Bapak-bapak tidak berebut ruang pos ronda yang terletak di sudut gang sempit kawasan Cakung, Jakarta Timur. Mereka justru mendayagunakan pos keamanan lingkungan (pos kamling) sebagai taman baca mini untuk anak-anak.
Pos ronda itu, meskipun kecil dengan ukuran yang tak lebih dari 2x2 meter persegi, kini tidak hanya ramai saat jam jaga malam, tetapi juga diisi oleh anak-anak pada siang hari. Mereka kerap datang ke sana usai pulang sekolah dan sebelum mengaji sore.
Masyarakat menamai pos ronda itu “Bale Buku” tempat yang juga menyediakan beragam buku untuk mendukung aktivitas membaca. Ada sekitar tiga rak buku di sisi kiri. Memang tidak banyak pilihan buku yang disediakan. Akan tetapi, aktivitas anak-anak di ruang kecil itu menandai hidupnya dwifungsi pos kamling: tempat meronda dan membaca.
Santardi, 15 Tahun Hidup di Lereng Bukit Siawu Menggarap Lahan Perhutani
Gerakan kolektif untuk membuat perpustakaan mini di pos kamling ini bermula saat pandemi Covid-19. Banyak masyarakat yang merasa khawatir akan paparan layar berlebihan pada anak, sedangkan buku tidak lagi jadi konsumsi.
Inisiasi pembuatan perpustakaan mini kemudian digagas pada 2020 oleh para pemuda yang tergabung dalam karang taruna. Sekilas memang usulan tersebut jamak dicetuskan oleh para pemuda. Akan tetapi, sambutan dari pengurus RT, masyarakat, dan semangat anak-anak setempat lah yang membuat gagasan tersebut lebih hidup.
“Awalnya, anak-anak karang taruna yang usul. Mereka khawatir adik-adik di sini terlalu sering main gawai selama sekolah online,” ujar Naidih (59), pengurus RT setempat. dikutip dari Kompas.
Buku-buku yang tersedia di perpustakaan terbuka itu beragam, mulai dari pengetahuan, cerita rakyat, novel remaja, hingga komik Jepang. Masyarakat dengan suka rela memberikan donasi buku dari berbagai jenis untuk menambah koleksi di sana.
Elly Warti Maliki, Perempuan Minang yang Mengubah Masa Depan Anak-Anak TKI di Arab Saudi Lewat Pendidikan
Pos Ronda, Ruang Komunal Milik Bersama
Pos ronda kini bukan hanya diasosiasikan dengan pria dewasa. Kehadiran lapak baca di pos ronda mengubah persepsi ruang tersebut; dari tempat bagi orang dewasa yang ditemani secangkir kopi menjadi ruang milik semua.
Sebagaimana yang diungkap Widiastuti dalam Jurnal Arsitekta (2025), “ruang komunal tidak lagi semata mengacu pada desain arsitektural atau fungsi formal ruang, tetapi pada bagaimana warga secara kognitif dan sosial membentuk makna atas ruang dalam keseharian mereka.”
Dalam kawasan pemukiman padat, pembentukan makna ruang bersifat kolektif alias sesuai kesepakatan. Kerap kali, pemanfaatan ruang melampaui batas fungsional dan tradisional dari ruang yang ada. Masyarakat kerap menggunakan area transisi sebagai ruang komunal, misalnya teras rumah, gang sempit, hingga sekitar tempat ibadah.
Komunitas Sanggar Anak Tumbuh, Tumbuhkan Minat Baca dan Literasi sejak Dini
“Karakter informal ini memungkinkan fleksibilitas penggunaan dan partisipasi aktif warga, menjadikan ruang komunal sebagai bagian integral dari jaringan sosial, bukan hanya sekadar ruang fisik,’ imbuhnya.
Kehadiran perpusatakaan di pos ronda juga mendobrak konsepsi lama tentang perpustakaan. Perpustakaan kerap diasosisikan sebagai ruang membaca di ruang tertutup, tidak boleh berisik, dan seolah membosankan. Perpustakaan di ruang terbuka, utamanya di pos ronda menawarkan wacana baru: keleluasaan bagi anak-anak untuk membaca, bercanda, dan berdiskusi.
Main di Luar: Komunitas yang Digagas Para Guru untuk Mengajak Siswa Bermain Saat Liburan
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News