tradisi pulang haji ala bugis antara sakral glamor dan nyentrik - News | Good News From Indonesia 2025

Tradisi Pulang Haji Ala Bugis: antara Sakral, Glamor, dan Nyentrik

Tradisi Pulang Haji Ala Bugis: antara Sakral, Glamor, dan Nyentrik
images info

Sulawesi Selatan selalu memiliki keunikan dalam keyakinan masyarakatnya terhadap kearifan lokal yang masih kental.

Selama musim haji, Bandar Sultan Hasanuddin akan menjadi pusat kebudayaan nan menawan. Salah satu di antaranya adalah tradisi pulang haji yang menjadi kekhasan tersendiri dan berbeda dibandingkan dengan etnis lain.

Ciri khas yang menjadi sorotan publik ini mereka tuangkan dalam bentuk fesyen glamor yang dilengkapi dengan perhiasan emas, sehingga terlihat berkilau saat baru turun dari pesawat.

Apa saja tradisi pulang haji ala Bugis yang belakangan ini menjadi viral di media sosial?

Simak selengkapnya, ya, Kawan GNFI!

Tradisi Penggunaan Busana Kebanggaan Sang Hajah

Bagi masyarakat Bugis, tradisi mappattopo dan mispa merupakan salah satu hal yang harus dilakukan setelah menyelesaikan semua rangkaian ibadah haji di Tanah Suci Mekkah.

Tradisi ini terbilang mencolok dan unik dibandingkan dengan jamaah haji lainnya ketika kembali ke Tanah Air.

Para ‘Hajah,’ sebutan untuk haji perempuan dari Bugis-Makassar yang baru pulang dari Tanah Suci, akan berjalan anggun mengenakan pakaian gemerlap, perhiasan emas, dan diiringi senyum bahagia setibanya dari Tanah Suci.

Bagi mereka yang tidak memahami tradisi ini, penampilan yang glamor mungkin tampak berlebihan, tetapi bagi masyarakat Bugis-Makassar, ini lebih dari sekadar gaya.

Dikenal dengan sebutan ‘mispa’ yang menjadi simbol rasa syukur, pencapaian spiritual, dan warisan budaya yang tetap relevan di zaman modern.

Elemen penting dari busana ini termasuk kain penutup kepala (mispa), jubah hitam di pundak (pakambang), serta penutup kepala khas wanita (cipo-cipo) yang dirancang untuk membedakan sang haji dari masyarakat umum dengan warna-warna cerah dan hiasan manik-manik yang berkilauan.

Menariknya, para jemaah haji wanita dari Sulawesi Selatan ini semakin menunjukkan perbedaan dengan berdandan, mengenakan pakaian cerah, dan dilengkapi dengan perhiasan emas yang menghiasi dari lengan hingga leher.

Perhiasan tersebut tidak sekadar menjadi pelengkap, melainkan sebagai 'toga' budaya yang melambangkan pentingnya kembali haji dari tanah suci.

Sementara itu, jemaah haji pria umumnya memilih mengenakan gamis panjang atau jubah panjang (thawb) dan penutup kepala (khefyeh) yang terinspirasi dari gaya Raja Salman.

Fenomena ini sudah menjadi bagian dari tradisi dan budaya yang diwariskan di Sulawesi Selatan, yang diyakini sebagai simbol penghormatan terhadap ibadah haji dan pencapaian yang sangat berarti. Sebab, tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menunaikan haji jika waktu dan kesempatannya belum tiba.

Tradisi ini juga mencerminkan ekspresi kebahagiaan dan ungkapan syukur bagi mereka yang telah menunaikan rangkaian ibadah haji yang panjang dan memerlukan perjuangan, baik secara fisik, mental, maupun finansial.

Aspek simbolik ini juga merupakan bentuk penghormatan spiritual dan status kultural yang dipandang mulia bagi masyarakat Bugis-Makassar.

Baca juga: Legenda Buaya yang Dianggap sebagai Kembaran Manusia di Sulsel

Tradisi Ini Tak Hanya Dilaksanakan di Tanah Air

Dilansir dari laman Media Indonesia, jamaah haji dari Bugis-Makassar melaksanakan pun melakukan sebuah seremonial usai menjalani puncak haji di Arafah.

Tradisi mappattopo ini mereka rayakan dengan cara sederhana. Namun, sangat khidmat di tenda tempat jamaah beristirahat setelah melempar jumrah aqabah di Mina, pada hari Jumat 10 Dzulhijjah 1446 H.

Tradisi yang penuh makna ini dilakukan secara individual layaknya acara 'wisuda'. Dengan memasangkan jilbab atau sorban di kepala sebagai tanda penghargaan atas gelar 'Haji' yang telah mereka terima.

Tradisi ini bukan sekadar seremonial belaka. Akan tetapi, juga sebagai ungkapan syukur serta pengesahan simbolis terhadap anugerah Allah yang telah mengizinkan jamaah menyelesaikan rangkaian ibadah haji dengan selamat.

Acara ini juga berlangsung dalam suasana salawat dan doa bersama, hingga mampu menciptakan momen yang mendalam dan tak terlupakan bagi para jamaah haji di sana.

"Mappatoppo juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan di antara jamaah, serta mengekspresikan kebahagiaan setelah menyelesaikan salah satu rukun Islam yang paling mulia," ujar Musriadi, pembimbing ibadah kloter 6 UPG, seperti dikutip dari Media Indonesia (7/6/2025).

Walaupun dilaksanakan di tenda dan dalam suasana yang sederhana, tradisi lokal ini terus dilestarikan oleh masyarakat Bugis-Makassar meskipun jauh dari Tanah Air.

Hal ini mencerminkan bahwa masyarakat Bugis-Makassar tetap menjaga tradisi turun-temurun dengan makna sebagai simbol perjalanan spiritual setelah mencapai puncaknya dan mendapatkan haji mabrur.

Dengan melaksanakan tradisi ini, diharapkan akan terjalin solidaritas yang semakin kuat di antara jamaah, serta semangat ibadah haji yang penuh berkah dapat dibawa pulang.

Baca juga: Perjalanan Haji Lewat Laut: Sejarah Panjang yang Kini Dilirik Kembali

Gelar 'haji' juga memiliki makna yang tidak hanya bersifat simbolik, tetapi harus dapat mencerminkan perilaku dan teladan dari seseorang yang telah menunaikan ibadah haji.

Tak hanya berfungsi sebagai sebuah ritual atau warisan budaya. Melainkan juga sebagai sebuah perjalanan yang dapat menyatukan hati dan jiwa para Jemaah haji, mengenalkan tradisi yang menjadi bagian dari sejarah nenek moyang mereka, serta memperkuat tekad untuk menjalani kehidupan yang lebih baik lagi setelah kembali ke tanah air.

Jemaah haji Bugis-Makassar ini memang selalu benar-benar unik dan menarik, penuh gemerlap. Namun, mereka juga mampu menjalani tradisi yang sederhana di Mekkah yang menunjukkan keragaman budaya dan identitas masyarakat Indonesia.

Walaupun ibadah haji mengajarkan esensi kesederhanaan dengan menjauhkan diri dari hal-hal duniawi dan menghadap Sang Pencipta, tetapi tradisi ini perlu kita hargai sebagai upaya untuk melestarikan budaya yang sangat ikonik.

Unik dan menarik, ya, Kawan GNFI! Jadi #MakinTahuSulsel dengan berbagai keberagamannya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RS
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.