Generasi Z tumbuh bersama media sosial. Dari bangun tidur sampai sebelum tidur lagi, dunia maya seakan jadi ruang yang tak pernah sepi. Segalanya bisa diakses dalam hitungan detik: hiburan, informasi, tren, dan tentu saja eksistensi.
Namun, di balik serunya dunia digital, ada satu hal penting yang sering terlupakan kesehatan mental.
Bagi sebagian orang, media sosial adalah tempat berbagi cerita dan ekspresi diri. Tapi bagi sebagian lainnya, platform ini justru jadi sumber tekanan yang bikin cemas, minder, bahkan stres. Kenapa bisa begitu?
Dunia Maya tidak Selalu Indah
Media sosial penuh warna, tapi nggak semuanya sehat. Di balik unggahan teman yang kelihatan bahagia, sukses, atau cantik tanpa cela, banyak orang merasa hidupnya tidak cukup baik. Fenomena ini disebut social comparison, membandingkan hidup kita dengan apa yang orang lain tampilkan di media sosial.
Padahal, yang kita lihat itu cuma sepotong kecil dari kenyataan. Tapi tetap saja, standar kebahagiaan dan kesuksesan jadi bias. Akibatnya? Banyak remaja merasa nggak percaya diri, jadi gampang cemas, atau ngerasa “kurang” terus.
Perundungan Digital Itu Nyata
Masalah lain yang sering terjadi adalah cyberbullying. Komentar jahat, sindiran, hingga fitnah bisa menyebar dengan sangat cepat. Yang bikin miris, korban perundungan digital sering kali tidak tahu harus lapor ke siapa.
Banyak yang akhirnya memendam, menarik diri dari lingkungan sosial, atau bahkan mengalami depresi.
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, kasus kekerasan digital terhadap anak dan remaja terus meningkat. Ini artinya, dunia maya yang katanya bebas dan menyenangkan itu juga bisa sangat berbahaya kalau tidak digunakan dengan bijak.
Solusinya Bukan Tutup Aplikasi
Masalah kesehatan mental akibat media sosial tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyuruh remaja berhenti bermain gadget. Diperlukan pendekatan yang lebih tepat dan berkelanjutan. Berikut beberapa solusi yang bisa dilakukan:
1. Tingkatkan Literasi Digital Sejak Dini
Remaja perlu dibekali kemampuan memahami dunia digital secara utuh, bukan cuma tahu cara pakai aplikasinya. Literasi digital mencakup kemampuan membedakan mana konten yang sehat dan mana yang berbahaya, serta bagaimana bersikap bijak saat melihat unggahan orang lain.
2. Ajarkan untuk Membatasi Waktu Layar (Screen Time)
Terlalu lama menatap layar bisa memengaruhi suasana hati, pola tidur, dan produktivitas. Remaja perlu diajak menyadari kapan harus istirahat sejenak dari media sosial, tanpa merasa ketinggalan informasi atau FOMO (fear of missing out).
3. Bangun Komunikasi Terbuka di Rumah
Peran keluarga sangat penting. Orang tua bukan hanya bertugas mengawasi, tapi juga harus bisa menjadi tempat bercerita. Ketika anak merasa aman dan didengarkan, tekanan dari luar akan terasa lebih ringan.
4. Sediakan Akses pada Layanan Konseling
Sekolah atau komunitas remaja bisa menyediakan layanan konseling yang mudah diakses. Remaja perlu tahu bahwa tidak apa-apa untuk mencari bantuan ketika mereka merasa tidak baik-baik saja.
5. Kampanyekan Self-love dan Konten Positif
Media sosial bisa menjadi tempat yang sehat kalau digunakan untuk menyebarkan kebaikan. Dorong remaja untuk lebih sering memproduksi dan mengonsumsi konten yang membangun kepercayaan diri, menghargai keberagaman, dan menumbuhkan empati.
Media sosial memang membawa banyak manfaat. Tapi kalau digunakan tanpa kontrol, ia bisa jadi bumerang bagi kesehatan mental, terutama di kalangan remaja. Kita tidak bisa menghindari dunia digital, tapi kita bisa belajar untuk tidak tenggelam di dalamnya.
Karena pada akhirnya, di balik layar yang penuh warna, ada jiwa yang harus dijaga dengan empati, kesadaran, dan pendampingan yang tepat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News