demi allah saya ingin kembali ke padang panjang - News | Good News From Indonesia 2025

Demi Allah, Saya Ingin Kembali ke Padang Panjang

Demi Allah, Saya Ingin Kembali ke Padang Panjang
images info

"Ini adalah kota yang berbahagia," tulis AA Navis, sastrawan besar kelahiran Padang Panjang, kota kecil di jantung Minangkabau yang mungkin tak pernah menjadi ibu kota, tapi telah menjadi ibu dari banyak gagasan besar. Kalimat itu terdengar sederhana, namun mengandung denyut cinta dan kejujuran.

"Di sana ada batu kapur yang memberi hidup, ada sawah, ada sungai yang memberi hidup, ada rel kereta yang memberi hidup, walau kadang orang mati juga dilindasnya."

Navis tak sedang berpuisi. Ia sedang menyampaikan sebuah pengakuan: bahwa kampung halamannya bukan sekadar latar, tapi jiwa dari banyak cerita. Kota ini, Padang Panjang, yang telah melihat banyak hal, perang dan damai, sunyi dan hiruk, tawa dan duka, tetap berdiri sebagai simpul kehidupan.

Di jalan-jalan kecil kota ini, Navis dulu berjalan kaki menuju sekolah. Di kaki gunung yang berkabut ini, ia belajar mengamati manusia dan menulis tentangnya dengan ketajaman yang membuat pembaca Indonesia berhenti dan berpikir. Barangkali memang hanya kota seperti Padang Panjang, dengan hujan yang jatuh nyaris setiap sore, dengan udara yang bersih dan dingin, dengan masyarakat yang keras kepala sekaligus hangat, yang bisa melahirkan seorang Navis.

Tapi Navis bukan satu-satunya. Kota ini, meskipun kecil di peta, telah melahirkan begitu banyak hal besar.

Di Sini, Ilmu Menyala Seperti Api dalam Kabut

Padang Panjang adalah kota yang seolah dilahirkan untuk berpikir. Di sinilah berdiri Diniyah School dan Diniyah Putri, dua lembaga pendidikan Islam modern pertama di Indonesia. Di masa ketika banyak daerah masih terpaku pada sistem tradisional, kota ini melangkah lebih cepat, menggabungkan nilai agama dengan sistem pendidikan maju.

Sumatera Thawalib, yang juga lahir di kota ini, bukan sekadar sekolah. Ia adalah kawah candradimuka para pemikir muda yang kelak menggetarkan Indonesia. Buya Hamka menimba ilmu di sini. Rasuna Said, pahlawan nasional perempuan dari Minang, juga sempat menyerap semangat perubahan di tanah ini. Bahkan Sutan Sjahrir, sang Perdana Menteri pertama republik, pernah bersentuhan dengan denyut intelektual Padang Panjang.

Kota ini tidak sekadar mencetak lulusan. Ia mencetak perlawanan. Ia mencetak pembaruan. Ia mencetak masa depan.

Hujan yang Turun Seperti Doa

Secara geografis, Padang Panjang adalah kota terkecil di Sumatera Barat. Tapi ia bagaikan lukisan hidup: pegunungan memeluknya dari tiga arah, Marapi, Singgalang, dan Tandikat. Pohon-pohon menjulang dari hutan primer yang belum terusik, dan curah hujan yang nyaris tak pernah absen membuat udara di sini senantiasa segar, bahkan saat langit muram.

Julukan "Kota Hujan" bukan sekadar permainan kata. Di sini, hujan seperti ritual harian. Tapi tak ada yang mengeluh. Karena hujan di Padang Panjang bukan gangguan, ia adalah bagian dari kehidupan, seperti zikir yang dibisikkan langit kepada bumi.

Hujan di kota ini turun seperti doa: pelan, penuh makna, dan seolah membawa restu. Ia membasahi jalanan, tapi juga membasuh hati. Dan bagi mereka yang peka, setiap tetesnya adalah pengingat bahwa tanah ini diberkahi.

Kota yang Tak Pernah Ingin Terkenal, Tapi Tak Akan Pernah Terlupakan

Saya menempuh lebih dari 300 kilometer menyusuri jalur darat Sumatera Barat. Dari Padang, ke Solok, Sawahlunto, Batusangkar, Bukittinggi, lalu kembali ke Padang. Tapi di antara semua kota yang saya lewati, hanya Padang Panjang yang tak saya lewati begitu saja.

Saya berhenti. Saya tinggal. Saya terserap ke dalamnya.

Di kota ini, saya tak merasa sebagai orang asing. Warga menyambut saya dengan senyum, obrolan hangat, dan keramahan yang tak dibuat-buat. Di warung, di surau, di sekolah, di rumah warga, saya merasa diterima, seolah saya adalah bagian dari mereka sejak lama.

Saya melihat anak muda yang tidak hanya bermimpi tentang masa depan, tapi sedang membangunnya. Saya melihat guru-guru yang mengajar dengan hati, bukan hanya silabus. Saya melihat kota yang meski tenang, menyimpan semangat yang mendidih di balik kabut.

Padang Panjang bukan kota megapolitan. Ia tak punya gedung tinggi, tapi ia punya nilai yang menjulang. Ia bukan pusat bisnis, tapi ia pusat nilai. Dan bagi saya, itu jauh lebih penting.

Demi Allah, Saya Ingin Kembali ke Padang Panjang

Karena kota ini bukan hanya telah menyapa saya, ia telah menyentuh jiwa saya. Di sini, saya menemukan bahwa kota kecil pun bisa punya peran besar. Bahwa tempat yang sering dilupakan peta, justru bisa menjadi pusat dari sesuatu yang tak terlihat oleh mata: semangat, cinta, dan ketulusan.

Padang Panjang telah mengambil sepotong dari hati saya. Dan jika Allah memberi waktu dan jalan, saya ingin kembali, bukan sebagai pelancong, tapi sebagai seseorang yang punya utang rindu. Karena ada tempat-tempat yang tak pernah benar-benar kita tinggalkan. Dan Padang Panjang adalah salah satunya.

Demi Allah, saya ingin kembali ke Padang Panjang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.