Awalnya saya hanya tersenyum kecil ketika melihat video seorang bocah sebelas tahun berdiri di ujung perahu panjang, menari dengan gerakan sederhana diiringi lagu Young Black & Rich. Video itu muncul di linimasa saya beberapa kali, lalu entah bagaimana dalam hitungan jam, ia meledak menjadi percakapan yang meluas ke mana-mana.
Jujur saja, saya sempat mengira, seperti banyak tren lain, ini hanya akan jadi tontonan sebentar, mungkin semingguan, lalu hilang, tergantikan video lain yang lebih heboh. Tapi rupanya saya keliru. Banget.
Apa yang terjadi kemudian bukan sekadar gelombang kekaguman, melainkan satu arus rasa ingin tahu yang menjalar cepat, menembus batas negara, bahasa, dan kebiasaan. Dalam waktu yang belum sempat kita sadari sepenuhnya, momen itu sudah hadir di ponsel milyaran orang, menjadi bahan DM miliaran (mungkin) orang di seluruh dunia.
@psg His aura made it all the way to Paris 🇫🇷✨ #psg#indonesia#aurafarming♬ original sound - 𝖍𝖆𝖑𝖑𝖔𝖜
Influencer-influence di Eropa menirukan gaya Dikha (sang penari berbaju traditional warna hitam di ujung salah satu perahu), pesepakbola terkenal mengunggah ulang, klub-klub besar seperti PSG dan AC Milan ikut menautkan potongan adegan itu. Para artis dan musisi dunia tak ketinggalan, ikutan menirukannya, atau mengunggah di story sosmed mereka.
Yng paling istimewa, semua ini tumbuh dari keaslian yang tidak dibuat-buat, sebuah tarian yang lahir dari tradisi panjang yang kini populer dengan sebutan Aura Farming.
Viralitas yang Tidak Datang Setiap Hari
No debat, saya tentu saja bangga, karena yang viral bukan sensasi konten atau sandiwara yang dirancang agar viral. Tapi sebuah warisan leluhur yang lahir dari tepian Sungai Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, Indonesia yang telah terjaga dan tumbuh selama ratusan tahun, dan mendadak terpancar amat luas ke mata dunia lewat satu effort dan gerakan tulus putra-putra daerah.
@indycar aura officially farmed at Mid-Ohio 🥀 (📸 Callum Ilott) #INDYCAR#motorsports#aura @robertshwartzman @PREMA TEAM ♬ Young Black & Rich - Melly Mike
Namun kebanggaan ini seharusnya tidak membuat kita cepat merasa cukup. Viralitas, sebagaimana sifatnya, punya umur pendek. Ia hanya menawarkan jendela kesempatan yang sebentar, lalu menutup tanpa permisi. Rasanya seperti hoki sepuluh tahun yang dipakai sekali, kalau tidak segera ditangkap, ia akan habis sia-sia.
Pacu Jalur bukan festival yang lahir kemarin sore. Sejak abad ke-17, jalur, perahu panjang itu, sudah menjadi bagian hidup masyarakat Kuantan Singingi. Awalnya dipakai mengangkut hasil bumi di Sungai Kuantan. Dari keperluan sehari-hari itu, lahir kebiasaan berhias: kepala perahu diukir dengan motif naga, sisinya dicat warna cerah, simbol kebesaran kampung dilekatkan.
Lama-lama, jalur bukan hanya alat transportasi, tapi penanda status, kebanggaan, juga cerita kolektif yang diwariskan turun-temurun.
Kini setiap Agustus, ribuan orang berkumpul di tepi sungai. Bersuka ria. Berbahagia. Jalur-jalur berhias meluncur deras, pendayung berkeringat seirama, dentuman meriam karbit memecah udara, suara sorak memanjang hingga senja. Semua itu asli, tanpa koreografi, tanpa skrip, dan justru karena itu, ia begitu kuat.
Saya teringat riset Jonah Berger dan Katherine Milkman yang diterbitkan dalam Journal of Marketing Research. Mereka menganalisis ribuan artikel dan menemukan bahwa konten yang memancarkan emosi positif tulus, rasa haru, kebahagiaan, kekaguman yang tidak dibuat-buat, memiliki peluang sekitar 30% lebih besar untuk dibagikan dibandingkan konten netral atau biasa saja.
Berger menyebut, manusia terdorong secara naluriah membagikan sesuatu yang membuat hati mereka ringan, seolah ikut menularkan rasa hangat itu kepada orang lain.
