Pada Rabu (30/7) silam, penulis berkesempatan mengunjungi ARTJOG 2025. Acara ini berlangsung pada tanggal 20 Juni sampai 31 Agustus 2025.
Meski sebenarnya bukan pengalaman pertama mengikuti acara bernuansa seni, acara ini menjadi pengalaman menarik, karena berlangsung selama kurang lebih empat jam. Durasi yang cukup lama, tapi terasa cepat berlalu.
Bertempat di Jogja National Museum (JNM) Kota Yogyakarta, festival seni tahunan ini menghadirkan beragam karya seni kontemporer dari beragam bentuk dan gaya.
Seniman yang berpartisipasi pun berasal dari beragam kalangan, dari anak-anak hingga dewasa, bahkan ada juga seniman berkebutuhan khusus yang ikut serta.
Bisa dibilang, ARTJOG 2025 menghadirkan sisi lintas batas secara nyata. Berkat sisi lintas batas inilah, acara yang kerap disebut sebagai "Lebaran Seni" mampu menjadi sebuah ruang lintas batas.
Disebut demikian, karena ARTJOG edisi ke 18 ini secara unik menggabungkan berbagai ekspresi terkait momen-momen historis masa lalu, dinamika khas masa kini, dan berbagai teka-teki soal masa depan dalam konteks keindonesiaan.
Rasanya seperti menjadi tokoh Sore di film SORE: Istri dari Masa Depan, yang meminjam mesin waktu milik Doraemon, untuk melakukan perjalanan waktu.
Meski setiap karya punya deskripsi dan Interpretasi spesifik, selalu ada ruang interpretasi bebas bagi setiap individu. Sebuah kemerdekaan khas seni, yang membuatnya mampu menyampaikan berbagai macam warna suara dengan sama baiknya.
Film "Women from Rote Island" dan Sebuah Pengalaman Unik
Sebagai sebuah realitas, seni selalu jujur, tapi tidak kaku. Tidak ada hal dikotomis seperti "baik-buruk" atau "benar-salah", karena seni tak pernah fokus di sana. Inilah yang membuatnya relevan di setiap konteks lini masa.
Pada konteks masa lalu, yang biasa dilihat sebagai "sejarah", seni menghadirkan satu ruang khusus, bagi banyak ingatan yang terlupakan.
Sebuah ironi khas sejarah, yang biasa memberi ruang lebih pada pihak "pemenang", dan membuat keberagaman warna sejarah sebatas terlihat sebagai "hitam atau putih".
Darinya jugalah, kita diajak melihat bersama, "history" kadang rawan berubah menjadi "his story" atau sebatas "story", ketika subjektivitas dan kepentingan berada di depan kejujuran.
Inilah satu ruang abu-abu, yang membuat batas antara "historis" dan "ahistoris" kadang terlihat samar, antara ada dan tiada.
Pada konteks masa kini, yang terlihat seperti sebuah "anugerah", seni biasa menjadi medium ekspresi, yang relevan dengan berbagai dinamika di kehidupan sehari-hari.
Meski pesan yang ditampilkan terlihat keras sekalipun, ruang bebas berinterpretasi selalu membuatnya bisa diterima dalam beragam perspektif.
Uniknya, sisi fleksibel ini juga dilengkapi dengan satu kesadaran dasar. Dalam badai dan cuaca paling ganas sekalipun, masih ada ruang tenang untuk berlindung, jika kita mau menyadari dan menemukannya.
Seabsurd apapun dinamika situasi yang bergulir, jangan lupa untuk menjaga diri tetap waras. Tidak ada yang tahu persis, seperti apa wujud asli masa depan, selama ia masih menjadi sebuah misteri, karena itulah kewarasan jadi kunci, supaya anugerah dari masa kini bisa membantu kita menghadapi misteri dari masa depan.
Gedung Agung, Titik Temu Sejarah, Keindahan dan Inklusivitas
Dari berbagai keunikan dan keruntutan inilah, Tema Motif: Amalan yang diusung ARTJOG 2025 menjadi satu hal yang benar-benar "hidup", seperti aneka karya seni di dalamnya. Di sini "Amalan" tidak hanya dilihat sebagai satu "hapalan", tapi sudah naik kelas sebagai satu aksi nyata.
Hal ini sekaligus membuktikan, seni yang sekilas terlihat "jauh" sebenarnya adalah sesuatu yang "dekat". Seni berkaitan langsung dengan berbagai konteks kehidupan masyarakat (termasuk di Indonesia) dari masa ke masa, dan akan selalu begitu, selama ia masih setia menjadi sebuah realitas.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News