Di tengah tantangan ketahanan pangan dan fluktuasi iklim global Indonesia tidak hanya dituntut untuk meningkatkan produksi pertanian tetapi juga menjamin kualitas dan keamanan pangan.
Salah satu kunci yang mulai diterapkan secara sistematis oleh pemerintah adalah penguatan kapasitas penerap standar pertanian khususnya pada komoditas strategis seperti padi dan jagung.
Melalui pedoman yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian pemerintah mendorong petani untuk beralih dari praktik tradisional menuju pertanian berbasis standar seperti Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Handling Practices (GHP).
Standar GAP maupun GHP bukan sekadar formalitas tapi menjadi pintu masuk agar petani bisa bersaing secara nasional maupun global.
Kenapa Petani Perlu Menerapkan Standar?
Selama ini banyak petani di Indonesia belum familiar dengan praktik pertanian yang sesuai standar nasional maupun internasional. Akibatnya hasil panen rentan terhadap kerusakan, kualitas tidak seragam, dan daya saing rendah.
Dengan menerapkan GAP dan GHP petani dapat:
- Meningkatkan hasil panen dari segi kualitas dan kuantitas.
- Menjamin keamanan pangan dari hulu ke hilir.
- Mempermudah akses ke pasar modern termasuk ekspor.
- Mengurangi kerugian pascapanen akibat kesalahan penanganan.
Contohnya penerapan standar dalam budidaya jagung bisa meliputi pemilihan varietas unggul, teknik tanam berjarak, pemupukan berimbang, dan panen sesuai umur fisiologis. Hal serupa berlaku untuk padi, dengan tambahan manajemen air, pengendalian hama terpadu, dan penanganan pascapanen sesuai SOP.
Peran Pendamping dan Penyuluh Ujung Tombak di Lapangan
Transformasi pertanian berbasis standar tidak bisa dilakukan tanpa peran penting dari penyuluh pertanian dan pendamping lapangan. Dalam pedoman resmi Kementan penyuluh ditugaskan untuk:
- Memberikan edukasi teknis tentang standar GAP dan GHP.
- Melakukan demo plot agar petani bisa melihat langsung manfaatnya.
- Mendampingi petani dalam proses sertifikasi.
- Menjembatani komunikasi antara petani dan pihak regulator.
Program pelatihan dan penyuluhan ini dilakukan secara bertahap di berbagai sentra produksi seperti di Kabupaten Grobogan (untuk jagung) dan Subang (untuk padi) yang menjadi lokasi pilot project implementasi standar nasional.
Strategi Bertahap Mulai dari Diri Sendiri Kemudian Lanjut ke Kelompok
Penerapan standar pertanian juga dilakukan melalui pendekatan bertahap. Dimulai dari petani individu yang sadar akan pentingnya kualitas kemudian menyebar melalui kelompok tani dan gapoktan.
Strategi ini dinilai lebih efektif dalam membangun budaya mutu di tingkat akar rumput. Setelah memahami dan mengadopsi standar petani bisa mengurus sertifikasi GAP/GHP melalui lembaga akreditasi nasional.
Sertifikasi ini menjadi bukti bahwa hasil panen petani telah memenuhi standar keamanan dan mutu pangan.
Hasil Nyata: Petani Naik Kelas dan Harga Jual Meningkat
Banyak petani yang telah menerapkan standar pertanian mulai merasakan manfaatnya. Selain produksi meningkat harga jual produk pun ikut terdongkrak.
Produk padi dan jagung yang telah tersertifikasi cenderung lebih diminati pasar modern karena keamanannya lebih terjamin.
Dalam laporan evaluasi yang dirilis Kementan disebutkan bahwa produktivitas petani jagung yang menerapkan GAP bisa meningkat hingga 20% dengan efisiensi penggunaan pupuk dan pestisida mencapai 15%. Ini membuktikan bahwa standar bukanlah beban melainkan alat peningkat daya saing.
Standar pertanian bukan hanya soal memenuhi aturan tapi tentang membangun kebiasaan bertani yang lebih profesional dan berkelanjutan.
Penerapan GAP dan GHP memungkinkan petani padi dan jagung di Indonesia untuk "naik kelas", menembus pasar modern dan berkontribusi pada ketahanan pangan nasional.
Dengan dukungan penyuluh dan komitmen dari petani itu sendiri masa depan pertanian Indonesia bisa lebih tangguh, modern, dan berorientasi mutu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News