Fashion menjadi salah satu aspek terpenting bagi manusia modern. Kita seharusnya sudah awam dengan 3 aspek pokok kebutuhan manusia, sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat bermukim).
Dewasa ini, ketiga hal tersebut sudah berevolusi menjadi bukan hanya kebutuhan dasar hidup tapi kebutuhan gaya hidup. Manusia berpakaian bukan hanya agar tubuhnya terlindungi dari panas, dingin, atau aturan norma, tapi sebagai mode yang menasbihkan status sosial.
Semakin kemilau atau branded pakaian yang dikenakan seseorang secara tak langsung membantunya mendapatkan pengakuan sosial yang lebih tinggi. Ditambah dengan peran besar sosial media, orang-orang berlomba untuk membeli suatu produk fashion yang secara luas dikenal produk “mahal”.
Selain itu, media sosial juga sangat membantu penyebaran tren fashion yang pada akhirnya mendorong produsen untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya produk terkait. Permintaan pasar yang besar ditambah media penyebaran yang masif semakin membuat produk menumpuk di pasaran.
Tak hanya dalam artian semakin laris, tetapi juga menyebabkan akumulasi limbah pakaian di lingkungan.
Bukan Sekadar Bos Proyek: Ini Cara Jadi Project Manager Digital yang Dicari Banyak Startup
Fenomena penumpukan produk pakaian yang semakin intens akibat lonjakan permintaan pasar yang tinggi inilah oleh para ahli disebut sebagai “fast fashion”.
Fast Fashion, Ketika Pembeli Mendapatkan Harga Murah, tetapi Apa Resikonya?
Salah satu aspek yang mendasari munculnya tren ini adalah strategi yang digunakan oleh perusahaan fashion untuk menghasilkan produk terjangkau, tetapi memiliki citra elegan dan populer di pasaran.
Orang-orang merasa tidak keberatan untuk membeli produk sejenis dalam jumlah banyak. Sayangnya karena pemahaman kolektif kita tentang pakaian bukan hanya sebuah kebutuhan hidup. Akan tetapi, sudah menjadi mode.
Kita tak begitu risau untuk kembali mengganti produk yang kita beli dengan produk baru yang lebih trendy.
Pergantian tren ini berlangsung sangat cepat. Secepat perkembangan teknologi kita di abad sekarang yang menyebabkan penumpukan baju, celana, jaket, dan daster lama ke sudut ruang kehidupan kita menjadi limbah.
Efek yang ditimbulkan tidak main-main. Namun, tak sempat tersorot algoritma media sosial kita karena traffic-nya kalah dengan kesukaan kita pada jenis pakaian baru.
Hingga saat ini yang dilaporkan oleh para peneliti efek dari fenomena fast fashion ini adalah peningkatan emisi karbon, pencemaran bahan kimia berbahaya, hingga akumulasi berbagai jenis polutan di lingkungan.
Apa yang sedang terjadi pada dunia fashion sekarang salah satunya karena distimulasi oleh sistem ekonomi kapitalis. Orientasi para produsen adalah profit yang terus bertambah dan bisnis yang makin berkembang pesat.
Memang sejatinya alasan pendirian bisnis dan usaha adalah agar mendapatkan timbal balik ekonomi dan orientasi keuntungan yang besar. Namun, sistem seperti ini jugalah yang bertanggung jawab pada degradasi kualitas lingkungan kita.
Produksi dan konsumsi tanpa henti yang tidak memikirkan pandangan holistik tentang kelayakan hidup sewaktu-waktu akan menjadi bom waktu. Dunia perlu sebuah perspektif baru dalam memahami bisnis dan aktivitas ekonomi.
Skandal Startup Indonesia dan Pelajaran Berharga di Baliknya
Sebuah konsep tentang ekonomi hijau bisa menjadi alternatif bagi kondisi seperti ini. Sudah saatnya para produsen dan konsumen seperti halnya yang terjadi pada bidang fashion mulai memikirkan konsep keberlanjutan dan pelestarian lingkungan.
Hal ini agar segala kelayakan hidup yang kita rasakan saat ini dapat terus diwariskan kepada generasi berikutnya.
