Di era globalisasi global yang mulai membentuk blok-blok kawasan, negara-negara di ASEAN mulai membentuk Asean Economic Commonity (AEC). Tujuannya untuk menciptakan pasar tunggal yang berbasis produksi terpadu, serta memfasilitasi pergerakan perdagangan barang dan jasa, modal, jasa, dan tenaga kerja terampil di antara negara-negara yang tergabung dalam AEC
Mengutip situs resmi dari asean.org, Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara yang menyumbang sekitar 40% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dalam perekonomian AEC.
Per November 2024, kontribusi PDB Indonesia diperkirakan mencapai USD 1,3 triliun, dan menjadi salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar, yaitu sekitar 270 juta jiwa tersebar dari Sabang hingga Marauke.
Dr. Kao Kim Hourn, Sekretaris Jenderal ASEAN, menyatakan, “Indonesia telah memainkan peran penting dalam membentuk agenda ekonomi ASEAN.”
Seiring dengan dorongan ASEAN menuju integrasi ekonomi yang lebih dalam, Indonesia berada pada titik krusial di mana kerja sama regional dapat membuka jalan menuju daya saing global.
Akan tetapi, pertanyaan yang sesungguhnya adalah: apakah Indonesia mampu mengubah dominasinya di tingkat regional menjadi pengaruh global melalui integrasi ASEAN?
Meskipun Indonesia memiliki posisi dominan dalam perekonomian AEC, Indonesia masih perlu menghadapi beberapa tantangan struktural dan institusional yang terus-menerus masih menjadi hambatan. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah ketimpangan pembangunan infrastruktur dan logistik, mengingat luasnya wilayah geografis Indonesia.
Shahrullah, dkk. (2021) menyatakan bahwa konektivitas Indonesia dengan jalur perdagangan domestik maupun regional masih sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan mayoritas UMKM di Indonesia menghadapi keterbatasan akses terhadap modal, adaptasi teknologi, serta hambatan regulasi di beberapa wilayah.
Menurut Indeks Kinerja Logistik (Logistics Performance Index) yang dirilis oleh Bank Dunia, Indonesia secara konsisten berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Akibatnya, sebagian besar UMKM di Indonesia masih beroperasi secara informal, terbatas, dan belum dapat memanfaatkan keuntungan dari integrasi ASEAN, termasuk keterbatasan pengetahuan dalam mengekspor produk dan jasa ke dalam pasar MEA.
Selain kendala infrastruktur, penggunaan hambatan non-tarif (non-tariff barriers/NTBs) secara luas juga telah menjadi hambatan institusional yang signifikan bagi pengaplikasian integrasi ekonomi ASEAN.
Meskipun ASEAN telah mencapai kemajuan substansial dalam pengurangan tarif melalui kerangka kerja seperti Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA), hambatan non-tarif justru semakin berkembang.
Beberapa hambatan ini seringkali berbentuk prosedur perizinan yang kompleks, kuota impor, regulasi teknis, dan standar yang tidak konsisten antarkementerian dan daerah.
Mai (2022) menunjukkan bahwa proliferasi NTBs di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah mengurangi manfaat yang seharusnya diperoleh dari liberalisasi perdagangan kawasan.
Bhattacharyay (2009) menekankan bahwa kekurangan infrastruktur merupakan hambatan besar terhadap integrasi ASEAN.
Oleh karena itu, hal pertama yang perlu dilakukan untuk mengatasi tantangan ini adalah Indonesia perlu memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang merata di seluruh wilayah kepulauan dengan mempercepat investasi strategis di pelabuhan, konektivitas antar-pulau, dan pusat logistik di luar Pulau Jawa untuk meningkatkan efektivitas rantai pasok nasional.
Kedua, Dr. Kao Kim Hourn juga berharap ASEAN berfokus pada pengurangan hambatan non-tarif untuk menyelaraskan ekonomi kawasan. Dalam rangka mengatasi proliferasi NTBs, Indonesia perlu meningkatkan koherensi dan transparansi regulasi dengan menyederhanakan peraturan terkait perdagangan agar selaras dengan standar ASEAN.
Mengingat AEC juga mendorong digitalisasi proses kepabeanan melalui pengembangan platform digital untuk perizinan dan prosedur kepabeanan, Indonesia juga diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan regulasi tersebut.
Reformasi ini sangat penting agar Indonesia dapat bertransformasi dari aktor regional menjadi ekonomi yang kompetitif secara global melalui integrasi ASEAN.
Sebagai kesimpulan, integrasi ekonomi ASEAN menawarkan peluang strategis bagi Indonesia untuk meningkatkan posisinya dalam perekonomian global dengan memanfaatkan kerja sama kawasan sebagai platform ekspansi perdagangan, investasi, dan inovasi.
Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut dibutuhkan lebih dari sekadar partisipasi melainkan juga reformasi domestik yang berani guna mengatasi hambatan struktural dan institusional yang telah berlangsung lama.
Melalui investasi pada infrastruktur yang inklusif, penyederhanaan hambatan non-tarif, penguatan koordinasi kelembagaan, serta pemberdayaan UMKM melalui inklusi digital dan keuangan, Indonesia dapat memosisikan diri tidak hanya sebagai ekonomi terbesar di ASEAN. Namun, juga sebagai pemain global yang kompetitif.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News