- Pakar IPB University mengungkapkan 14 dari 15 spesies tarsius dunia ada di Indonesia, dengan 13 spesies terkonsentrasi di Sulawesi.
- Tarsius memiliki ciri khas seperti mata besar, kepala berputar 180°, dan kaki melompat, namun populasinya terancam oleh deforestasi, perburuan, serta perdagangan ilegal.
- Konservasi in-situ (perlindungan habitat alami) lebih efektif daripada penangkaran, mengingat tarsius sulit beradaptasi di kandang dan bergantung pada ekosistem hutan yang utuh.
Tarsius adalah primata kecil yang termasuk dalam genus Tarsius dan famili Tarsiidae. Nama ilmiahnya bervariasi tergantung spesies, seperti Tarsius tarsier (Tarsius Sulawesi) atau Tarsius bancanus (Tarsius Horsfield).
Secara klasifikasi, tarsius termasuk dalam ordo Primata, subordo Haplorhini, dan infraordo Tarsiiformes. Hewan ini dikenal sebagai salah satu primata terkecil di dunia, dengan ukuran tubuh hanya sekitar 10–15 cm dan berat antara 50–100 gram.
Ciri Fisik yang Unik
Tarsius memiliki beberapa ciri fisik yang sangat khas. Pertama, matanya yang besar tidak proporsional dengan ukuran tubuhnya, berfungsi untuk meningkatkan penglihatan di malam hari karena mereka adalah hewan nokturnal. Kedua, kaki belakangnya yang panjang memungkinkan mereka melompat hingga jarak beberapa meter.
Selain itu, tarsius memiliki kemampuan memutar kepala hampir 180 derajat, membantu mereka mengawasi predator atau mencari mangsa. Jari-jarinya yang panjang dan bantalan lengket memudahkan mereka mencengkeram dahan pohon dengan kuat.
Indonesia, Rumah Keanekaragaman Tarsius Dunia
Indonesia memegang peran penting dalam pelestarian tarsius. Menurut Dr. Abdul Haris Mustari, pakar ekologi satwa liar dari IPB University, dari 15 spesies tarsius yang ada di dunia, 14 di antaranya berada di Indonesia. Bahkan, 13 spesies ditemukan di Sulawesi, menjadikan pulau ini sebagai pusat biodiversitas global untuk primata mungil ini.
"Keberadaan tarsius di Sulawesi menunjukkan betapa kaya Indonesia dalam hal keanekaragaman hayati. Namun, ancaman terhadap habitat mereka semakin nyata," ujar Dr. Haris. Deforestasi akibat pertambangan, kebakaran hutan, dan alih fungsi lahan menjadi tantangan terbesar bagi kelangsungan hidup tarsius.
Baca juga Mengenal Rahayu Oktaviani, Wanita Hebat Konservasionis Primata Owa Jawa
Perilaku dan Habitat Tarsius
Tarsius hidup secara monogami dalam kelompok kecil, biasanya terdiri dari sepasang induk dan anak-anaknya. Mereka lebih aktif di malam hari, memakan serangga, reptil kecil, dan bahkan burung.
Habitat alaminya meliputi hutan sekunder, rumpun bambu, dan kadang-kadang kebun dekat hutan. Namun, fragmentasi hutan akibat aktivitas manusia membuat populasi mereka semakin terisolasi.
"Tarsius sangat bergantung pada hutan yang utuh. Ketika hutannya terfragmentasi, mereka kesulitan mencari makanan dan pasangan," jelas Dr. Haris.
Apakah Tarsius Termasuk Hewan Dilindungi?
Seluruh spesies tarsius di Indonesia termasuk dalam kategori hewan yang dilindungi oleh undang-undang. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, semua jenis tarsius masuk dalam daftar satwa yang tidak boleh diburu, diperdagangkan, atau dipelihara secara ilegal.
Selain itu, beberapa spesies tarsius juga masuk dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status "Rentan" (Vulnerable) hingga "Terancam Punah" (Endangered).
Misalnya, Tarsius Siau (Tarsius tumpara) bahkan dikategorikan sebagai "Kritis" (Critically Endangered) karena populasinya yang sangat terbatas dan ancaman habitat yang masif.
Sayangnya, meskipun sudah dilindungi secara hukum, praktik perburuan dan perdagangan ilegal masih terjadi. Beberapa orang memelihara tarsius sebagai hewan eksotis, padahal tindakan ini justru mempercepat penurunan populasi mereka di alam liar.
Ancaman dan Upaya Konservasi
Meskipun predator alami seperti ular dan burung pemangsa memangsa tarsius, ancaman terbesar justru datang dari manusia. Perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan kebakaran hutan telah merusak habitat mereka secara masif. Sayangnya, upaya konservasi selama ini masih kurang spesifik.
"Kebijakan konservasi lebih berfokus pada ekosistem secara umum, bukan spesies kunci seperti tarsius," kata Dr. Haris. Ia menekankan bahwa konservasi in-situ—melindungi habitat asli—adalah cara paling efektif.
"Jika hutannya terjaga, bukan hanya tarsius yang selamat, tetapi juga seluruh ekosistem di dalamnya."
Penangkaran Bukan Solusi Utama
Beberapa upaya penangkaran tarsius telah dilakukan, seperti di Sulawesi Selatan, tetapi hasilnya belum optimal. "Tarsius sulit beradaptasi di kandang. Mereka membutuhkan makanan beragam dan pembelajaran alami dari induknya," ujar Dr. Haris.
Selain itu, kemajuan analisis DNA menunjukkan bahwa keragaman tarsius mungkin lebih besar dari yang diketahui sebelumnya. "Dulu Sulawesi dianggap hanya memiliki satu spesies, tetapi kini terbukti berbeda-beda berdasarkan wilayah geografis," jelasnya.
Dr. Haris menegaskan bahwa langkah paling mendesak adalah memperkuat perlindungan kawasan konservasi yang sudah ada. "Lebih baik mengamankan rumahnya dulu sebelum memperbanyak populasinya. Kalau habitatnya rusak, hasil penangkaran mau dilepas ke mana?,” pungkas Dr. Haris dikutip dari IPB Today.
Baca juga Beruk Mentawai, Primata Langka dari Hutan Tropis yang Terancam Punah
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News