Sandra.
Hal ini berarti budi dayanya lebih mudah, lebih murah, dan lebih berkelanjutan dibandingkan dengan mengimpor atau membudidayakan tanaman herbal dari zona iklim lain.
Prof Sandra menjelaskan bahwa daun dewa dikenal memiliki segudang manfaat, yang di antaranya bersifat antikanker, antiradang, penurun tekanan darah, pengendali gula darah, serta berkhasiat untuk pengobatan stroke dan penyembuhan luka.
Ia juga menyitir kebiasaan konsumsi tradisional dari Tiongkok Selatan, di mana tanaman ini dikenal dengan nama Samchit dan dikonsumsi dengan aturan tertentu, misalnya tiga lembar selama tujuh hari atau tujuh lembar selama tiga hari untuk meredakan batuk.
Namun, Prof Sandra menekankan bahwa khasiat optimal hanya dapat diperoleh jika pengolahannya tepat agar kandungan bahan aktifnya terjaga. “Yang terbaik selalu segar, langsung dikunyah. Kalau tidak memungkinkan, bisa dikukus, direbus, atau dikeringkan.
Namun sayuran dan buah segar tetap lebih baik dibanding yang sudah diproses,” katanya. Untuk produksi skala industri, seperti dalam bentuk ekstrak, teh, atau kapsul, diperlukan penanaman dalam jumlah besar dan konsistensi kadar bahan aktif yang tinggi.
Tantangan dan Masa Depan Pengembangan
Hingga saat ini, penelitian daun dewa di IPB University masih terfokus pada tahap budi daya dan analisis kandungan bioaktifnya, seperti total flavonoid, alkaloid, dan terpenoid. Lompatan menuju formulasi fitofarmaka atau obat herbal terstandar yang siap menjalani uji klinis pada manusia masih memerlukan waktu dan investasi penelitian yang lebih besar.
“Kalau budi dayanya, saya sudah kerjakan sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. Tapi untuk formulasi obat, itu biasanya dikerjakan di Pusat Studi Biofarmaka Tropika,” jelas Prof Sandra.
Dari sisi budi daya, tekniknya relatif sederhana. Sebagai tanaman tahunan, daun dewa dapat diperbanyak dengan mudah melalui stek batang atau umbi. Masa panennya terbilang cepat, yaitu sekitar enam bulan setelah tanam. “Potong saja batangnya, pastikan ada buku batang yang masuk tanah. Dari situ tunas baru akan tumbuh,” terangnya.
Meski riset ilmiah terhadap daun dewa masih berlanjut, optimisme tetap tinggi. Prof Sandra meyakini bahwa tanaman ini memiliki masa depan yang cerah. “Kita sudah tahu khasiatnya dari zaman dulu. Tinggal bagaimana kita membudidayakan, menstandarkan, dan mengolahnya menjadi produk yang aman dan teruji,” ucapnya.
Dengan demikian, daun dewa tidak hanya sekadar warisan leluhur, tetapi juga aset berharga yang siap dikembangkan untuk kesehatan masyarakat dan kemandirian industri herbal Indonesia.
Baca juga Mengenal Bunga Telang, Tanaman Herbal Populer dari Daerah Tropis
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News