Secara etimologis, burdah merupakan jubah dari kulit atau bulu binatang yang sering dipakai oleh orang-orang Arab sebagai penghangat tubuh atau selimut (Qoshidah Burdah Imam Al Bushiry: Terjemahan, Penjelasan, Faidah Dan Khasiat | Perpustakaan UIN Antasari Banjarmasin, 2011).
Namun, makna dari burdah ini tidak hanya terhenti dan pada fungsinya sebagai pakaian yang menghangatkan saja. Dalam tradisi Islam, burdah menjadi warisan religius yang dijalankan dan dihormati.
Salah satu buktinya yaitu Qasidah al-Burdah yaitu puisi pujian karya dari Imam al-Bushiri. Selain itu, burdah memiliki kaitannya dengan kisah Nabi Muhammad yang memberikan jubah sebagai simbol penghormatan dan perlindungan. Maka dari itu, burdah menjadi salah satu warisan religius dan memiliki ikatan dengan nilai dan tradisi islam.
Warisan religius ini dihormati dan dijaga oleh masyarakat Desa Daun, Pulau Bawean, Gresik. Berjalannya tradisi Burdah Keliling ini dilaksanakan guna menyambut datangnya Tahun Baru Islam.
Tradisi ini sudah berjalannya secara turun-temurun dan menjadi salah satu identitas kultural dan spiritual masyarakat di desa tersebut. Tentunya, kirab yang dilakukan dengan penuh semangat ini menjadi penanda bahwa tradisi keagamaan tidak harus formal atau kak.
Namun, bisa dikemas dengan nuansa kebersamaan dan solidaritas yang tinggi. Kegiatan ini juga menegaskan bahwa budaya Islam di Bawean sangat menghargai nilai-nilai lokal, kebersamaan, dan syiar agama yang membumi.
Pada tanggal 26 Juni 2025, Desa Daun tepatnya di Dusun Daun Laut, kegiatan Burdah Keliling ini diadakan setelah sholat Ashar. Dalam pelaksanaannya, Burdah Keliling dilakukan dengan melantunkan Qasidah al-burdah secara beramai-ramai sambil berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya di lingkungan desa.
Rombongan masyarakat ini terdiri dari berbagai kalangan masyarakat. Syair-syair pujian yang dibawakan menciptakan suasana religius dan sakral di tengah-tengah masyarakat.
Tradisi ini tidak hanya menjaga nilai-nilai keislaman, tetapi juga menjadi ruang dan sarana serta mempererat tali persaudaraan antarwarga. Kebersamaan, persaudaraan dan solidaritas terasa dalam berjalannya momen ini.
Kehadiran para pemuda dan anak-anak menjadi salah satu bagian yang menarik dari berjalannya tradisi ini. Mereka tidak hanya hadir secara fisik saja tapi juga memahami setiap lantunan tiap ayat ataupun syair.
Inilah yang menjadi bukti bahwa tradisi Burdah Keliling ini terus diwariskan dan dihidupkan setiap generasi yang ada. Kondisi ini menunjukkan bentuk regenerasi budaya dan penguatan identitas keislaman yang sangat penting di tengah arus modernisasi.
Dalam dimensi religius, Burdah Keliling merupakan bentuk ungkapan rasa syukur, terhadap nikmat dan anugerah yang telah diberikan oleh Allah serta harapan atas keberkahan di tahun baru yang akan datang.
Masyarakat setempat mempercayai bahwa mengumandangkan pujian kepada Rasulullah ini dapat meningkatkan semangat religius dan melimpahkan keberkahan dalam kehidupan sehari-hari. Berangkat dari hal tersebut, tak jarang tradisi ini diakhiri dengan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an serta pembacaan doa bersama.
Adanya tradisi Burdah Keliling ini menunjukkan telah meleburnya batasan-batasan dan secara harmonis menyatukan nilai-nilai keagamaan dengan budaya lokal yang ada. Burdah Keliling juga menjadi salah satu bentuk perwujudan Islam yang penuh dengan kedamaian dan menghargai kearifan lokal yang ada.
Warisan religius dan budaya ini tentunya perlu untuk terus dijaga dan dilestarikan secara turun-temurun. Maka dari itu, disinilah peran generasi muda menjadi penting. Generasi muda bukan hanya sekedar sebagai pewaris, tetapi juga sebagai penjaga serta penerus tradisi ini agar terus berjalan di setiap zaman.
Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, tradisi seperti ini adalah penanda bahwa kita masih memiliki akar yang kuat. Akar yang kuat ini memiliki keterkaitan dengan sejarah, spiritualitas, dan nilai-nilai luhur yang membentuk jati diri bangsa.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News