Di tengah laju modernisasi, Sulawesi Tenggara menyimpan kekayaan linguistik yang mengakar kuat, yakni bahasa Tolaki. Lebih dari sekadar alat komunikasi, bahasa ini adalah bagian dari identitas masyarakat Tolaki yang mendominasi daratan jazirah tenggara pulau Sulawesi.
Memiliki sekitar 611.165 penutur, bahasa Tolaki bukan hanya warisan leluhur, tapi juga penanda keberagaman budaya Nusantara yang terus bertahan meski terancam pergeseran. Mari, Kawan menyelami jejak dan eksistensi dari bahasa mayoritas masyarakat Sulawesi Tenggrara.
Akar Sejarah Sejak Sebelum Masehi
Bahasa Tolaki merupakan bagian dari salah satu filum bahasa tertua dan terluas di dunia, subkelompok Austronesia. Austronesia sendiri memiliki wilayah penutur dari Madagaskar sampai ke kepulauan Pasifik.
Penutur awal Austronesia diperkirakan bermigrasi dari China Selatan sekitar 4000 tahun silam, menyebar melalui Taiwan dan Filipina hingga mencapai Nusantara.
Di Sulawesi Tenggara, jejak peradaban Tolaki sudah ada sejak 5000 SM, dibuktikan dengan temuan arkeologis di gua-gua Konawe dan Wiwirano. Bahasa ini tiba di daratan Sultra melalui migrasi penuturnya dari utara – tepatnya kawasan Danau Matana dan Mahalona di Sulawesi Selatan.
Migrasi ini membentuk pusat kebudayaan awal di Andolaki (sekarang Konawe), yang menjadi titik persebaran selanjutnya.
Menyebar di Daratan, Menghadapi Tantangan
Bahasa Tolaki mengalir bersama sungai dan jejak langkah masyarakatnya. Saat ini, penuturnya tersebar di hampir seluruh wilayah daratan Sulawesi Tenggara, antara lain di Konawe (Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Konawe Utara), Kota Kendari, serta Kolaka (Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Kolaka Timur).
Bahasa Tolaki memiliki banyak ungkapan menarik yang mencerminkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal mereka. Beberapa ungkapan dalam bahasa Tolaki antara lain:
sangga-sanggai olutumu pekiki inesamba
Ungkapan ini digunakan sebagai semboyan Kabupaten Kolaka. Memiliki arti, berpikirlah sebelum bertindak.
Iamo U teroraroramba
memiki arti, jangan suka berbuat semena-mena terhadap orang lain. Ungkapan ini menekankan pentingnya berlaku adil dan menghormati hak-hak orang lain.
Sayangnya, meski menjadi bahasa mayoritas, nasibnya tak sepenuhnya bagus. Bahasa Tolaki menghadapi ancaman serius berupa erosi generasi dan pembauran budaya.
Banyak orang tua tak lagi mengajarkannya pada anak karena rasa "malu" (meokohanu) atau anggapan tak praktis.
Pernikahan campur dengan suku lain dan minimnya kebijakan pemerintah untuk memasukkannya dalam muatan lokal turut mempercepat pergeseran bahasa ini. Jika tak ada upaya serius, bukan tak mungkin identitas unik ini akan memudar.
Beberapa Dialek dalam Satu Rumpun
Bahasa Tolaki bukan monolit. Ia punya keragaman internal yang menarik. Berdasarkan penelitian linguistik (termasuk karya David Mead, 1999), bahasa ini terbagi menjadi dua dialek utama:
- Dialek Konawe: Dituturkan di wilayah inti Kerajaan Konawe masa lalu (Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kendari). Dialek ini sering dianggap sebagai "standar".
- Dialek Mekongga: Digunakan di bekas wilayah Kerajaan Mekongga (Kabupaten Kolaka dan sekitarnya). Terdapat perbedaan kosakata signifikan – lebih dari 304 kata – antara dialek Konawe dan Mekongga, seperti istilah hukum adat O’sara (Konawe) vs Hohowi (Mekongga).
Selain itu, terdapat beberapa dialek Tolaki lain dengan jumlah penutur yang lebih terbatas, yaitu Dialek Rahambuu (dituturkan di Desa Lelewawo, Kec. Batu Putih, Kab. Kolaka Utara), Dialek Kodeoha (dituturkan di Desa Lametuna, Kec. Kodeoha, Kab. Kolaka Utara), Dialek Lalomerui (dituturkan di Desa Mopute, Kec. Oheo, Kab. Konawe Utara), dan Dialek Waru (dituturkan di Desa Tadoloiyo, Kec. Oheo, Kab. Konawe Utara).
Secara klasifikasi lebih luas, Bahasa Tolaki termasuk dalam rumpun Austronesia, keluarga Melayu-Polinesia Barat, dengan sub-keluarga Bungku-Tolaki (Bersama bahasa Mori dan Bungku di Sulawesi Tengah).
Bahasa-bahasa dalam sub-keluarga Bungku-Tolaki ini memiliki kekerabatan leksikal di atas 50%, menandakan asal-usul proto (purba) yang sama sebelum kemudian terpisah dalam perjalanan sejarah.
Ketika Bahasa Tolaki dan Muna Dilestarikan Melalui Teknologi
Bahasa Tolaki adalah arsip hidup sejarah migrasi, sistem pengetahuan lokal, nilai-nilai adat, dan kearifan ekologis masyarakat Sulawesi Tenggara. Kepunahannya bukan hanya kehilangan alat komunikasi, tapi pemutusan mata rantai identitas dan kebijaksanaan turun-temurun.
Mengenal bahasa Tolaki adalah langkah awal menghargainya. Upaya pelestarian yang serius, mulai dari pendokumentasian, pengajaran formal/informal, hingga kebanggaan masyarakat untuk menggunakannya dalam ranah domestik. Ini menjadi kunci agar bahasa Tolaki tetap dikenal di generasi berikutnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News