Di tengah keheningan pagi Pulau Kawe, Kabupaten Raja Ampat, seorang nelayan berdiri di bibir pantai. Tatapannya kosong, mengarah ke laut yang biasanya menyimpan rezeki karang berwarna-warni dan barisan lobster yang pernah melimpah.
Kini, airnya tetap jernih, tetapi tidak lagi membawa harapan seperti dulu. “Lobster butuh karang untuk hidup. Tapi karang sekarang rusak karena tambang dan kapal-kapal besar,” katanya lirih.
Perkataan sederhana itu menggambarkan keresahan kolektif warga Raja Ampat hari ini. Mereka sedang menagih janji negara untuk melindungi kampung halaman mereka, menjaga laut, dan hutan yang selama ini memberi kehidupan.
Namun, di balik statusnya sebagai kawasan konservasi dunia dan Geopark UNESCO, Raja Ampat justru dikepung izin tambang nikel yang mengancam masa depan ekologisnya.
Jejak Regulasi dan Celah Birokrasi
Sejatinya, Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang cukup kuat dalam perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. UU No. 27/2007 dan revisinya melalui UU No. 1/2014 melarang kegiatan pertambangan yang dapat merusak lingkungan atau merugikan masyarakat setempat.
Permainan Tradisional Kupas Kelapa dari Raja Ampat yang Menjadi Simbol Kekuatan dan Kecepatan
Bahkan, Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat No. 3 Tahun 2011 menetapkan fungsi utama pulau kecil sebagai kawasan konservasi dan pariwisata.
Namun, kuatnya regulasi di atas kertas tak selalu sejalan dengan praktik di lapangan. Kontrak Karya PT Gag Nikel yang diteken sejak 1998 masih berlaku hingga kini, ditambah lagi empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan pada 2013 oleh pemerintah kabupaten.
Padahal, beberapa pulau tempat tambang itu beroperasi seperti Kawe, Manuran, dan Waigeo Timur berada dalam zona konservasi laut dan kawasan strategis nasional.
Tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, lemahnya mekanisme pengawasan, serta birokrasi yang rumit menciptakan ruang abu-abu dalam proses pemberian izin.
Inilah yang disebut oleh para ahli sebagai “bottleneck bureaucracy” kondisi ketika prosedur administratif yang panjang dan tidak sinkron justru melemahkan pengambilan keputusan yang seharusnya responsif dan transparan.
Saat Suara Masyarakat jadi Pemantik Perubahan
Gelombang kekhawatiran warga mulai terdengar sejak 2022, ketika kerusakan terumbu karang akibat operasi tambang di Pulau Kawe mulai terlihat. Laporan masyarakat dan organisasi lingkungan mengenai pencemaran laut serta dampaknya terhadap tangkapan ikan menjadi pemicu tekanan publik. Isu ini pun meluas dan mendapatkan perhatian nasional.
Puncaknya terjadi pada Juni 2025. Presiden RI menggelar rapat terbatas khusus membahas konflik tambang di Raja Ampat. Berdasarkan rekomendasi Kementerian ESDM dan KLHK, 4 izin usaha tambang dinyatakan melanggar ketentuan dan dicabut. PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), dan PT Nurham resmi dihentikan operasinya.
Namun, PT Gag Nikel anak usaha BUMN Antam masih diperbolehkan beroperasi dengan pengawasan ketat.
Keputusan itu disambut gembira, tetapi tidak serta-merta menghapus kekhawatiran warga. Sejumlah aktivis lingkungan menyebut pencabutan izin ini sebagai respons reaktif, bukan langkah antisipatif.
“Kenapa harus menunggu viral dulu? Bukankah pelanggaran lingkungan sudah terjadi sejak lama?” tanya seorang aktivis di lapangan.
Data Tak Pernah Bohong
Fakta-fakta di lapangan menguatkan argumen warga. Dari pengamatan LSM dan citra satelit, lebih dari 500 hektar hutan telah hilang akibat ekspansi tambang. Sedimentasi berat menimbun terumbu karang, menurunkan kualitas habitat laut, dan mengguncang rantai makanan laut.
Bahkan, penelitian lembaga independen menemukan kandungan logam berat seperti nikel, timbal, dan kadmium dalam tubuh masyarakat yang tinggal di sekitar area tambang.
Profil Iqbal Damanik, Sosok Aktivis Greenpeace yang Lantang Suarakan Raja Ampat
Kerugian ekonomi pun mulai terasa. Sektor pariwisata yang selama ini menjadi andalan PAD Raja Ampat dengan kontribusi lebih dari Rp150 miliar per tahun berisiko merosot tajam.
Padahal, sebanyak 70 persen dari wisatawan yang datang adalah turis mancanegara yang sangat peduli dengan kualitas lingkungan. Di sisi lain, nelayan tradisional mulai kehilangan mata pencaharian. Laut yang dulunya penuh ikan kini menjadi tempat yang asing.
Ujian Besar bagi Tata Kelola Publik
Kisah Raja Ampat bukan semata soal tambang atau lingkungan. Ini adalah ujian nyata bagi komitmen negara dalam menjalankan prinsip akuntabilitas publik. Ketika birokrasi gagal menjawab keresahan warga, maka kepercayaan publik pun ikut luntur.
Dalam teori tata kelola publik modern, negara semestinya menjalankan governance yang partisipatif, transparan, dan berorientasi jangka panjang. Namun, apa yang terjadi di Raja Ampat menunjukkan gejala sebaliknya.
Proses perizinan yang tidak transparan, lemahnya keterlibatan masyarakat adat, hingga lambatnya penegakan hukum adalah indikator dari krisis tata kelola.
Meski keputusan pencabutan izin telah diumumkan, pekerjaan besar belum selesai. Warga menuntut keterbukaan penuh atas seluruh dokumen perizinan, pemulihan ekosistem yang rusak, serta pelibatan aktif komunitas lokal dalam pengawasan tambang yang tersisa.
Menatap Harapan Baru
Raja Ampat telah lama menjadi simbol keindahan alam Indonesia yang membanggakan. Namun, di balik itu, kini tersimpan luka ekologis dan sosial yang perlu segera disembuhkan. Peristiwa ini bisa menjadi titik balik, asalkan pemerintah benar-benar belajar dari kelalaian masa lalu.
Langkah selanjutnya harus lebih progresif: memperkuat pengawasan partisipatif, menegakkan aturan tanpa pandang bulu, dan menjadikan masyarakat lokal sebagai mitra dalam menjaga alamnya.
Wajib Dicoba! 5 Kuliner Khas Raja Ampat yang Bikin Liburan Makin Berkesan
Karena pada akhirnya, pelestarian tidak bisa dilakukan hanya dari balik meja rapat, tetapi juga dari suara-suara yang paling dekat dengan bumi yang hendak dijaga.
Jika keindahan Raja Ampat bisa bertahan dari ancaman tambang, maka kita semua berutang pada keberanian warga yang bersuara dan ketegasan birokrasi yang mau berubah. Karena tidak ada pembangunan yang lebih penting daripada menjaga rumah besar bernama Indonesia tetap lestari untuk generasi mendatang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News