Legenda Amat, Ali, dan Harapan merupakan salah satu cerita rakyat yang berasal dari Sumatera Selatan. Legenda ini berkisah tentang tiga orang kakak beradik yang tinggal bersama ibunya.
Sewaktu kecil, ketiga kakak beradik ini saling menyampaikan cita-citanya. Siapa sangka, di antara mereka semua, Harapan si anak bungsu berhasil mencapai cita-citanya yang tinggi jika dibandingkan kakak-kakaknya.
Bagaimana kisah dari cerita rakyat Sumatera Selatan tersebut?
Legenda Amat, Ali, dan Harapan, Cerita Rakyat dari Sumatera Selatan
Dinukil dari buku Subadiyono, dkk., yang berjudul Sembesat Sembesit: Kumpulan Cerita Rakyat Sumatera Selatan, alkisah pada zaman dahulu hiduplah tiga orang bersaudara. Tiga orang kakak beradik ini bernama Amat, Ali, dan Harapan.
Mereka bertiga tinggal bersama sang ibu di sebuah gubuk sederhana. Ayah mereka sudah meninggal sejak lama.
Pada suatu hari, Si Ali bertanya kepada kedua saudaranya tentang cita-cita mereka. Sebelum itu, Ali menjelaskan cita-cita yang dia miliki.
"Aku ingin memiliki kebun yang tidak terlalu luas. Lalu aku bisa mengamati kebun itu sambil memakan nasi dengan gulai, sambal, serta rebusan pucuk ubi," ucap Ali.
Amat kemudian menjawab pertanyaan Ali. Cita-citanya tidak berbeda jauh dengan apa yang diimpikan Ali.
"Aku ingin memiliki kebun yang luas. Lalu aku bisa mengamati kebun itu sambil memakan nasi dengan gulai, sambal, serta rebusan pucuk ubi," jelas Amat.
Amat dan Ali kemudian menghadap si bungsu, Harapan. Namun Harapan merasa malu untuk menyampaikan cita-citanya.
Kedua kakaknya lalu memaksa Harapan untuk menyampaikan cita-citanya. Harapan kemudian berkata bahwa dia ingin menjadi seorang raja.
Hal ini tentu memancing amarah kedua kakaknya. Dia merasa adik bungsunya tidak tahu diri dengan kondisi keluarga mereka.
Ibu ketiga anak ini juga marah mendengar ucapan Harapan. Bahkan dia memukul punggung Harapan dengan menggunakan kayu bakar hingga terluka.
Harapan yang kesakitan kemudian lari ke dalam hutan. Berhari-hari dia tidak pernah kembali pulang.
Setelah berlari cukup lama, sampailah Harapan di sebuah gubuk yang dihuni seorang nenek tua. Sejak saat itu, Harapan tinggal di sana hingga tumbuh dewasa.
Harapan tumbuh menjadi pemuda yang baik hati. Pada suatu hari, sang raja tengah mengadakan sayembara untuk mencari cincin putri yang hilang di pantai.
Jika ada laki-laki yang menemukannya, maka dia akan dinikahkan dengan sang putri. Sebaliknya jika yang menemukan cincin itu perempuan, dia akan menjadi saudara sang putri.
Harapan memutuskan untuk ikut sayembara itu. Ajaibnya dia berhasil menemukan cincin sang putri.
Sesuai janjinya, sang raja kemudian menikahkan Harapan dengan putrinya. Sejak saat itu, Harapan pindah ke istana dan menjadi keluarga kerajaan.
Beberapa tahun kemudian, sang raja meninggal dunia. Dia tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerusnya.
Akhirnya Harapan diangkat menjadi raja kerajaan tersebut. Tanpa disadari, Harapan berhasil mencapai cita-cita dia dulunya.
Harapan kemudian teringat dengan ibu dan kedua kakaknya. Dia tahu bahwa sang ibu dulu sering menjual kayu bakar.
Mengingat hal ini, Harapan memanggil Hulubalang untuk mencari kayu bakar yang nantinya digunakan untuk perayaan pesta penobatannya menjadi raja. Dia menyuruh Hulubalang mencari kayu bakar dari keluarga dia dulunya.
Harapan juga menyuruh Hulubalang untuk membawa keluarga tersebut ke istana. Hulubalang kemudian melaksanakan perintah yang diberikan oleh Harapan.
Sesampainya di istana, Amat, Ali, dan ibunya sudah tidak ingat dengan Harapan. Bahkan mereka mengira Harapan sudah meninggal sejak lama.
Harapan kemudian menunjukkan bekas luka yang ada di punggungnya. Melihat hal itu, sang ibu bersama kedua kakaknya tidak percaya bahwa raja yang ada di hadapan mereka merupakan Harapan.
Akhirnya keluarga kecil ini kembali berkumpul dengan bahagia. Amat dan Ali kemudian diangkat oleh Harapan sebagai menteri di kerajaannya.
Begitulah kisah dari salah satu cerita rakyat Sumatera Selatan, legenda Amat, Ali, dan Harapan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News