Suatu hari, anak bungsu saya baru pulang dari acara sekolah ke Kuala Lumpur. Wajahnya sumringah, penuh cerita, sambil membongkar oleh-oleh dan memamerkan foto-foto dari kameranya. Dengan semangat, ia berkisah tentang jalanan ibukota Malaysia yang lebar dan bersih, kereta LRT yang meluncur tepat waktu, taman-taman kota yang rapi, dan gedung-gedung pencakar langit yang seolah tak ada habisnya.
"Bagus ya, Yah," ujarnya.
Ia bercerita panjang lebar: tentang lampu yang gemerlap, tentang pusat belanja yang penuh merek asing, dan tentang nasi lemak yang katanya sangat enak. Sambil tak lupa menyelipkan kisah-kisah lucu teman-temannya.
Hingga pada satu titik, ia menoleh ke arah saya, dan dengan nada polos bertanya:
"Ayah, berapa tahun Indonesia tertinggal dari Malaysia?"
Pertanyaan itu seperti anak panah kecil yang menancap pelan di dada saya. Sebuah pertanyaan sederhana, tapi begitu dalam. Karena saya pun sering menanyakannya diam-diam dalam hati. Dan terus terang, saya tak tahu harus menjawab apa.
Beberapa waktu setelahnya, pertanyaan itu masih saja mengganggu. Mungkin itu sebabnya saya memutuskan untuk kembali ke Kuala Lumpur. Bukan untuk liburan, tapi untuk mencari jawaban yang lebih jujur.
Kali ini rasanya berbeda. Saya ingin memeriksa kota ini bukan dengan mata turis, melainkan dengan mata seorang tetangga yang penasaran. Saya mulai dengan berjalan kaki. Dan seketika, saya sadar sesuatu yang fundamental. Selama di sini, saya terus-menerus berjalan. Bukan karena terpaksa, tapi karena rasanya begitu nyaman dan alami. Kota ini seakan-akan dirancang untuk dijelajahi dengan langkah kaki.
Lalu saya merenung lebih jauh. Berjalan kaki di Kuala Lumpur membuat saya bisa menatap ke depan, atau ke atas mengagumi gedung-gedung. Saya tidak perlu terus-menerus menunduk, mengawasi setiap langkah karena takut terperosok ke selokan terbuka atau tersandung trotoar yang pecah. Energi mental yang biasanya saya habiskan untuk waspada terhadap motor yang tiba-tiba naik ke trotoar atau lapak PKL yang memakan jalan, di sini bisa saya gunakan untuk benar-benar menikmati kota. Kebebasan dari stres-stres kecil yang konstan ini, saya sadari, adalah sebuah bentuk kemewahan yang tak ternilai. Kemewahan yang bukan lahir dari uang, tapi dari tata kelola yang serius.
Di titik inilah saya mengerti. Kekaguman pada tata kota dan infrastruktur bukan lagi sekadar konsep visual. Ia adalah pengalaman fisik. Infrastruktur yang baik adalah tentang martabat pejalan kaki, tentang memberi ruang bagi manusia, bukan hanya bagi mesin. Mungkin beginilah rasanya hidup di kota yang memikirkan warganya secara serius.
Puncak keheranan saya terjadi saat makan siang. Suara-suara supercars mewah menderu tanpa henti di sebelah rumah makan nasi kandar yang ramai. Sang pelayan seolah tak menghiraukan deru knalpot Lamborghini atau Ferrari yang lalu lalang. Ini adalah simbol zaman baru Malaysia, di mana kemakmuran menjadi realitas sehari-hari yang tak lagi membuat siapa pun menoleh.
Tentu, bukan hanya orang kaya yang datang. Saya juga melihat para pekerja dari Bangladesh, Nepal, dan Myanmar yang menjadi tulang punggung sektor jasa dan konstruksi. Karena di balik semua statistik dan indeks daya saing, ini bukti paling nyata kedahsyatan ekonomi Malaysia—ia bukan hanya menghidupi rakyatnya sendiri, tapi juga membuka pintu bagi jutaan orang lain.