Kalau kita lihat video Paju Jalur (dan secara khusus anak anak kecil yang menari di ujung depan perahu), semua unsur itu ada di sana. Tidak ada adegan yang dipaksakan. Tidak ada drama. Hanya anak-anak yang menari dengan tulus dan bangga, di atas jalur yang melaju cepat, dan puluan pendayung yang mendayung dalam satu irama, diiringi sorak yang tulus pula oleh ribuan penonton.
Kesederhanaannya lah yang justru memantul ke miliaran layar ponsel di berbagai belahan dunia.
Belajar dari Mereka yang Paham Cara Menyambut Momen
Kalau kita mau jujur, negara lain sudah lama paham bahwa viralitas bukan sekadar untuk dirayakan. Korea Selatan barangkali contoh yang paling mudah diingat. Ketika Gangnam Style menjadi video pertama di YouTube yang ditonton lebih dari satu miliar kali, pemerintah mereka tidak berhenti pada euforia. Mereka segera membuat tur Gangnam Experience, mencetak merchandise resmi, merancang paket wisata keliling distrik Gangnam, sampai memperbaiki papan nama supaya lebih ramah pengunjung.
Hasilnya tidak kecil, data Korea Tourism Organization mencatat kunjungan turis asing naik 15 persen hanya dalam satu tahun. Dari satu lagu, lahir efek domino yang membawa K-pop mendunia.
Thailand juga tak kalah sigap. Songkran, festival yang esensinya hanya “main air rame-rame,” berubah jadi salah satu perayaan yang paling dinanti di Asia. Saat festival itu viral di Instagram, pemerintahnya meluncurkan kampanye Amazing Thailand di lebih dari 50 negara. Maskapai, hotel, dan biro perjalanan bekerja sama merancang paket wisata tematik.
Setiap musim Songkran, ratusan ribu orang datang bukan hanya untuk berbasah-basahan, tetapi untuk merasakan atmosfer yang sudah mereka lihat berkali-kali di ponsel mereka. Hasilnya, wisman tumblek blek di kota-kota di Thailand
Bahkan Islandia pun punya cerita yang sama sekali tidak biasa. Ketika letusan Gunung Eyjafjallajökull pada 2010 membuat penerbangan Eropa lumpuh total, pemerintahnya tidak hanya menunggu keadaan membaik. Mereka membalik narasi: Come see the land where fire meets ice. Wartawan internasional diundang, dokumenter gratis diproduksi, paket wisata gunung api dijual. Lima tahun kemudian, jumlah wisatawan Islandia naik dua kali lipat.
Ketiganya punya satu kesamaan: begitu perhatian dunia datang tanpa diundang, mereka tidak berdiri lama di pinggir lapangan hanya untuk tepuk tangan. Mereka tahu, momen semacam ini jarang datang dua kali.
Buat saya, ini bukan cuma soal tradisi Pacu Jalur di Kuantan Singingi atau satu festival yang kebetulan viral. Ini soal cara kita memandang diri sendiri. Apakah kita mau cukup puas saja hanya dengan bilang “Wah, bangga,” atau mau sedikit lebih sigap memanfaatkan peluang yang sudah datang, nyaris gratis, dan barangkali hanya sekali seumur hidup?
Gak mau tau, Pacu Jalur sudah layak masuk bucket list traveler-traveler dunia. Ini saatnya. gak boleh menunggu lagi. Kalau Singapura, Malaysia, Thailand, atau Vietnam bisa menjadikan satu festival lokal sebagai pintu masuk jutaan wisatawan, rasanya gak ada alasan kita untuk hanya diam.
Saya percaya semua pihak bisa ambil peran tanpa harus merasa paling penting. Kementerian bisa merancang kampanye internasional yang konsisten dan mudah dipahami, maskapai dan hotel menyiapkan pengalaman yang ramah, konten kreator memproduksi cerita-cerita baru yang lebih kaya daripada sekadar potongan video viral, pemerintah daerah memperkuat infrastruktur dan pelayanan, dan masyarakat menyambut tamu dengan keramahan yang bukan hanya jadi slogan.
Karena kalau kita mau sedikit lebih kompak dan lebih percaya diri, siapa tahu beberapa tahun lagi kita bisa bercerita dengan nada yang lebih mantap, bahwa dari satu tarian sederhana, dari satu ekspresi tulus seorang anak di ujung perahu, lahir kebanggaan bersama yang panjang umur. Bukan hanya viral sekejap lalu dilupakan, tapi jejak yang membuat Pacu Jalur benar-benar jadi alasan orang datang berkali-kali ke Indonesia. Dan merasa terus pengen datang, dan menjelajahi seluruh negeri.
Dan kalau bukan sekarang, entah kapan lagi momen sebesar ini akan datang mengetuk pintu kita.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News