Kawan GNFI, tahukah kamu, sebentar lagi kita akan memasuki hari penting yang disambut dengan beragam cara sesuai daerah masing-masing, yakni hari Satu Suro. Mari simak penjelasannya!
Suro merupakan bulan pertama pada kalender Jawa yang mengikuti penanggalan bulan Hijriyah yaitu Muharram sebagai bulan pertama di kalender Hijriyah.
Berarti dapat dikatakan bahwa bulan Suro (Jawa) atau Muharram (Islam) merupakan momen tahun baru Islam yang biasanya dirayakan dengan beragam acara di tiap daerah.
Tradisi Kirab Pusaka Keraton di Solo
Perayaan Satu Suro digelar dengan tradisi kirab (jalan Bersama) pada jam 12 malam. Kirab dimulai dari Keraton Solo lalu mengelilingi jalan protokol di Kota Solo dengan membawa bermacam pusaka istana serta beberapa ekor kebo bule (kerbau albino).
Kebo bule ini sejak abad ke-17 sudah dipercaya sebagai penjaga pusaka istana yang bernama pusaka Kyai Slamet, pusaka yang hanya bisa dilihat oleh raja saat itu.
Maksud dari tradisi ini adalah diharapkan dengan adanya kirab ini dapat menjadi penolak bala bagi keraton dan rakyat. Selama kirab pusaka keraton dilaksanakan, terdapat beberapa abdi dalem yang melakukan meditasi dan doa di Masjid Pudyasana sampai pukul 03.30 pagi.
Baca Juga: 25 Ucapan Sugeng Warsa Enggal dan Artinya, Selamat 1 Suro 2025!
Tradisi Satu Suro di Yogyakarta
Tradisi Satu Suro yang dirayakan di Yogyakarta tidak jauh berbeda dengan di Solo. Yang membedakan adalah adanya ritual Topo Mbisu yang dilakukan saat Upacara Mubeng Beteng, yaitu kirab mengitari beteng keraton Hadiningrat dan Puropakualaman.
Ritual Topo Mbisu berarti peserta kirab tidak boleh berbicara, makan, minum, dan merokok selama Upacara Mubeng Beteng berlangsung. Upacara kirab ini para peserta berjalan enam kilometer pada tengah malam.
Selain itu, pada malam Satu Suro juga digelar pertunjukan wayang semalaman dan juga ritual mandi di sungai tengah malam lalu tirakat sampai pagi.
Ternyata, masih ada satu tradisi lagi yang dilakukan di keraton Yogyakarta pada tanggal satu Suro yaitu tradisi siraman pusaka. Beberapa pusaka istana yang dipilih oleh raja di-Mutihi (bersihkan), marangi (diolesi warangan: cairan berisi ramuan pembersih keris), dan anjamasi (dioleskan minyak cendana). Selain benda pusaka, kereta istana juga dimandikan.
Pembakaran Ogoh-ogoh di Malang
Perayaan Satu Suro cukup berbeda di Malang. Meskipun sama-sama melakukan kirab seperti di Yogyakarta dan Solo, tetapi yang membedakan adalah adanya pembakaran ogoh-ogoh di halaman makam Gunung Kawi. Sebelum dibakar, ogoh-ogoh itu dibawa kirab terlebih dahulu.
Ogoh-ogoh merupakan patung buatan yang di masyarakat Malang menjadi simbol makhluk pembawa bencana. Pembakaran ogoh-ogoh menjadi simbolis dan harapan agar tidak ada bencana di kemudian hari yang akan menimpa masyarakat Malang.
Malam Satu Suro di Cirebon
Dalam memperingati Satu Suro, keluarga dan kerabat Keraton Cirebon memulainya dengan pembacaan Babad Cirebon yang dilakukan oleh pejabat berpangkat satu, tujuh abdi dalem, dan tujuh penghulu masjid Agung Kasepuhan. Pembacaan Babad Cirebon ini diterangi dengan empat lilin besar.
Babad Cirebon berisi tentang asal-usul Cirebon dan cerita pendiri keraton. Pembacaan Babad ini dihadiri oleh anggota Musyawarah Pimpinan Daerah Cirebon, tamu undangan, dan Masyarakat Cirebon. Namun, tidak semua masyarakat bisa menyaksikannya di dalam keraton.
Sebagian masyarakat yang tidak bisa menyaksikannya langsung dapat melihatnya pada layar lebar yang telah disediakan di depan keraton.
Baca Juga: 30 Kata-Kata Bijak dan Ucapan Malam 1 Suro 2025 Bahasa Jawa Singkat
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News