Petani di Desa Sugihan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, berkumpul penuh semangat di Balai Desa Sugihan pada Sabtu, 26 Juli 2025 untuk menghadiri sosialisasi bertema “Manajemen Hama Tikus Sawah” yang diinisiasi oleh mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) IPB University.
Kegiatan sosialisasi ini menghadirkan langsung narasumber ahli dari Badan Riset dan Mekanisasi Pertanian (BRMP) Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Dr. Agus Wahyana Anggara, S.Si., M.Si.
Tikus sawah dikenal sebagai salah satu hama utama yang sangat merugikan pertanian, karena dapat menyerang seluruh fase pertumbuhan padi dan mengakibatkan kerugian hasil panen hingga 50%.
Sosialisasi ini merupakan bagian dari program kerja mahasiswa KKN IPB dalam upaya mendukung ketahanan pangan nasional melalui edukasi kepada petani mengenai pengendalian hama tikus sawah secara terpadu.
Mengapa Tikus Sawah Masih Jadi Masalah?
Dr. Agus Wahyana dalam pemaparannya menjelaskan bahwa kendala terbesar dalam pengendalian tikus bukan hanya soal teknis, tetapi justru karena lemahnya koordinasi sosial di tingkat petani.
“Tikus memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap lingkungan, aktif di malam hari, dan sangat cepat berkembang biak. Dalam kondisi ideal, seekor induk tikus bisa melahirkan 80 ekor dalam satu musim tanam. Oleh karena itu, strategi pengendalian harus dilakukan sebelum populasi mencapai titik ledakan.”
Menurut Dr. Agus Wahyana, pendekatan pengendalian harus dilakukan secara terpadu, kolektif, dan berbasis kawasan.
Artinya, bukan hanya satu petani atau satu petak sawah saja yang bertindak, tetapi seluruh kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan) dalam satu hamparan luas harus bergerak secara serentak.
PHTT menjadi Kunci Efektif Pengendalian Tikus
Program ini berfokus pada implementasi Pengendalian Hama Tikus Terpadu (PHTT). Metode ini menekankan pada pengendalian dini yaitu dua minggu sebelum dan dua minggu setelah tanam yang dikombinasikan dengan teknik pengendalian ramah lingkungan.
Beberapa teknik yang diperkenalkan adalah metode tanam serempak, sanitasi lingkungan sawah, Trap Barrier System (TBS) dan Linear Trap Barrier System (LTBS), fumigasi atau pengemposan lubang aktif, serta pengumpanan dengan rodentisida tanpa mencemari lingkungan.
Peran Organisasi Tani dan Pemerintah Desa
Kegiatan ini juga menjadi momentum penguatan kelembagaan petani. Keberhasilan PHTT sangat ditentukan oleh kekompakan petani dan kelompok tani di desa tersebut.
Dalam forum tanya jawab, Dr. Agus Wahyana menegaskan bahwa pelaksanaan pengendalian tikus sawah idealnya dilakukan oleh petani melalui kelompok tani secara terkoordinasi dengan dukungan kepala desa, penyuluh lapangan (PPL), serta tokoh masyarakat setempat.
“Dengan begitu jika dilakukan bersama-sama, hasilnya akan lebih terasa. Jangan hanya dilihat berapa yang ditangkap, namun fokus pada berapa yang tidak sampai masuk ke sawah,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah desa dapat mendukung upaya ini melalui alokasi anggaran desa pada pos ketahanan pangan, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 67 Tahun 2016. Skema pendanaan berbasis partisipasi petani (seperti sistem “yarnen” atau iuran hasil panen) juga bisa diterapkan untuk menjamin keberlanjutan program.
Pemandulan dan Virus, Apakah Solusi?
Sesi tanya jawab di penghujung sosialisasi memunculkan pertanyaan kritis dari salah satu petani mengenai kemungkinan penggunaan teknologi pemandulan atau penyebaran virus khusus ke populasi tikus untuk menekan laju perkembangbiakan.
Menanggapi hal ini, Dr. Agus Wahyana Anggara memberikan penjelasan mendalam. Menurutnya, memang ada beberapa wacana ilmiah di berbagai negara terkait bio-kontrol populasi tikus menggunakan metode genetika seperti pemandulan jantan (sterile male technique) atau penggunaan virus yang hanya menyerang spesies tikus tertentu. Namun, pendekatan ini masih menuai pro dan kontra di kalangan ilmuwan.
“Masalah utamanya adalah risiko mutasi genetik yang tidak terduga. Jika virus tersebut bermutasi dan menyebar ke spesies lain, atau jika pemandulan massal mengganggu rantai makanan alami, maka bukan hanya populasi tikus yang terdampak, tetapi juga ekosistem lokal bisa rusak parah,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa prinsip utama dalam pengendalian hama modern adalah menjaga populasi dalam ambang kendali yang tidak merugikan secara ekonomi.
Menabur Harapan dari Sawah
Di tengah tantangan krisis pangan global, upaya kecil dari desa seperti ini memberi harapan bahwa Indonesia bisa kuat dari bawah, dari petani, dari sawah, dari gotong royong.
Seperti yang dikatakan Dr. Agus Wahyana Anggara, S.Si., M.Si dalam penutup materinya, “Kita bisa kendalikan tikus, asal semua petani kompak. Tikus lebih kompak, tapi manusia bisa lebih hebat kalau mau bekerja sama.”
Inisiatif ini menunjukkan peran strategis mahasiswa KKN sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan, kebijakan, dan praktik di lapangan. Dengan menghadirkan narasumber langsung dari Kementerian Pertanian, para mahasiswa tidak hanya mentransfer informasi, tetapi juga membangun kepercayaan dan menghubungkan petani dengan pemangku kebijakan.
Kegiatan ditutup dengan sesi tanya jawab dan diskusi kelompok tani, penyerahan cinderamata dan dokumentasi bersama.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News