Sejak tahun 1989 hingga 1998 Pemerintah Indonesia menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Penatapan tersebut sebagai respon dari adanya kelompok yang menuntut untuk memerdekakan Aceh dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hidup dalam wilayah konflik tidaklah mudah. Semua aktivitas sehari-hari terhambat dan hidup jauh dari rasa tenang serta aman. Hal ini dirasakan oleh seluruh masyarakat di Aceh, terutama perempuan.
Baik perempuan secara individu, maupun ibu yang terus memikirkan keselamatan anak, dan istri yang selalu cemas terhadap suaminya karena banyak razia terhadap kaum laki-laki.
Banyak dari kaum wanita yang mengalami kekerasan fisik dan seksual. Bahkan kebutuhan perempuan kerap terabaikan selama konflik. Contohnya, ketika sudah waktunya melahirkan, akses untuk mendapatkan bantuan medis terhambat karena konflik yang tak kunjung mereda.
Advokasi telah dilakukan oleh berbagai macam pihak, termasuk masyarakat sipil yang terdampak. Terutama menuntut aktor yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia, pemenuhan hak korban secara adil dan bermartabat serta mendorong berakhirnya konflik Aceh supaya rasa aman bisa dirasakan kembali oleh warga Aceh.
Perempuan sebagai aktor penting
Laksamana Malahayati Melawan Penjajah Eropa
Dalam sejarah Aceh, peranan perempuan sudah bisa dicermati dan dibuktikan dari keberanian Laksamana Malahayati.
Beliau adalah pemimpin pasukan perang yang seluruh anggotanya adalah perempuan. Para penjajah dari Eropa takut dan sulit menaklukan Selat Malaka dan perairan pesisir Aceh Besar.
Dengan wafatnya suami dari Laksamana Malahayati pada pertarungan melawan Portugis, beliau berjanji untuk terus menjaga perdamaian di tanah Aceh. Ia mengumpulkan 2,000 janda yang suaminya gugur di medan perang dan menamakan pasukannya “Inong Balee”. Inong Balee kerap dipercayakan untuk membantu mengusir penjajah di wilayah Sumatra dan sekitarnya (situs : Portal Informasi Indonesia).
Baca juga :Perempuan Tangguh Sumber Inspirasi Kemandirian Bangsa
Perempuan sebagai Garda Terdepan di Konflik Aceh 1989-1998 dan Pasca Tsunami 2004
Kondisi Aceh pada masa konflik sangatlah mencekam. Banyak laki-laki yang dirazia, sehingga ruang gerak mereka terbatas. Maka, perempuan harus menjadi garda terdepan. Mereka mengambil alih pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh laki-laki.
Dikutip dari situs VoA Indonesia, di masa konflik perempuan yang mencari para korban yang diculik hingga mengelola hasil tani. Peran perempuan menjadi krusial di semua aspek. Hal ini menunjukkan ketahanan perempuan dalam situasi krisis dan konflik.
Duek Pakat Inong Aceh adalah musyawarah yang diselenggarakan oleh perempuan sebagai respon kaum wanita yang mendesak untuk terciptanya perdamaian di Aceh.
Sebanyak 450 wanita dari berbagai macam latar belakang berkumpul untuk mengadakan musyawarah, kemudian menghasilkan kesepakatan perempuan Aceh agar perdamaian bisa terwujud. Maka, lahirlah Balai Syura Ureung Inong Aceh atau biasa disebut Balai Syura sebagai lembaga hukum perkumpulan perempuan Aceh di tahun 2000.
Balai Syura terus melakukan advokasi isu-isu perempuan setelah resmi menjadi badan hukum. Kemudian, tsunami terjadi di Aceh tahun 2004. Tsunami Aceh menjadi faktor pereda konflik Aceh. Untuk proses pemulihan pasca konflik saudara dan tsunami, diperlukan untuk melibatkan semua pihak di dalam masyarakat Aceh.
Maka, Duek Pakat Inong Aceh II dilaksanakan dan menghasilkan rekomendasi konsep pemberdayaan perempuan berbasis komunitas yang bernama “Balai Inong” di lokasi korban tsunami.
Duek Pakat Inong Aceh Saat Ini
Duek Pakat Inong Aceh masih aktif hingga saat ini. Mereka terus menyuarakan isu hak-hak perempuan dan perdamaian.
Duek Pakat Inong Aceh telah terlaksana sebanyak 5 kali. Terakhir kali dilaksanakan di akhir bulan Oktober 2024 yang menghasilkan 5 rekomendasi untuk 5 tahun ke depan. Kelima rekomendasi tersebut di antaranya:
- Penguatan agensi dan sumber daya perempuan
- Peran dan perdamaian berkelanjutan
- Kepemimpinan perempuan
- Mitigasi bencana
- Penanganan kekerasan terhadap perempuan
Selanjutnya, dalam menjaga kestabilan dan keberlanjutan perdamaian, telah terbentuk satu database yang menggunakan perspektif Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dalam Konflik Sosial (P3AKS) untuk perempuan dan anak korban pelanggaran HAM masa lalu.
Menurut laporan bertajuk Implementasi Rencana Aksi Nasional P3AKS 2014-2023 yang dirilis oleh Kelompok Kerja Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (POKJA P3AKS) dengan dukungan dari UN Women Indonesia, menyatakan Balai Syura membentuk sistem pengaduan dan tanggap cepat penanganan perempuan dan anak korban konflik sosial bersama dengan Pusat Studi Gender dan Anak dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry dan Pusat Studi Gender Universitas Syiah Kuala.
Selain itu, Edukasi untuk anak dan menjadikan anak sebagai agen perubahan menjadi sangat penting terutama di daerah rawan konflik. Partisipasi anak mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 meliputi upaya peningkatan pemahaman agar anak tidak melakukan tindakan kekerasan dengan melaksanakan pendidikan damai dan keadilan gender.
Maraknya perekrutan jaringan radikal maupun terorisme yang merekrut perempuan dan anak dengan pendekatan melalui keluarga perlu diantisipasi. Balai Syura menjadi aktor yang melakukan implementasi ini di Aceh.
Diharapkan dengan bukti konkret peranan aktif perempuan di Aceh dapat dijadikan acuan untuk daerah rawan konflik lainnya di Indonesia supaya melibatkan perempuan secara aktif di dalam perumusan kebijakan hingga implementasinya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News