Sudah jadi rahasia umum. Trump adalah tipe orang yang tidak suka ditentang. Sama sekali. Bahkan mungkin kalau perlu, ia akan menulis nama orang atau negara yang berani menentangnya di kertas besar, menempelkannya di dinding kantornya, lalu memberi tanda silang merah tebal. Bedanya, “tanda silang” versinya bukan coretan spidol, tetapi tarif dagang yang nilainya bikin negara lain auto-panik.
Dan seperti kebiasaannya, kemarahan itu tidak dikeluarkan dalam bentuk teriakan, Trump punya gaya lain. Ia menghitung marahnya seperti menghitung margin keuntungan perusahaan-perusahaannya. India 50%, Brasil 50%, China 145%. Angka-angka itu terdengar seperti daftar diskon di mal di akhir tahun, padahal yang sedang dijual bukan barang-barang elektronik atau sepatu olahraga. Yang dipasang label harga adalah jalur perdagangan dunia. Palang pintunya ada di Gedung Putih. Kuncinya ada di saku Trump.
Setelah itu barulah dia posting kebijakan tersebut di akun sosmednya di Truth Social.
Lalu selanjutnya menulis surat resmi ke kepala-kepala negara di dunia. Resep retorikanya pun sudah hapal: “melindungi ekonomi Amerika”. Ia tahu kalimat ini akan disambut tepuk tangan di basis pendukungnya. Tapi di balik amplop manis itu, isi suratnya jelas dan tanpa basa-basi: jangan coba-coba melawan saya. Indonesia dan banyak negara lain sudah menerima suratnya.
Brazil, China, India, juga menerimanya. Dan tiga negara besar tersebut tahu betul artinya. Namun mereka tidak meremas kertas itu lalu membuangnya. Mereka membacanya pelan-pelan, menaruhnya di meja, dan menjawab dengan cara yang jauh lebih menyakitkan bagi Trump: tanpa teriak, tanpa marah-marah, tapi cukup mengubah arah kapal-kapal dagang mereka, ke negara-negara yang mau menerimanya tanpa tarif.
India: Ujian Kesabaran Panjang
Februari 2025. Amerika datang membawa F-35—jet siluman tercanggihnya. Negara lain biasanya langsung pesan. Jepang, Korea, Singapura, semua rela menguras kas demi burung besi buatan Amrik ini.
India? Hanya mengangkat alis, seperti orang yang ditawari piring porselen mahal padahal raknya sudah penuh.
Awal Agustus, jawaban India mulai jelas: New Delhi resmi keluar dari negosiasi F-35, memilih Su-57 “Felon” buatan Rusia. Lebih murah, lebih mudah dirawat, dan “hampir” setara mematikan di atas kertas. Sejak 1947, sebagian besar alutsista India memang datang dari Moskow. Mengganti Rusia dengan Amerika hanya akan memindahkan ketergantungan dari satu ibu kota ke ibu kota lain.
Keputusan itu bukan sekadar soal senjata. Ia lahir dari ingatan panjang, dari sejarah yang mengajarkan bahwa setiap kali India menyerahkan kendali pada pihak luar, harga yang dibayar selalu lebih mahal dari yang tertera di kontrak.
Pelajaran ini panjang. Dua abad India menjadi “permata mahkota” Kerajaan Inggris. Dipaksa menanam kapas untuk pabrik Manchester, dipaksa membeli garam dari monopoli di tanah sendiri, hingga lahirlah Pawai Garam Gandhi pada 1930 (silakan di-Google, menarik sekali). Dari sejarah itu, India mewarisi aturan main: jangan taruh semua telur di keranjang orang lain.
Sekarang PDB mereka sekitar USD 4 triliun, terbesar kelima di dunia, dan diproyeksikan naik ke posisi tiga pada 2030. Pasar domestik 1,4 miliar orang adalah samudra luas yang bisa mengapungkan kapal ekonomi sendiri. Senjata bisa dari Rusia, teknologi dari Amerika, energi dari siapa saja yang waras harganya. Tarif 50% dari Trump? Di samudra sebesar itu, ombak seperti itu hanya gemericik di lambung kapal.
