review novel kambing dan hujan - News | Good News From Indonesia 2025

Review Novel "Kambing dan Hujan", Belajar Perbedaan Demi Menyatukan Restu

Review Novel "Kambing dan Hujan", Belajar Perbedaan Demi Menyatukan Restu
images info

Novel Kambing dan Hujan lahir dari penghargaan Sayembara Novel DKJ 2014 terbitan Bentang Pustaka. Tidak tanggungg-tanggung, novel ini pernah didapuk sebagai karya sastra terbaik dalam Penghargaan Jakartabeat 2015 dan buku terbaik 2015 oleh Mojok.co.

Mengangkat kisah cinta dua pemuda-pemudi yang tak bisa bersatu, novel Kambing dan Hujan menyelipkan riwayat tersembunyi dari orang tua mereka yang berseteru di masa lalu.

Baca Juga: Review Novel Ve, Warisan Pola Pikir Patriarki yang Berujung Tragedi

Tokoh yang diperkenalkan dalam pembuka novel Kambing dan Hujan terdiri dua karakter yang menjalin kasih, yaitu Mif dan Fauzia. Mif besar di keluarga ormas Muhammadiyah. Sementara Fauzia, lahir di keluarga yang telah lama menjadi bagian ormas NU.

Perkenalan Mif dan Fauzia membawa pembaca 'bertemu' pula dengan ayah mereka. Pak Kandar, ayah Mif. Juga Pak Fauzan, ayah Fauzia.

Mif dan Fauzia memahami kisah cinta mereka tidak akan berjalan mulus sebab berbeda ormas. Hubungan orang tua mereka diketahui tidak akur atau tidak pernah lagi berinteraksi. Begitu Mif dan Fauzia meminta restu menikah, Pak Kandar dan Pak Fauzan pun bercerita.

Plot novel ini menggunakan dua POV, yaitu POV 1 dan POV 3. POV 1 digunakan sebagai media Pak Kandar dan Pak Fauzan bercerita mengenai cerita yang disamarkan sebagai 'kisahnya temanku'. Sehingga, penulis ingin pembacanya melihat dua sisi cerita yang mulai terungkap mengapa hubungan dua orang tua ini sudah tidak hangat. 

Mengintip masa lalu yang dilalui tokoh nama samaran mereka sendiri, Is sebagai Pak Kandar, dan Moek sebagai Pak Fauzan, pembaca diajak mengenal hadirnya pendidikan SR di masa lalu. Adapula menyinggung tentang pemilu ke-55 yang dimenangkan Masyumi.

Perbedaan status sosial terasa cukup baik dirangkai oleh Mahfud Ikhwan lewat kisah "Is dan Moek" yang dahulu bersahabat.

Kehidupan Is bisa terbilang kurang mampu. Sehingga, untuk bekerja dan sekolah, dia menggembala kambing orang bernama Mbak Min dan tidur di musala.

Sementara Moek terlahir dari keluarga yang serba berkecukupan, rendah hati, dan dermawan. Keluarganya juga memiliki peternakan, sehingga hari-harinya dihabiskan menggembala kambing bersama Is. 

Menariknya dalam penempatan karakter Is dan Moek adalah gaya bercerita yang mirip, tetapi sudut pandangnya terbatas membawa pembaca duduk untuk mendengar dari sisi mereka saja. Dua cerita berbeda akhirnya mulai tersambung sendirinya.

Pembaca juga diperkenalkan era tahun ‘60-an saat ormas Muhammadiyah masih ditentang masyarakat Tegal Centong. Jamaah ormas Muhammadiyah yang dipimpin Cak Ali hanya memiliki jamaah yang dapat dihitung jari, begitu pula dengan murid mengaji termasuk Is. Muhammadiyah masih asing dan tidak terlihat selaras dengan NU.

Ketegangan terjalin dari hal-hal kecil, seperti Is yang tak salat sunah qabliyah sementara jamaah lain melakukan salat sunah. Hingga kisah cinta di masa lalu yang memantik retaknya hubungan persahabatan Is dan Mat.

Konflik sepaham seagama yang berbeda pandang menjalani syariat islam terdengar semacam cerita roman Romeo dan Juliet-nya William Shakespeare. Sebagaimana genre roman bercerita tentang konflik antara mempertahankan cinta dan harus menghadapinya, Mif dan Fauzia ditempatkan sebagai pendengar untuk memahami kondisi orang tua mereka sendiri. 

Muda-mudi harus mengetahui sejarah panjang kedua belah pihak. Mereka harus mengetahui bagaimana ikatan persahabatan yang kuat menjadi runtuh saat Pak Kandar dan Pak Fauzan perlahan beranjak dewasa. 

Tentunya hubungan kedua sahabat ini mulai renggang akibat jarak dan waktu, konflik internal dan eksternal, serta tentang kisah cinta yang ditentang. Potret lingkungan Tegal Centong yang belum menerima keberadaan ormas selain NU juga terasa hidup.

Akan tetapi, riwayat sejarah persahabatan Pak Kandar dan Pak Fauzan terlihat mendominasi daripada melihat Mif dan Fauzia berjuang mencari restu. Selain hal tersebut, jika tidak terbiasa menikmati detail dan adegan konflik kecil, pembangunan masjid dan sekolah misalnya, kisah ini terasa lambat dan ekspektasi konflikperseteruan antar keluarga kurang dapat dirasakan.

Apabila pembaca pun tidak terbiasa membaca dialog tokoh bersahutan tanpa penanda dialog tag, akan terasa kurang nyaman dan harus berulang kali memahami siapa yang berbicara, siapa pula yang membalas. 

Walau demikian, masih ada hal menarik tentang karya ini. Elemen kambing mendominasi masa lalu Pak Kandar dan Pak Fauzan yang sering menggembala bersama. Sementara hujan datang di waktu kondisi sedikit suram atau sendu. Sebagaimana kambing dan hujan, mustahil dipertemukan.

"Is, bagi sebagian besar dari kami, seperti kambing dan hujan—sesuatu yang hampir mustahil dipertemukan." — Novel Kambing dan Hujan.

Novel Kambing dan Hujan menjadi wadah memperkenalkan pembaca sejarah ormas islam Muhammadiyah dan NU berkembang. Walau hanya sebuah karya fiksi, kisah ini masih relevan dengan keadaan terkini. Perbedaan sudut pandang baik sebagai bagian ormas islam atau di luar hal itu akan sering ditemukan di sekitar kita.

Novel ini cocok bagi Kawan GNFI yang ingin mencari bacaan baru mengenal sejarah dan budaya islam yang berkembang di Indonesia, serta kisah cinta dan persahabatan yang manis.

Baca juga: Terpukau Barat, Tersesat Identitas dalam Novel Salah Asuhan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Alethea Wijaya lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Alethea Wijaya.

AW
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.