Dan di mana posisi saya, orang Indonesia, di tengah semua ini? Saya melihat rombongan tur dari negara saya dengan tas belanjaan penuh, wajah penuh kekaguman. Kita adalah kontributor devisa yang signifikan, turis nomor satu di negeri ini. Rasanya seperti mengunjungi rumah sepupu yang dulu bermain di halaman yang sama, tapi kini rumahnya jauh lebih megah. Ada rasa bangga melihat sesama bangsa Melayu bisa begitu maju, namun di dasar hati ada sebuah bisikan pertanyaan yang mengganggu, "Kenapa bukan kita?" Perasaan campur aduk antara kagum, sedikit iri, dan harapan inilah yang membuat perjalanan ini terasa begitu personal.
View this post on Instagram
Perasaan itu mendorong saya membuka ponsel, mencari jawaban dalam data. Laporan IMD World Competitiveness Ranking 2025 menegaskan jarak itu: Malaysia melonjak ke posisi 23, Indonesia jatuh ke posisi 40.
Keberhasilan ini, saya sadari, bukanlah sulap. Fondasinya diletakkan puluhan tahun lalu: New Economic Policy (NEP), Vision 2020, hingga kota terencana Putrajaya. Saya tahu narasi yang sering kita dengar di Indonesia: bahwa dulu kita pernah lebih maju, bahwa Malaysia pernah belajar dari kita, bahkan kita pernah mengirim guru ke sana.
Saya pun tumbuh besar dengan cerita-cerita itu. Ia seperti selimut hangat kolektif, sebuah pusaka narasi yang kita wariskan untuk menjaga harga diri. Namun, berdiri di sini, di tengah keteraturan dan kemajuan yang nyata, selimut itu terasa tipis. Saya sadar bahwa terus-menerus memeluk kebanggaan masa lalu sambil menutup mata dari kenyataan hari ini bukanlah bentuk patriotisme. Justru, mengakui ketertinggalan kita dengan jujur, seberapa pun pahitnya, adalah langkah pertama yang paling patriotik yang bisa kita lakukan. Karena dari pengakuan itulah keinginan untuk mengejar bisa benar-benar lahir.
Malam turun di Kuala Lumpur. Saya duduk sendirian di sebuah kopitiam tua, hanya ditemani secangkir teh tarik hangat. Uapnya yang mengepul terasa lebih menenangkan dari yang saya kira. Dalam hening, saya kembali memutar percakapan dengan anak saya.
Saya membayangkan masa depannya. Saya tidak ingin dia tumbuh menjadi generasi yang hanya bisa bernostalgia tentang kejayaan masa lalu yang bahkan tidak pernah kami rasakan. Saya ingin dia hidup di sebuah negeri yang sibuk membangun kejayaannya sendiri di masa kini. Sebuah Indonesia yang trotoarnya ramah pejalan kaki, yang transportasinya tepat waktu, dan yang pemerintahannya benar-benar bekerja untuk rakyatnya. Jawaban yang saya cari di Kuala Lumpur ternyata bukan untuknya, tapi untuk generasi saya: apa yang akan kita lakukan agar pertanyaan itu tidak perlu ia tanyakan lagi kelak?
"Ayah, berapa tahun Indonesia tertinggal dari Malaysia?"
Saya belum punya jawaban pastinya. Tapi perjalanan ini mengajarkan satu hal: jarak itu bukan soal angka, tapi soal keberanian kolektif untuk berubah. Dan kita? Kita juga bisa. Tapi pertama-tama, kita harus jujur pada diri sendiri. Karena pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan kerja keras dan keberanian.
Dan barangkali, jika suatu hari anak saya bertanya lagi, saya ingin bisa menatap matanya dan berkata:
“Kita sudah mengejar, Nak. Dan kita tidak lagi tertinggal sejauh itu.”
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News