salacca zalacca - News | Good News From Indonesia 2025

Salacca Zalacca

Salacca Zalacca
images info

Saya tertarik mengikuti tayangan CNA, sebuah stasiun TV Singapura, pada tanggal 1 Juli 2025 dalam acaranya Correspondent yang menjelaskan budidaya buah salak Bali yang dalam bahasa akademiknya disebut Salacca zalacca. Menariknya, TV luar negeri ini membedah tentang masyarakat Bali dengan kearifan budaya lokalnya menanam buah salak sebagai warisan nenek moyang. Badan Pangan dan Pertanian PBB, FAO, memberikan penghargaan budidaya salak ini sebagai warisan budaya penting di bidang pertanian.

Meskipun FAO memberikan penghargaan itu—kalau tidak salah tahun 2024 lalu—namun stasiun TV Singapura di tahun 2025 ini tertarik untuk memberitakan kepada pemirsa internasionalnya sehingga dapat memberikan informasi yang bagus tentang buah salak, termasuk jenis salak Bali Gula Pasir yang memiliki rasa “masir” di kancah global.

Kita umumnya mengetahui bahwa buah salak adalah salah satu jenis buah tropis yang mudah ditemukan di Indonesia. Oleh wisatawan mancanegara, buah ini dikenal sebagai snake fruit karena kulitnya yang bertekstur seperti sisik ular. Buah yang memiliki manfaat, salak, salah satunya bisa menurunkan berat badan.

Sebenarnya, tidak hanya salak Bali yang terkenal. Di Nusantara ini ada beberapa jenis buah salak, misalkan ada salak Pondoh dari Yogyakarta. Daerah Padang Sidempuan juga dikenal sebagai Kota Salak karena tanaman buah tropis ini banyak dibudidayakan di sana. Salak Sidempuan (Salacca sumatrana Becc.) terbagi dalam dua varietas, yaitu salak Padang Sidempuan merah dan salak Padang Sidempuan putih. Di beberapa daerah di Nusantara ini juga banyak petani menanam buah salak.

Stasiun TV Singapura CNA tertarik dengan buah salak Bali ini karena budidayanya merupakan bagian sistem pertanian yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan. Terkait hal ini, sistem agroforestri salak Bali diakui oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) sebagai Sistem Warisan Pertanian Penting Dunia (Globally Important Agricultural Heritage Systems/GIAHS).

Dunia mengetahui Pulau Bali dikenal dengan pariwisatanya yang menawarkan lanskap alam, budaya yang kaya, dan keramahan penduduknya. Namun, selain itu, Bali juga dikenal memiliki komoditas buah salak yang mendapat perhatian FAO itu.

Daerah penghasil salak di Bali yang utama adalah Kabupaten Karangasem—yang dikenal sebagai wilayah terkering di Pulau Bali. Menurut catatan, salak Bali diperkirakan berasal dari Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Desa ini berada di ketinggian sekitar 500–600 meter di atas permukaan laut dan merupakan daerah lahan kering beriklim basah dengan jenis tanah yang dominan laterit. Seiring waktu, budidaya salak Bali terus menyebar ke berbagai daerah lain di Bali, termasuk di luar Karangasem seperti Kabupaten Gianyar, Kabupaten Bangli, Kabupaten Badung, Kabupaten Tabanan, dan Kabupaten Buleleng.

Di Desa Sibetan sendiri, setidaknya terdapat 15 kultivar salak yang dibudidayakan. Di antara 15 jenis salak itu ada salak gondoh, salak gula pasir, salak getih, salak cengkeh, salak kelapa, dan salak beringin. Masing-masing varian salak tersebut memiliki rasa, warna, tekstur, ukuran pohon, dan bentuk daun yang berbeda-beda.

Berbeda dengan perkebunan salak pada umumnya, budidaya salak di Bali, khususnya di Kabupaten Karangasem, dilakukan dengan sistem agroforestri tradisional yang melibatkan integrasi salak dengan tanaman dan pohon-pohon lainnya, seperti mangga, pisang, kelapa, tanaman obat, dan berbagai pohon lainnya, sehingga menciptakan lanskap pertanian yang kaya. Sistem ini dikembangkan oleh masyarakat adat Bali dengan menggunakan subak tradisional dalam pengelolaan air. Salak ditanam di bawah naungan pohon-pohon tinggi yang melindungi sumber air, sehingga menciptakan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memadukan nilai budaya dan keberlanjutan ekologi. Dengan cara ini, pepohonan salak menjadi lebih sehat dan terlindungi dari hama, dan kelembapan tanahnya pun lebih terjaga. Selain itu, metode ini juga membantu mempertahankan topografi, mencegah erosi, menghemat air, menyerap karbon, dan mendukung keamanan pangan sekaligus menjaga warisan budaya dan mata pencaharian lokal.

Lembaga Pangan dan Pertanian PBB–FAO itu tertarik dengan budidaya pertanian, terutama buah salak di Bali ini, karena sangat berakar pada filosofi tradisional Bali seperti Tri Hita Karana dan Tri Mandala. Sistem ini mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan spiritualitas yang telah terdaftar sebagai Lanskap Budaya UNESCO. Sistem ini telah diwariskan dan diterapkan secara turun-temurun hingga saat ini. Dengan cara ini, masyarakat Bali membudidayakan salak tanpa merusak hutan, sehingga mata pencaharian mereka dari produksi salak terus berlanjut. Selain buahnya, setiap bagian dari pohon salak Bali juga dimanfaatkan masyarakat Bali untuk berbagai keperluan, sehingga menjadikan tanaman tersebut sebagai tanaman tanpa limbah.

Salak Bali dikenal dunia bukan hanya karena rasanya yang enak, bukan karena penggunaan peralatan modern, namun dikenal karena sistem agroforestri salak di Bali telah mempertegas bahwa sistem pertanian yang selaras dengan alam dapat menjadi solusi berharga di tengah kerusakan lingkungan yang meluas di banyak tempat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AC
AA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.