katak di dasar sumur dan kereta cepat 46 ribu kilometer - News | Good News From Indonesia 2025

Katak di Dasar Sumur dan Kereta Cepat 46 Ribu Kilometer

Katak di Dasar Sumur dan Kereta Cepat 46 Ribu Kilometer
images info

"Saya menempuh 1.600 km dalam satu hari untuk rapat tiga jam... dan masih bisa tidur di rumah malam itu."

Itu bukan kutipan dari pejabat Tiongkok. Bukan juga dari influencer yang sedang endorse rel kereta. Itu dari Akash Bansal, seorang pengusaha muda asal India. Ia tak sedang menyusun laporan resmi atau menulis opini untuk surat kabar. Ia hanya menulis cuitan di X (dulu Twitter), sesaat setelah kembali ke India dari Tiongkok.

Cuitan itu viral. Wajar saja. Karena isinya bukan pamer, bukan hiperbola, tapi kejujuran dari orang luar yang benar-benar kaget.

Perjalanan yang dia lakukan, konon hal biasa saja di sana: naik kereta cepat sejauh 800 km dalam waktu 4,5 jam, pulang pergi dalam sehari, rapat selama tiga jam, dan malamnya sudah bisa rebahan lagi di kasur sendiri. Biayanya sekitar Rp1,6 juta. Mahal? Tidak juga, untuk kualitas seperti itu.

Yang bikin dia terkesan bukan saja kecepatan, kebersihan, dan kenyamanan keretanya. Tapi kecepatan sistemnya. Tidak ribet. Tidak bertele-tele. Masuk stasiun, scan paspor, naik kereta. Bahkan sempat ditolong petugas yang mengganti tiketnya ke jadwal yang lebih cepat. Tanpa diminta. Tanpa harus bercerita. Petugasnya yang inisiatif.

"Everything is just so systematic. No nonsense at all," tulisnya di X (dulu Twitter). Dan kalimat itu langsung mengendap di kepala saya.

Karena yang ia lihat bukan sekadar rel dan gerbong. Tapi peradaban yang bergerak. Dengan kecepatan, dengan disiplin, dengan efisiensi. Dan mungkin, yang paling menyentuh: Akash bukan orang Tiongkok. Ia tidak sedang bangga pada negerinya sendiri. Justru karena itu, pengakuannya jadi terasa tulus.

Lalu saya bertanya pada diri sendiri: mengapa sistem seperti itu bisa hidup dan berjalan di sana? Apa yang mereka lihat, yang belum kita lihat?

Katak di Dasar Sumur

Tiongkok punya pepatah kuno yang saya pikir terlalu sering dikutip, tapi terlalu jarang direnungkan: "Katak di dasar sumur mengira langit hanya selebar mulut sumur."

Katak itu tidak bisa disalahkan. Dari posisinya yang rendah, langit memang tampak sempit. Dan gelap. Ia melihat dunia dari sudut kecil yang ia anggap utuh. Tapi coba kalau dia melompat. Coba kalau dia naik ke atas. Ia akan melihat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan: langit itu luas. Terang. Tidak terbatas.

Itu juga yang terjadi pada cara banyak orang, termasuk saya, menilai proyek kereta cepat. Terutama di negara kita. Yang saya lihat hanya: harganya mahal, investasinya besar, dan hasilnya belum terasa. Lalu kesimpulannya: rugi.

Padahal bisa jadi, saya sedang melihat dari dasar sumur. Dari ruang yang sempit. Dari perspektif jangka pendek.

Tiongkok memutuskan untuk melompat keluar dari sumur itu sejak 2008. Saat itu mereka mulai membangun jalur pertama kereta cepat: Beijing–Tianjin. Apa kata dunia waktu itu? Ambisius. Mubazir. Terlalu mewah untuk negara berkembang.

KA Cepat Menembus Beijing | Foto dari China Discovery
info gambar

Tapi mereka tidak peduli. Mereka lanjut. Hari ini, mereka punya lebih dari 46.000 km jalur kereta cepat. Terpanjang di dunia. Bahkan lebih panjang dari gabungan jalur milik Eropa, Jepang, dan Korea.

Apakah untung? Belum. Banyak yang masih mencatat rugi. Tapi siapa bilang semua yang rugi itu buruk?

Sekolah juga rugi. Tapi orang tetap sekolah. Karena nilainya tidak selalu tercermin dalam angka.

Apa yang Bisa Kita Lihat dari Bawah?

Beberapa tahun lalu saya bertemu teman lama dalam sebuah seminar di Bangkok. Ia bekerja di Hong Kong, tapi memutuskan untuk tinggal di Shenzhen. Alasannya sederhana: biaya hidup. Di Shenzhen, ia bisa menyewa apartemen 50 meter persegi dengan harga yang sama seperti kamar seukuran lemari di Hong Kong.

Tiap hari ia menempuh perjalanan 18 menit dengan kereta cepat. Pergi pagi, pulang malam. Hemat ratusan juta setahun. Bukan karena gajinya besar, tapi karena sistem transportasinya memungkinkan.

Jalur Kereta Api Cepat di Tiongkok
info gambar

Dan ia bukan satu-satunya. Di Tiongkok, ada jutaan orang yang melakukan hal serupa. Tinggal di satu kota, bekerja di kota lain. Sekolah di kota A, magang di kota B. Semua karena rel menghubungkan mereka. Semua karena waktu tempuh tidak lagi jadi batas.

Yang disebut "rugi" di laporan keuangan perusahaan kereta, justru menjadi keuntungan besar di kehidupan orang-orang seperti mereka.

Menurut Global Times, setiap 100 juta yuan yang diinvestasikan dalam kereta cepat, memicu pertumbuhan ekonomi senilai 300 juta yuan di sektor konstruksi, logistik, dan manufaktur. Setiap 2.000 km rel bisa menciptakan lebih dari dua juta lapangan kerja. Bahkan studi World Bank menyebut proyek ini punya tingkat pengembalian sekitar 8% per tahun. Itu bukan mimpi. Itu angka. Data akurat. 

Dan kini, Indonesia sudah mulai. Whoosh, Jakarta–Bandung, adalah langkah awal. Tapi seperti biasa, begitu cepat sekali diberi label: terlalu mahal, terlalu pendek, gak akan untung. 

Saya tidak ingin membantah kritik itu. Karena sebagian ada benarnya. Tapi saya juga tidak ingin berhenti berharap. Saya tinggal di Surabaya. Dan saya, seperti banyak orang lain, menunggu.

Saya ingin melihat jalur Whoosh benar-benar sampai ke sini, Kota Pahlawan. Bukan hanya agar saya bisa ke Jakarta lebih cepat. Tapi agar saya bisa melihat anak-anak muda dari Jombang bisa kuliah di Bandung tanpa harus pindah kos. Agar pengusaha dari Mojokerto bisa mengantar barang ke Jakarta dan pulang di hari yang sama. Agar orang tua di Semarang bisa menjenguk cucunya di Bogor tanpa harus pusing logistik.

Karena kalau itu terjadi, kita tidak hanya membangun rel. Kita membangun kemungkinan. Kita membangun mimpi peradaban masa depan. 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.