terpukau barat tersesat identitas dalam novel salah asuhan - News | Good News From Indonesia 2025

Terpukau Barat, Tersesat Identitas dalam Novel Salah Asuhan

Terpukau Barat, Tersesat Identitas dalam Novel Salah Asuhan
images info

NovelSalah Asuhan karya Abdul Muis tidak hanya menceritakan kisah cinta yang rumit, tetapi juga mengangkat konflik identitas dan pergulatan budaya pada masa kolonial. Tokoh Hanafi menggambarkan sosok pribumi yang terlalu mengagungkan kebudayaan Barat, sampai lupa dan bahkan mengkritik budaya serta akar pribuminya sendiri.

Kondisi ini menggambarkan bagaimana pengaruh kolonialisme bisa membuat seseorang kehilangan jati diri dan merasa asing dengan asal-usulnya.

Melalui cerita Hanafi, Salah Asuhan menyuarakan kritik terhadap kecenderungan sebagian masyarakat pribumi yang terlalu terpesona dengan modernitas Barat hingga melupakan nilai-nilai tradisi dan kebanggaan atas identitas lokal.

Artikel ini akan mengulas bagaimana fenomena tersebut tergambar dalam novel dan bagaimana pesan penting tentang pentingnya keseimbangan antara menerima kemajuan dan mempertahankan akar budaya tetap relevan hingga kini.

Dalam novel Salah Asuhan, tokoh utama Hanafi digambarkan sebagai sosok yang sangat mengidolakan budaya Barat. Ia begitu mengagumi segala hal yang berbau Eropa dan kerap menganggap budaya Barat sebagai simbol kemajuan dan keunggulan.

Segala sesuatu yang dilihatnya selalu dibandingkan dengan standar budaya Eropa, yang menurutnya lebih modern dan beradab.

Padahal, Hanafi sendiri adalah seorang pribumi. Namun, pandangan dan sikapnya menunjukkan bahwa ia telah tercerabut dari akar identitasnya. Ia lebih memilih membanggakan budaya asing daripada menghargai budaya bangsanya sendiri.

Untuk menggambarkan hal ini lebih jelas, mari kita simak kutipan berikut dari novel yang menunjukkan bagaimana Hanafi terbuai oleh gaya hidup kebarat-baratan.

Itulah salahnya, Ibu, bangs akita dari kampung; tidak suka menurutkan putaran zaman. Lebih suka duduk rungkuh dan duduk mengukul saja sepanjang hari. Tidak ubah dengan kerbau bangsa kita, Bu! Dan segala sirih menyirik itu…brrrr!” Salah Asuhan:25.

Kutipan ini menunjukkan dengan jelas bagaimana Hanafi merendahkan bangsanya sendiri dan justru memuji budaya Barat. Saat ia menyamakan orang-orang pribumi dengan “kerbau”, terlihat bahwa ia sudah tidak lagi merasa bangga sebagai bagian dari bangsanya.

Ia malah menganggap budaya lokal sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman dan memalukan, bahkan jijik terhadap tradisi seperti menyirih.

Sikap seperti ini memperlihatkan dampak penjajahan yang dalam. Hanafi, walaupun pribumi, merasa bahwa satu-satunya cara untuk dihormati dan maju adalah dengan meniru gaya hidup penjajah.

Dalam hal ini, Salah Asuhan mengkritik keras orang-orang yang terlalu terpesona dengan budaya asing hingga melupakan siapa diri mereka sebenarnya.

Itulah yang kusegan benar hidup di tanah Minangkabau ini, Bu, Di sini semua orang berkuasa, kepada semua orang kita berutang, baik utang uang maupun utang budi. Hati semua orang mesti dipelihara dan laki-laki perempuan itu dipergaduh-gaduhkan dari luar buat menjadi suami-istri. Itulah yang menarik hatiku pada adat orang Belanda…..” Salah Asuhan:31.

Dalam kutipan tersebut, Hanafi mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap kehidupan di tanah Minangkabau. Ia merasa bahwa hidup di lingkungan budaya Minangkabau dipenuhi oleh tekanan sosial yang menyulitkan. Baginya, masyarakat di kampung halaman terlalu menuntut agar setiap orang menjaga hubungan baik satu sama lain, memelihara perasaan semua orang, dan bahkan ikut campur dalam urusan pribadi seperti perjodohan.

Pernyataan ini mencerminkan bahwa Hanafi melihat adat dan budaya lokal sebagai sesuatu yang mengekang kebebasan pribadi. Ia tidak nyaman dengan nilai-nilai kolektif dan keterikatan sosial yang kuat dalam budaya Minangkabau.

