Tim Good News From Indonesia (GNFI) berkesempatan mengunjungi Kampung Adat Pulo dalam kegiatan Tur Media Culture for Future 2025 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan RI pada 29 Juli 2025.
Kunjungan ini menjadi momen istimewa untuk mengeksplorasi kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat adat yang masih lestari di tengah modernisasi. Kampung Adat Pulo, terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat, adalah salah satu destinasi budaya yang menyimpan sejarah panjang dan tradisi unik.
Lebih Dekat dengan Masyarakat Kampung Adat Pulo
Kampung Adat Pulo berada di tengah Danau Cangkuang, sebuah danau kecil yang terbentuk secara alami. Untuk mencapai kampung ini, pengunjung harus menyeberangi danau menggunakan rakit bambu, menambah kesan eksotis dan tradisional.
Kampung ini dihuni oleh masyarakat Sunda yang masih memegang teguh adat istiadat leluhur. Kehidupan mereka sangat sederhana, dengan mata pencaharian utama sebagai petani dan pengrajin.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, masyarakat Kampung Adat Pulo merupakan keturunan dari Embah Dalem Arief Muhammad, seorang penyebar Islam di wilayah Garut pada abad ke-17. Mereka hidup dalam harmoni dengan alam dan tetap mempertahankan aturan adat yang ketat.
Cuma Punya Tujuh Bangunan
Salah satu fakta menarik tentang Kampung Adat Pulo adalah bahwa hanya terdapat tujuh bangunan di seluruh wilayah kampung, sebuah aturan adat yang diyakini sebagai warisan leluhur dan tidak boleh dilanggar.
Ketujuh bangunan tersebut mencerminkan fungsi sosial dan spiritual masyarakat adat, antara lain Bumi Alit (tempat tinggal keturunan Embah Dalem Arief Muhammad), Bumi Gede (rumah kepala adat atau kuncen), Lumbung Padi (penyimpanan hasil pertanian), Masjid (tempat ibadah bergaya arsitektur Sunda), Balai Pertemuan (lokasi musyawarah adat), Pasrahan (gudang penyimpanan pusaka), dan Dapur Umum (area memasak untuk kegiatan adat).
Keberadaan tujuh bangunan ini bukan sekadar pembatasan fisik, melainkan simbol keseimbangan hidup yang dijaga turun-temurun. Setiap struktur memiliki peran khusus dalam menjaga tatanan sosial dan spiritual masyarakat Kampung Adat Pulo.
Larangan membangun lebih dari tujuh bangunan menunjukkan betapa kuatnya masyarakat memegang prinsip kesederhanaan dan penghormatan terhadap warisan leluhur.
Baca juga Pertanian Leluhur vs Industri: Mengapa UU Masyarakat Adat Harus Segera Disahkan?
Larangan di Kampung Adat Pulo
Kampung Adat Pulo memiliki sejumlah pantangan yang wajib dipatuhi oleh penduduk maupun pengunjung. Salah satunya adalah larangan memotong pohon tanpa izin adat, karena dianggap dapat mengganggu keseimbangan alam. Aturan ini mencerminkan filosofi masyarakat yang sangat menghargai kelestarian lingkungan.
Selain itu, terdapat larangan keras membangun rumah lebih dari tujuh bangunan, sesuai ketentuan adat yang diwariskan turun-temurun. Pelanggaran terhadap aturan ini diyakini akan mendatangkan malapetaka. Wanita juga dilarang memasuki Pasrahan, gudang pusaka yang dianggap sakral, karena berkaitan dengan kepercayaan spiritual masyarakat setempat.
Bagi pengunjung, diwajibkan berpakaian sopan, dan mensucikan diri dengan air yang berasal dari tujuh sumber mata air yang disediakan oleh tetua adat. Larangan-larangan ini bukan sekadar tradisi biasa, melainkan bentuk kearifan lokal yang berfungsi menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan nilai-nilai budaya. Dengan mematuhi aturan ini, masyarakat Kampung Adat Pulo berhasil mempertahankan identitas budayanya selama ratusan tahun.
Candi Cangkuang: Peninggalan Sejarah di Tengah Kampung Adat
Selain kehidupan adat yang unik, Kampung Pulo juga menyimpan situs sejarah penting, yaitu Candi Cangkuang. Candi ini merupakan satu-satunya candi Hindu di Jawa Barat dan diperkirakan dibangun pada abad ke-8 Masehi.
Menurut penelitian arkeolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Candi Cangkuang memiliki struktur sederhana dengan arca Siwa sebagai simbol pemujaan.
Keberadaan candi ini menunjukkan bahwa sebelum Islam masuk, wilayah Garut telah menjadi pusat peradaban Hindu. Uniknya, masyarakat Kampung Adat Pulo yang kini beragama Islam tetap menghormati Candi Cangkuang sebagai bagian dari sejarah mereka.
Tak jauh dari Candi Cangkuang, terdapat museum yang menyimpan kumpulan daluwang naskah kuno yang ditulis di atas lembaran kulit kayu. Naskah kuno ini menggunakan huruf arab yang berbahasa Jawa kuno.
Baca juga Belajar Ketahanan Pangan dari Masyarakat Adat Suku Boti di Pulau Timor
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News