menengok kisah indonesia yang pernah jadi mediator dan damaikan konflik thailand kamboja - News | Good News From Indonesia 2025

Menengok Kisah Indonesia yang Pernah Jadi Mediator dan 'Damaikan' Konflik Thailand-Kamboja

Menengok Kisah Indonesia yang Pernah Jadi Mediator dan 'Damaikan' Konflik Thailand-Kamboja
images info

Konflik Thailand dan Kamboja sudah berlangsung sejak lama. Akarnya disebabkan oleh kasus saling klaim soal kepemilikan Kuil Prear Vihear.

Bangunan suci dan bersejarah ini memang terletak di perbatasan dua negara. Karena tak menemukan jalan keluar, keduanya pernah menyerahkan masalah ini ke Mahkamah Internasional (ICJ).

Hasilnya, pada 15 Juni 1962, Kuil Prear Vihear diumumkan menjadi milik Kamboja. Setelah putusan ini, keduanya tidak saling bersitegang sebelum akhirnya kembali memanas di periode 2008-2011.

Ketegangan itu dipicu oleh status anyar kuil tersebut sebagai situs warisan dunia atas nama Kamboja. Thailand merasa tak terima dengan keputusan tersebut. Hal ini membuat kedua negara saling menurunkan pasukan militer hingga menyebabkan nyawa-nyawa tak berdosa hilang.

Melihat konflik yang terus memanas dan semakin banyak korban berjatuhan, ASEAN, dalam hal ini Indonesia, berusaha bertindak sebagai mediator untuk menyelesaikan masalah berkepanjangan tersebut.

Peran Indonesia sebagai Mediator Konflik Thailand-Kamboja

Kisahnya bermula saat Indonesia menjadi Ketua ASEAN 2011. Indonesia sejak dulu memang dikenal selalu konsisten untuk ikut menjaga perdamaian dunia, termasuk di kawasan, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Saat itu, Indonesia sebagai leader diminta oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk membantu menyelesaikan konflik ini. Upaya ini juga mendapat dukungan dari ICJ hingga pemerintah Amerika Serikat.

Apa yang dilakukan Indonesia?

Dalam sebuah artikel ilmiah yang dituliskan Triawan Putra, et.al., di Jurnal Ilmu Pemerintahan, ada beberapa cara yang dilakukan Indonesia selaku ketua sekaligus mediator dalam konflik Thailand-Kamboja, yaitu:

  1. Pertemuan informal antara Thailand dan Kamboja di Jakarta.
  2. Pertemuan dalam kerangka Joint Border Committee (JBC) di Bogor.
  3. Pertemuan trilateral di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-18 di Jakarta.
  4. Pertemuan formal jajaran Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM).

Meskipun tampak ‘mudah’, nyatanya proses negosiasi ini sangat alot. Di kesempatan pertemuan informal pertama antara Thailand dan Kamboja di Jakarta, Indonesia menawarkan solusi untuk menempatkan tim observer di wilayah yang bersengketa untuk memastikan keadaan di daerah tersebut tetap kondusif.

Kedua belah pihak pun setuju dengan tawaran ini. Kamboja juga menyetujui term of reference (TOR) yang diberikan tim observer Indonesia. Akan tetapi, Thailand saat itu masih perlu verifikasi dan menunggu jawaban dari parlemen negaranya.

Lalu, proses mediasi kembali diadakan. Sayangnya, saat proses mediasi lewat JBC dilakukan, Perdana Menteri (PM) Thailand tidak hadir. Negeri Gajah Putih hanya diwakili oleh tim penasihat Kementerian Luar Negeri-nya.

PM Thailand ternyata menolak keterlibatan tim observer Indonesia. Disebutkan kalau Thailand merasa keberatan karena ada dua pandangan yang berbeda antara Kemlu yang setuju dengan pengiriman tim observer Indonesia dengan Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang menolak penempatan tim Indonesia.

Ini menghambat proses mediasi. Dengan kondisi kedua negara yang sama-sama kekeuh, Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa.

Kemudian, pada kesempatan selanjutnya, Indonesia kembali menggelar pertemuan trilateral di tengah-tengah KTT ASEAN dengan menawarkan beberapa solusi sekaligus, yaitu JBC, proses demarkasi batas, gencatan senjata, dan pengiriman tim observer Indonesia.

Proses mediasi sempat terhenti karena Thailand sedang melakukan proses pemilu. Sesaat setelah PM baru terpilih—PM Yingluck Shinawatra—proses mediasi mulai direncanakan untuk dihentikan dan bakal difokuskan pada penyelesaian bilateral.

Setelah proses mediasi dihentikan, pembahasan masalah ini juga tidak lagi dibahas di pertemuan ASEAN, tapi tetap melibatkan observer Indonesia. Thailand-Kamboja kembali melakukan dialog bersama, hingga pada Desember 2011, dua negara sepakat untuk menarik mundur pasukan mereka.

Tokoh di Balik Proses Mediasi Thailand-Kamboja

Kawan GNFI, di balik ini semua, ada dua tokoh sentral dalam upaya penyelesaian konflik. Adalah Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Marty melakukan shuttle diplomacy dengan mengunjungi Thailand dan Kamboja dalam waktu yang berbeda. Dalam agendanya itu, ia menghimpun informasi dari dua belah pihak agar berimbang.

Presiden SBY juga mempertemukan PM Thailand dan Kamboja. Keduanya duduk berdekatan dengan SBY dan Marty sebagai pihak penengah. Hal ini dianggap sebagai salah satu prestasi membanggakan yang menunjukkan peran aktif Indonesia untuk menjaga perdamaian kawasan.

Kawan GNFI, sebenarnya kedua negara belum benar-benar mencapai kesepakatan damai. Proses yang sangat lama itu adalah solusi sementara, bukan solusi akhir untuk mencapai perdamaian permanen.

Namun, setelah dimediasi oleh Indonesia, saat itu hubungan Thailand-Kamboja menjadi lebih baik dan kondusif. Keduanya melanjutkan proses penyelesaian dengan lebih damai.

Inisiatif apik Indonesia juga mendapatkan banyak pujian dari dunia. Indonesia dianggap mampu menjembatani proses mediasi dengan baik dan 'menghidupkan' kembali kredibilitas ASEAN dalam menyelesaikan konflik antaranggota.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Firda Aulia Rachmasari lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Firda Aulia Rachmasari.

FA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.