Brasil: Diplomasi Kedelai, Pupuk, dan Senyum Lula
Brasil, di bawah Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, memilih gaya perlawanan yang cukup mirip. Tidak ada poster “lawannya Amerika” di jalan-jalan. Saat Amerika dan sekutu Barat gencar mendorong sanksi terhadap Rusia pascainvasi Ukraina, Lula justru sibuk menyiapkan perjalanan ke Beijing. April 2023 ia berangkat, membawa rombongan pejabat dan pengusaha. Hasilnya bukan main: lebih dari 15 kesepakatan kerja sama, mulai dari perdagangan dalam mata uang lokal, investasi pelabuhan, hingga kolaborasi teknologi tinggi.
Brasil adalah eksportir kedelai terbesar dunia, nilai ekspornya USD 61 miliar pada 2023. Pupuk? 85 persen diimpor, dan Rusia adalah salah satu pemasok terbesarnya. Tanpa pupuk itu, ladang kedelai yang memberi makan jutaan mulut di dunia akan berubah jadi lapangan kosong. Lula tahu persis, bagi Brasil, pupuk bukan sekadar komoditas, ini bahan bakar politik dalam negeri dan reputasi globalnya sebagai “lumbung pangan dunia”.
Untuk Brazil, karena "pembangkangannya", Trump membalas dengan tarif pada baja dan aluminium. Tapi Lula tidak membalas. Ia cukup menandatangani kontrak miliaran dolar dengan China. Apalagi, China adalah mitra dagang terbesar Brasil, menyerap lebih dari 30% ekspornya, dari kedelai sampai daging sapi. Kini juga kopi.
Langkah ini bukan spontanitas. Amerika Latin punya memori panjang dengan Washington, dari abad ke-19 lewat Doktrin Monroe, yang pada intinya berkata: “Benua ini halaman belakang kami. Jangan ada kekuatan luar masuk.” Dalam praktiknya, doktrin itu berarti: investasi dan politik di wilayah ini harus sejalan dengan kepentingan Amerika. Selama lebih dari satu abad, siapa yang melawan akan digulingkan, diisolasi, atau “direset ulang" lewat kudeta.
Tapi abad ke-21 membalik naskah itu. "Halaman belakang Amerika Serikat" itu kini punya banyak pintu masuk, dari Samudra Pasifik, dari Atlantik, dari jalur digital, dan dari investasi infrastruktur yang datang tanpa syarat politik seperti yang dibawa China. Dan Brasil memegang kunci hampir semua pintu itu. Di tangan Lula, kunci itu tidak diberikan cuma-cuma kepada Washington. Ia digantung di lehernya, siap dipinjamkan kepada siapa pun yang datang dengan tawaran yang paling menguntungkan rakyatnya. Pemimpin yang baik.
China: Belajar dari Abad Penghinaan
Bagi Beijing, tarif hanyalah bab kecil dalam buku sejarah yang mereka hafal di luar kepala, judulnya Century of Humiliation.
Bab pertama dimulai pada abad ke-19, ketika Perang Candu memaksa pelabuhan-pelabuhan China terbuka untuk perdagangan opium Inggris. Perang ini bukan sekadar soal narkotika, tapi soal kedaulatan. Kekaisaran Qing saat itu sebenarnya mencoba menghentikan impor opium yang merusak rakyatnya, tetapi justru dipaksa menandatangani Perjanjian Nanking 1842, perjanjian yang membuka lima pelabuhan bagi Inggris, memberi mereka hak ekstrateritorial, dan menyerahkan Hong Kong.
Bab berikutnya adalah Perang Candu Kedua, kali ini melibatkan bukan hanya Inggris, tetapi juga kekuatan kolonial lain yang sama jahatnya, Prancis. Hasilnya sama: lebih banyak pelabuhan dibuka, lebih banyak konsesi diserahkan, dan harga diri bangsa runtuh setahap demi setahap.
Lalu akhir abad ke-19, Perang Sino-Jepang Pertama (1894–1895) pecah. China kalah telak, harus menyerahkan Taiwan dan mengakui kemerdekaan Korea, yang kemudian jatuh ke dalam pengaruh Jepang. Kekalahan ini membuka jalan bagi kekuatan asing lain untuk membagi-bagi daratan China menjadi zona pengaruh mereka masing-masing.
Awal abad ke-20 pun tak lebih baik. Perang Dunia II membawa bab paling gelap: invasi Jepang, dimulai dengan pendudukan Manchuria pada 1931 dan puncaknya tragedi Nanjing 1937, pembantaian ratusan ribu warga sipil dan pemerkosaan massal yang hingga kini menjadi luka kolektif.