Padahal, nilai-nilai seperti gotong royong, kekeluargaan, dan musyawarah merupakan ciri khas masyarakat tradisional Indonesia. Namun bagi Hanafi, nilai-nilai tersebut justru dianggap sebagai beban sosial yang tidak sesuai dengan pandangannya tentang kehidupan modern.

Kekesalan Hanafi terhadap adat Minangkabau membuatnya semakin tertarik pada budaya Belanda. Ia memandang adat Barat sebagai sesuatu yang lebih bebas, rasional, dan individualistis. Gaya hidup orang Belanda yang menurutnya tidak mencampuri urusan pribadi satu sama lain tampak lebih menarik dan ideal.

Pada titik ini, kita bisa melihat bahwa Hanafi sedang mengalami krisis identitas. Ia adalah seorang pribumi, tetapi ia tidak merasa memiliki keterikatan yang kuat dengan budaya leluhurnya. Sebaliknya, ia justru menolak identitasnya sendiri dan mengagungkan identitas asing. Fenomena ini menjadi inti dari kritik yang disampaikan oleh novel Salah Asuhan.

Engkau tahu bahwa aku pun tak senang tinggal di sini, Corrie! Tapi apa boleh buat, ibuku, pekerjaanku! Hal ini semua mengikat diriku di sini. Di dalam beberapa pekan ini, sudahlah Solok menjadi surga dunia bagiku, tapi buat nanti, ia pun akan menjadi sunyi pula.” Salah Asuhan:45.

Dari perkataan ini, kita bisa melihat bahwa Hanafi sedang mengalami kebingungan identitas. Ia adalah orang Indonesia, tetapi lebih suka dan merasa cocok dengan gaya hidup Barat. Sayangnya, ia juga tidak benar-benar diterima oleh dunia Barat, sehingga ia seperti tidak punya tempat yang benar-benar membuatnya tenang.

Hanafi menyumpahi dirinya, karena ia dilahirkan sebagai Bumiputra.” Salah Asuhan:55.

Kutipan “Hanafi menyumpahi dirinya, karena ia dilahirkan sebagai Bumiputra.” (Salah Asuhan: 55) menggambarkan puncak krisis identitas yang dialami oleh tokoh utama, Hanafi.

Perasaan benci terhadap asal-usulnya ini muncul karena Hanafi terlalu mengagumi budaya dan gaya hidup Barat. Ia melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan Eropa sebagai simbol kemajuan, keindahan, dan kehormatan, sedangkan budaya pribumi dianggapnya rendah, ketinggalan zaman, dan tidak layak dibanggakan. Akibatnya, ia merasa terjebak dalam tubuh dan status sosial yang tidak ia inginkan.

Melalui kutipan ini, novel Salah Asuhan menyuarakan kritik tajam terhadap penjajahan dan dampak buruknya terhadap mentalitas bangsa jajahan. Tokoh Hanafi menjadi simbol dari generasi yang bingung arah, karena terhimpit antara budaya asing yang diidealkan dan jati diri pribumi yang ditolak.

Novel Salah Asuhan secara tajam mengangkat persoalan identitas dan pengaruh budaya Barat terhadap masyarakat pribumi pada masa kolonial. Melalui tokoh Hanafi, Abdul Muis menggambarkan bagaimana keterpesonaan berlebihan terhadap budaya Barat bisa membawa dampak negatif, terutama ketika seseorang mulai meremehkan budaya asalnya sendiri.

Hanafi, merasa rendah diri dan membenci jati dirinya sebagai pribumi. Ia lebih memilih meniru gaya hidup orang Belanda, menganggap budaya Barat lebih superior, dan mencela adat serta nilai-nilai lokal. Sikap ini menunjukkan bahwa penjajahan tidak hanya menguasai secara politik dan ekonomi, tetapi juga merusak cara berpikir dan perasaan orang-orang jajahan terhadap dirinya sendiri.

Kritik yang disampaikan Abdul Muis dalam Salah Asuhan masih relevan hingga kini, yaitu perlunya kesadaran akan pentingnya menjaga identitas budaya di tengah arus globalisasi. Menghargai kemajuan dan hal-hal baru bukan berarti harus meninggalkan atau merendahkan budaya sendiri.

Keseimbangan antara menerima pengaruh luar dan mempertahankan akar budaya lokal adalah kunci agar bangsa tidak kehilangan jati dirinya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.