MYCL, Startup Lokal Rintis Bisnis Ekonomi Hijau
Sebuah perusahaan rintisan asal Bandung, MYCL (Mycotech Lab) mengusung konsep ekonomi hijau dalam bisnis mereka. Perusahaan yang didirikan di Bandung pada tahun 2015 ini merupakan start-up berbasis bioteknologiyang mengembangkan inovasi mycelium leather, yaitu bahan kulit yang berasal dari jamur.
MYCL merupakan salah satu wujud nyata integrasi bisnis rintisan prospektif dan kampanye ekonomi hijau. Mereka bukan hanya memproduksi bahan pakaian, tetapi inovasi dan gagasan segar di dunia fashion.
Jamur sebagai bahan utama produk mereka adalah organisme yang tersusun dari hifa dan miselium, struktur sel khusus yang berbentuk seperti benang. Biasanya jamur kita kenal sebagai bahan pangan dan obat-obatan, seperti jamur tiram, kancing, shitake, dan Penicillium.
Berbekal riset dan keilmuan di bidang bioteknologi serta semangat wirausaha MYCL membawa konsep material berbahan jamur ini ke dalam bisnis mereka.
Jamur tidak butuh mesin bertenaga besar yang penuh emisi dalam rangkaian produksi hingga pasca produksinya. Jenis pakaian yang dihasilkan pun tak memiliki dampak polusi bagi lingkungan karena terbuat dari bahan biologis yang tidak berbahaya.
MYCL menerapkan prinsip keberlanjutan (sustainability) dalam bisnis yang mereka jalankan. Sejak sebelum produksinya sendiri pun mereka tidak latah mengikuti tren fast fashion. Alih-alih ingin memproduksi dalam skala besar dan terus-menerus, mereka mengusung ekslusivitas dalam produknya namun tetap terjangkau.
Jika bisnis dengan kesan kuat seperti ini bisa eksis secara luas bukan tidak mungkin konsep ini akan menjadi game changer dalam perekonomian global.
elama proses produksi MYCL hanya menggunakan bahan utama miselium jamur yang mereka tumbuhkan di laboratorium pribadi. Media pertumbuhannya pun mereka dapatkan secara murah dan berorientasi lingkungan berupa limbah pertanian.
Jamur berbeda dengan bahan pakaian berbasis makhluk hidup lainnya, seperti kapas dari tumbuhan atau wol dari hewan. Jamur tidak membutuhkan lahan yang luas untuk tumbuh atau sumber energi yang boros untuk bertahan hidup.
Material yang dihasilkan jamur juga tidak kalah kualitasnya dengan bahan sintetis atau non-sintesis lain. Salah satu penelitian yang menerangkan kualitas bahan material berbasis miselium jamur ditulis dalam Jurnal Elesevier dengan judul “Fungal Textile Alternatives from Bread Waste with Leather-like Properties”.
Isi artikel menerangkan bahwa potensi scale-up bahan material berbasis miselium jamur sangat memungkinkan setelah dilakukan uji dan perlakuan pasca uji menggunakan metode produksi material konvensional.
Nusabin: Startup Lokal yang Fokus Kelola Sampah secara Pintar Berbasis AI dan IoT
Belum banyak publik Indonesia yang mengetahui MYCL ini padahal prestasi yang ditunjukkan oleh mereka sudah menembus level fashion global. MYCL sering melakukan kolaborasi desain produk dengan berbagai lini fashion lain seperti jam kulit bersama PALANUSANTARA, sepatu dengan BRODOXMylea, dan jaket hasil klaborasi bersama Doublet.
Puncaknya pada tahun 2024 MYCL bersama beberapa perusahaan rintisan dan gerakan lingkungan lain di seluruh dunia menjadi finalis “The Earthshot Prize” yang diluncurkan oleh Pangeran William Inggris pada tahun 2020 untuk memberikan panggung pada inovasi besar yang menjawab tantangan lingkungan.
Hasil produk MYCL telah dipamerkan di acara fashion ternama seperti 'Paris Fashion Week' berkat kolaborasinya dengan Doublet dalam tajuk “Fall Winter Collection”.
Prestasi dan kontribusi MYCL bagi dunia fashion dan lingkungan dalam skala global merupakan kebanggaan yang patut diapresiasi oleh publik Indonesia. Jika keberhasilan MYCL bisa menembus batas popularitas, model bisnis dan mode yang ramah lingkungan bukan tidak mungkin akan mengerem laju kerusakan dunia yang telah kita sebabkan bersama. Sesuai dengan slogan MYCL “Mushroom can save the world.”
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News