Itulah mengapa, ketika Beijing menyebut masa itu sebagai Century of Humiliation, mereka tidak sedang melebih-lebihkan. Sejarah ini bukan sekadar bab di buku sekolah; ia hidup di cerita kakek-nenek, tertanam di memori nasional, dan menjadi fondasi kebijakan luar negeri mereka yang sangat alergi terhadap “pintu yang dibuka paksa” oleh kekuatan luar.
Maka ketika Trump menaikkan tarif hingga 145%, Beijing tidak kaget. Xi Jinping tidak perlu berteriak di forum internasional. Ia cukup membuka peta, menunjuk jalur-jalur perdagangan Belt and Road Initiative (BRI), dan memastikan lebih dari 140 negara tetap terhubung ke simpul ekonomi raksasa yang diarahkan dari Beijing. Sejak diluncurkan pada 2013, BRI telah mengucurkan investasi lebih dari USD 1 triliun, dari pelabuhan Hambantota di Sri Lanka hingga kereta cepat Whoosh Jakarta-Bandung.
Pabrik-pabrik Amerika yang keluar dari Tiongkok tidak pulang ke kampung halaman mereka. Mereka pindah ke Vietnam, Indonesia, atau Meksiko, tetapi tetap berada dalam orbit rantai pasok yang dikendalikan China. “Made in Vietnam” sering kali berarti “Dirakit di Vietnam, komponennya dari China”.
Dan Xi tahu, tarif hanyalah pagar yang bisa dipanjat. Jika pasar Amerika menyempit, pasar Asia, Afrika, dan Amerika Latin siap diperluas. Jika arus barang terhambat, arus investasi dan pengaruh politik tetap mengalir.
Jika pasar Amerika menyempit, pasar Asia, Afrika, dan Amerika Latin siap diperluas. Jika arus barang terhambat, arus investasi dan pengaruh politik tetap mengalir.
Bagi China, perang tarif hanyalah riak kecil di samudra strategi seratus tahun. Samudra itu tidak akan surut hanya karena badai sementara bernama Trump.
Dan Beijing tahu, mereka tidak sendirian di lautan ini. Kapal-kapal besar lain mulai berlayar di jalur yang sama, membawa bendera yang berbeda-beda, tapi haluan yang mirip: menghindari satu pelabuhan yang terlalu suka memungut biaya tinggi. Dari sinilah cerita BRICS menjadi penting.
Bagi China, perang tarif hanyalah riak kecil di samudra strategi seratus tahun. Samudra itu tidak akan surut hanya karena badai sementara bernama Trump.
Retaknya Imperium Amerika
BRICS—Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan—sekarang diperluas dengan Indonesia, Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab. Gabungan PDB mereka, kalau dihitung dengan paritas daya beli (PPP), sudah melampaui G7: USD 59,7 triliun berbanding USD 52,2 triliun (2024).
Bagi Indonesia, ini bukan sekadar masuk klub eksklusif. Ini tiket masuk ke pasar gabungan berpenduduk lebih dari 3,6 miliar orang, hampir separuh manusia di bumi, dan ke jaringan pembiayaan alternatif lewat New Development Bank yang bisa mendanai proyek-proyek infrastruktur tanpa syarat politik ala Washington. Pelabuhan, rel kereta, pembangkit listrik, semua bisa dinegosiasikan dengan mitra yang tak menuntut kita ikut blok politik tertentu.
BRICS juga sedang memperluas perdagangan lintas mata uang lokal. Pada 2024, volume perdagangan semacam ini antar-anggota naik hampir 35% dari tahun sebelumnya. Artinya, jika Amerika memutus akses dolar, jalan lain sudah terbuka. Untuk Indonesia, yang ekspornya ke China, India, dan Rusia terus naik, ini seperti punya jalur logistik cadangan yang tak bergantung pada “tol” ekonomi milik Barat.
Kerapuhan imperium Amerika tidak datang dengan dentuman. Ia memudar pelan-pelan: dolar mulai ditinggalkan dalam perdagangan minyak, sekutu meneken kontrak di luar Washington, dan kata-kata presiden Amerika tak lagi membuat pasar kejang. Inggris pernah percaya matahari takkan pernah terbenam di wilayahnya, sampai suatu hari, mereka sadar langitnya sudah gelap.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News